Mengenal Lebih Dalam Sosok Fajar Nugros

14 Februari 2017 13:43 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fajar Nugros (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Berbincang dengan Fajar Nugros sangat menyenangkan. Ia adalah sosok yang santai, terbuka, dan memiliki pemikiran luas, terutama untuk soal film dan tulis-menulis. Puas membicarakan film, Fajar antusias bercerita soal menulis.
ADVERTISEMENT
Dengan posisi duduk yang santai diiringi angin sepoi-sepoi, sutradara 'Jakarta Undercover' ini mengatakan bahwa ia pernah berniat bikin novel sejak tahun lalu. Tapi, karena harus fokus dengan banyak hal sebagai pembesut film, ia tidak memiliki waktu banyak untuk menulis.
"Aku punya target 120 lembar dari 60 lembar novel yang aku kerjakan tahun lalu. Tapi, aku orangnya susah kalau ngebaliki mood. Tahun lalu, lalu aku bikin 2 novel. Di tengah jalan berhenti, buat nulis dari awal lagi sudah susah. Di laptop-ku banyak tulisan yang nggak selesai. Aku juga sempat bikin skenario, 2 minggu selesai, tapi nggak tahu buat kapan," akunya.
Ia tidak tahu apakah cerita-ceritanya tersebut akan difilm kan atau tidak. Yang jelas, melakukannya butuh upaya yang sangat besar karena harus meyakinkan banyak orang, seperti penyandang dana dan produser. Sulit memang, meyakinkan bahwa cerita yang kita tulis itu layak untuk ditampilkan di sebuah media.
ADVERTISEMENT
"Aku nggak kayak mas Emka yang bisa nulis di mana saja. Mas Emka kan, bisa nulis di club dan café yang ramai banget. Aku kalau nulis suasananya harus tenang dan nggak berisik. Kalau ada suara sedikit, malah stres," ungkapnya.
Fajar menambahkan, ia adalah orang yang membosankan. Senang di rumah, pakaiannya itu-itu saja, gadget tidak ganti-ganti. Kaus yang ia beli 5 tahun lalu saja, masih ia pakai. Ia lebih menghabiskan waktunya dengan membaca buku sekian banyak dan menonton banyak film.
"Ngeliat langit di halaman rumah aja nggak," kata Fajar dengan serius. "Ibuku dulu pernah komentar waktu aku di Yogya. Kalau aku di rumah dan selama seminggu nggak ke mana-mana, dikiranya nggak punya duit. Begitu kita pergi nggak pulang-pulang, malah ditanya."
ADVERTISEMENT
Fajar menambahkan, ia bahkan tidak pernah menonton konser musik karena berisik.
"Aku nggak dekat sama musik. Makanya ngomongin musik di 'Jakarta Undercover', aku ngomong langsung sama music score-nya. Aku bilang kalau aku nggak ngerti musik tapi aku tahu ini pas atau nggak sama filmnya. Daripada aku sok tau terus dibilang, "An**ng ini sutradara...," jelasnya sambil tertawa.
Selain membosankan, Fajar mengaku bahwa ia adalah sosok yang berusaha religius. "Mungkin aku liberal, tapi tetep nilai-nilai agama itu penting. Kalau aku kelewat batas nulis di Twitter, biasanya ada orang yang ngirim Direct Message. Buat aku itu rem. Aku bersyukur masih ada yang ngingetin. Yang paling mengerikan itu, nggak ada yang ngingetin. Dan aku sangat dengerin orang juga, sih," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Fajar mengucapkan kata, 'bersyukur' dengan penuh penekanan. Ia mengiyakan dan mengatakan bahwa ia banyak bersyukur untuk banyak hal.
"Jujur, aku nggak pernah mikirin finansial. Selama istriku cukup bayar tagihan, aku bersyukur. Buat film apalagi. Ada yang ngebayarin aku untuk sebuah film atau memberikan kesempatan untuk mengerjakan sebuah film itu menjadi sebuah privilege buatku. Dari ide kita sendiri menjadi sebuah karya yang besar dengan biaya mahal dan dikerjain sama 100-200 orang kru itu kan, privilege banget," ucapnya.
Memimpin kru sebanyak itu tentu sulit. Tapi tidak dengan Fajar. Ia mengaku sudah biasa memimpin sekumpulan orang sejak dulu, mulai dari jadi Ketua Karang Taruna, Remaja Masjid, Ketua Lembaga Pers, Ketua Senat, Ketua Pramuka, hingga Kapten tim sepakbola. Tapi anehnya, ia tetap tidak suka keluar rumah.
ADVERTISEMENT
"Dulu, aku mendirikan organisasi 'Honda Owner's Club' di Yogyakarta. Tiap malam minggu, nongkrongnya di Malioboro. Tapi, aku di rumah, nggak nongkrong. Nggak harus ada aku juga, kan? Ada Wakil, Sekjen, dan lain-lain," jelas Fajar.
Kalau begitu, apa alasannya sebenarnya?
"Mungkin aku nggak nyaman tampil dan dilihat banyak orang. Nggak tahu, nggak suka jadi pusat perhatian orang," kata Fajar dengan wajah bingung karena tidak bisa mengekspresikan maksudnya.
"Aku lebih suka komunikasi secara personal. Nelepon saja jarang. Aku orangnya lebih mengingat dan membaca," tambahnya.
Sebelumnya, Fajar menyebutkan kalau dahulu, ia pernah menjadi Ketua Lembaga Pers. Ia mengaku, ia sempat mendaftarkan diri ke sebuah surat kabar harian terkemuka di Tanah Air, tapi tidak lolos.
ADVERTISEMENT
"Kalau nggak jadi sutradara, ya, jadi wartawan. Seru jadi wartawan, karena dapat merekam banyak hal kemudian menuliskannya," ucapnya.
Meski tidak suka keluar rumah, bertualang menyenangkan bagi Fajar. Sesampainya di Jakarta pertama kali, ia berkeliling Jakarta. Menyambangi museum, naik Metro Mini, semua ia coba sendirian tanpa harus mengandalkan orang lain.
Jadi, fim atau menulis? "Oh, jelas film. Dari banyak sisi, film yang utama," tutupnya dengan mantap.