Arian 'Seringai': Bentuk Fisik Sebuah Album itu Penting

9 Maret 2017 17:57 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Arian, vokalis Seringai (Foto: Facebook @seringai)
Beberapa tahun belakangan ini, cara orang-orang menikmati musik telah berubah. Kepingan CD dan kaset kini tergantikan dengan musik yang didigitalisasi.
ADVERTISEMENT
Hal itu tentu menantang para pelaku dalam industri tersebut, terutama para musisi yang bergerak di jalur independen. Berbeda dengan para pelaku industri musik komersial yang menyesuaikan musik mereka dengan selera pasar, jalur indie memiliki tren dan budaya tersendiri.
Untuk menggali lebih dalam, kumparan pun menghubungi Arian Arifin, seorang ilustrator sekaligus vokalis band Seringai.
Arian mengakui akan perubahan yang sedang terjadi di industri musik. Buktinya, banyak layanan musik streaming yang muncul dalam dua tahun terakhir, salah satu contohnya adalah Spotify. Di Indonesia sendiri, layanan tersebut pun kerap digunakan banyak orang. Namun, tidak semua musisi mengerti urusan bisnis musik secara digital.
"Untuk musisi-musisi lokal yang siap dengan era digital kelihatannya belum banyak. Lagipula, proses monitize-nya juga masih membingungkan. Cara menarik uangnya pun harus melewati aggregator terpilih, dan orang-orang masih belum paham mengenai hal itu," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Dari sisi independen, layanan non-streaming atau non-digital seperti label-label kecil nampaknya baik-baik saja. Ia melihat, penjualan kaset dan CD masih aman.
"Kaset memang enggak kemana. Malah sekarang, peminatnya bertambah. Vinyl banyak dibeli dua tahun lalu. Kalau sekarang, enggak banyak. Harganya juga enggak murah, sih. CD masih bersifat umum dan masih dicari. Untuk jalur mainstream memang berkurang, tapi di luar itu, baik-baik saja," terang Arian.
Arian, vokalis Seringai (Foto: Instagram @aparatmati)
Apakah bentuk fisik sebuah album itu penting? Arian mengangguk setuju. Baginya, bentuk fisik sebuah album memberikan pengalaman yang berbeda sebagai penikmat musik.
"Mungkin karena saya orangnya old skool, saya menyukai sesuatu yang bisa dipegang dan dibaca, seperti booklet dan whole packaging sebuah album. Itu penting buat saya. Tapi, kalau untuk generasi millennials, enggak terlalu penting. Mereka pasti mengandalkan Spotify atau iPod. Lebih praktis," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ditanya mengenai pembajakan, Arian malah balik bertanaya.
"Masihkah? Masih relevankah pembajakan di era digital?" tanyanya. "Kalau di era digital, yang untung kan, pemasang iklannya, bukan situs web-nya. Kalau dulu kan, Glodok. Pemasang iklan dengan pop-up message itu kan, yang untung. Tapi ya, pembajakan juga jatuhnya. Toh, ilegal. Terserah musisi atau labelnya, sih. Yang kayak gitu kan, bisa di take down."
Untuk urusan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Arian mengaku tidak mengikuti perkembangan lembaga yang menjalankannya, yakni Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
"Enggak ngikutin karena enggak terlalu peduli sama Bekraf. Dia punya dana yang banyak dan enggak tahu mau diapain. Terakhir, The Trees and the Wild, mau diberangkatin ke festival South by Southwest (SXSW) di Amerika Serikat. Terus, enggak jadi. Ya, enggak tahu sih, detilnya. Tapi, saya tuh, kalau ada apa-apa dari pemerintah, dicurigai aja dulu," kata Arian sambil tertawa.
ADVERTISEMENT
"Dari dulu enggak pernah bantu apa-apa juga, kan?" lanjutnya.
Arian melanjutkan, masalah publishing rights di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Padahal, di negara tentang sudah fix.
"Let's say, Kla Project nih, atau Morfem. Mereka punya publishing rights dan diundang sebuah klub untuk tampil. Selesai tampil, mereka dapet fee dari EO atau si klubnya. Nanti biasanya, ada laporan kalau klubnya ditagih royalti. Lagu-lagu di radio aja, ada juga royaltinya," ucap Arian.
"Saya pribadi enggak mau ambil pusing. Saya jalani label Lawless Jakarta Records, jualan album fisik, dan fokus di situ. Enggak peduli ada Bekraf atau enggak, yang penting saya menjalani bisnis ini dengan baik dan benar. Itu sudah cukup," tambahnya.
Arian benar-benar tidak mau ambil pusing. Untuk album Seringai saja, ia tidak ingin mendistribusikannya ke sembarang outlet.
ADVERTISEMENT
"Dulu pernah distribusi ke supermarket. Siapa yang mau ngambil ya? Ternyata, ada juga yang ngambil. Tapi biasanya, yang beli belum tentu mendengarkan. Kalau penjualannya lebih tinggi dan bermanfaat ya, bebas. Itu sebagai alternatif saja. Berjualan di restoran cepat saji juga unik. Tapi, buat saya pribadi, enggak cool," ungkap Arian.
Untuk itu, Arian memilih untuk fokus di titik yang pangsa pasarnya sesuai dengan musik Seringai, entah outlet-outlet lain atau secara online. Apalagi jika edisi tersebut spesial yang pasti habis dalam waktu singkat.
"Beberapa waktu lalu, Homicide mengeluarkan diskografi lengkap dengan mencetak sebanyak 2.500 CD. Banyak yang beli putus karena tahu album itu pasti laku. Kita, Lawless Jakarta, mengambil sekitar 400 CD Homicide dan habis dalam 2-3 hari. Di Omuniuum saja, ngambil 200, habis dalam 2 jam karena sebelumnya ada sistem pre-order," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Homicide sendiri adalah grup musik hip hop asal Bandung yang diakui di kancah musik independen.
"Kita bisa kembali ke era 60-an, 70-an, hingga 80-an. Pokoknya, tergantung tren. Beberapa tahun ini, saya enggak meratiin, sih. Saya cuma mengikuti musik yang saya suka saja, enggak musik in general. Saat ini, yang saya lihat bagus itu, Joe Million dan Rand Slam.
Intinya, Arian tidak berharap banyak dan memilih untuk menjalaninya saja. Ia mengaku, harapannya sejak dulu tidak pernah terjadi.
"Seringai bisa berada di posisi sekarang berkat perjalanannya yang memakan waktu hampir 15 tahun. Bukan kayak musisi lain yang langsung terkenal. Berharap industri musik agar lebih baik juga jadinya klise, sih. Jadi, jalani saja," tutup Arian.
ADVERTISEMENT