3 Mitos tentang Pemerkosaan yang Harus Diketahui

Anisa Farida
Penyuka kucing dan kaktus yang kebetulan menjadi diplomat
Konten dari Pengguna
25 November 2019 8:40 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anisa Farida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Marsha Timothy ikut mendukung peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2018 (Foto: UN Women)
zoom-in-whitePerbesar
Marsha Timothy ikut mendukung peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2018 (Foto: UN Women)
ADVERTISEMENT
Jika pagi ini kalian melihat kalender di dinding atau di hp, nampak tidak ada yang spesial dengan tanggal 25 November (kecuali jika ada orang terkasih yang berulang tahun, tentunya!). Namun, tahukah kalian kalau hari ini diperingati sebagai hari internasional penghapusan kekerasan terhadap perempuan?
ADVERTISEMENT
Pada Sesi ke-54 tahun 2000, Sidang Majelis Umum PBB menetapkan 25 November sebagai hari internasional penghapusan kekerasan terhadap perempuan untuk meningkatkan kesadaran bahwa perempuan di seluruh dunia mengalami pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Pada hari ini, seluruh negara, termasuk Indonesia, akan menampilkan warna oranye sebagai simbol dukungan terhadap kampanye ini.
Candi Borobudur disorot dengan lampu oranye pada peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2017 (foto: UN Women)
Tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki juga ada yang menjadi korban kekerasan seksual. Namun, perempuan cenderung lebih rentan terhadap bentuk kejahatan ini. Menurut Komnas Perempuan, pada tahun 2018, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 348.466. Sementara itu, 2.988 di antaranya adalah kekerasan seksual.
Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah pemerkosaan. Resistensi penanganan kasus kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, salah satunya disebabkan oleh masih maraknya sejumlah mitos di masyarakat mengenai tindakan tersebut. Untuk lebih meningkatkan kesadaran kita atas isu ini, mari kita simak 3 di antaranya!
ADVERTISEMENT
Ilustrasi perempuan korban kekerasan (foto: Kat Jayne, pexels.com)
Kekerasan seksual adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), akibat adanya ketimpangan dalam relasi kuasa (pria-wanita atau bos-staf, misalnya). Pemerkosaan dapat digunakan untuk menakut-nakuti, mengintimidasi, dan memanipulasi korban. Karena itu, bukan tidak mungkin jika korban melaporkan bahwa ia telah diperkosa lebih dari satu kali oleh orang yang sama. Alasan mereka tidak melaporkan pertama kali mungkin karena takut atas keselamatan mereka, takut kehilangan pekerjaan atau takut dengan stigma.
Pada akhir 2018, RA, seorang staf Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), diduga telah diperkosa oleh atasannya sebanyak empat kali atas intimidasi. Yang bersangkutan mengaku melaporkan tindak pemerkosaan pertama ke Dewan Pengawas BPJS, tetapi tidak diindahkan. Setelah mengalami beberapa kali pemerkosaan, yang bersangkutan memutuskan untuk melapor kembali ke dewan pengawas BPJS, tetapi mereka memihak pelaku dan memberhentikan RA.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi kampanye anti kekerasan seksual #metoo (foto: Mihai Surdu, unsplash.com)
Sering kita mendengar bahwa seseorang memberikan laporan palsu karena patah hati terhadap pasangannya atau karena mereka ingin menghancurkan reputasi tertuduh. Mitos ini salah besar. Penelitian Alison Levitt QC dan Kejaksaan Agung UK membandingkan jumlah orang yang dituntut karena terbukti membuat tuduhan palsu dengan jumlah penuntutan untuk pemerkosaan, kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada tahun 2013.
Mereka menemukan bahwa terdapat (i) 5.651 penuntutan untuk pemerkosaan, dan 35 penuntutan karena membuat tuduhan palsu tentang pemerkosaan serta (ii) 111.891 penuntutan untuk kekerasan dalam rumah tangga dan 6 untuk membuat tuduhan palsu atas kekerasan dalam rumah tangga. Dari angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa jumlah atau angka orang yang dituntut karena telah membuat pengaduan palsu sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan jumlah atau angka pelaku kejahatannya itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi kegagalan komunikasi (foto: Vera Arsic, pexels.com)
Pemerkosaan terjadi ketika tidak adanya consent (persetujuan) sebelum atau pada saat hubungan seksual, baik karena pemaksaan, tidak sadar (mabuk atau pingsan), atau karena korban di bawah umur. Sering kali, tertuduh akan mengelak dan mengaku bahwa korban tidak memberikan sinyal yang jelas. Atau, pada kasus perempuan di bawah umur, karena perempuan tersebut terlihat dewasa, misalnya.
Memang, komunikasi adalah proses yang sulit dan kompleks. Namun, meskipun rumit, seseorang harus dapat membuat keputusan moral (Harris, 2018). Dalam konteks mitos komunikasi, tidak adanya persetujuan verbal yang jelas bukanlah hasil dari miskomunikasi. Pertama, korban yang hilang kesadaran tidak mungkin mampu mengomunikasikan keinginan mereka. Kedua, ketika korban mengutarakan atau memberikan sinyal ketidaknyamanan mereka, sering kali pelaku sengaja mengabaikan sinyal tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut kalian, mitos-mitos tentang pemerkosaan atau kekerasan seksual apa lagi yang sering kalian dengar di masyarakat? Tambahkan pendapat atau pengalaman kalian di kolom komentar, ya!