The Lion King: Mufasa, Nostalgia, dan Air Mata

Anissa Sadino
Provehito in Altum
Konten dari Pengguna
21 Juli 2019 20:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anissa Sadino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mufasa's love for Sarabi
zoom-in-whitePerbesar
Mufasa's love for Sarabi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Udah nonton?"
Kalimat di atas bener-bener nge-ganggu gue sejak Kamis, 18 Juli. Pertanyaan itu ditanyain sama orang-orang yang tahu akan secinta apa gue sama film The Lion King. Yes, gue cinta banget banget banget sama kartun yang satu itu.
ADVERTISEMENT
Film kartun Disney Classics yang paling ngena di gue, ya, The Lion King. Almarhum bokap gue itu selalu ngasih gue tontonan kartun-kartun Disney Classics, mulai dari Snow White and the Seven Dwarfs sampai Mulan. Tapi, The Lion King yang paling gue suka karena itu film kartun tentang binatang pertama yang gue tonton.
Ngelihat Mufasa di The Lion King selalu ngingetin gue sama bokap gue. Bukan karena bapak gue kayak singa, tapi bokap gue itu sama wise-nya sama Mufasa. Zodiaknya juga Leo, jadi, ya, sama, 'kan. Eh, laki gue zodiaknya juga Leo. Ini apaan, sih, malah ngebahas zodiak.
Sampai akhirnya, gue baca berita kalau The Lion King akan di-remake dalam bentuk live action. Donald Glover atau Childish Gambino yang ngisi suara Simba, dan Beyonce yang ngisi suara Nala. Shit, Beyonce? Really?
Nala is Beyonce in real life. Wow.
Gue kaget sekaligus terkesima pas denger Beyonce ngisi suara Nala. Beyonce is my favorite singer, dan gue enggak sabar banget untuk denger dia nyanyi "Can You Feel The Love Tonight?" sama Gambino. Pasti epic.
ADVERTISEMENT
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya live action The Lion King tayang di bioskop Indonesia tanggal 17 Juli dan gue baru nonton hari Sabtu, 20 Juli, sama nyokap, adek, dan laki gue. Bisa kebayang enggak, seenggak sabar apa gue untuk nonton? Man, hati ini membuncah!
Sebelum nonton, gue nge-remind diri gue untuk lowering down my expectation. Temen-temen kantor gue, Erin dan Vito, juga mengingatkan gue akan hal ini sebelumnya. Gue juga berusaha untuk enggak emosional, mengingat gue akan ngelihat lagi adegan Mufasa mati dalam format nyata.
And the movie starts. Bener aja, gue nangis..ngis..ngis..ngis di bagian awal, pas Circle of Life. Adegan-adegannya sama persis dan terlihat nyata, mulai dari pas gajah-gajah melintas di depan gunung Kilimanjaro, semut rangrang di pohon, burung-burung bertengger di gading gajah, sampe Rafiki dibukain jalan sama hewan-hewan meski tanpa tongkat.
OH.MY. GOD.
And there's Mufasa and Sarabi. Oh, my, God, mata gue makin banjir. Gue langsung pengen pelihara singa di rumah. Tapi, tiba-tiba urung karena gue punya Mimo, anjing lanang kampungku tercinta.
ADVERTISEMENT
Majestic. Bagian Circle of Life is super majestic. And the CGI is magnificent and breathtaking. Rasanya kayak, nonton Animal Planet tanpa adegan mating call.
Sesuai prediksi, gue nangis lagi pas adegan Mufasa mati. So real dan sangat menyakitkan. Gue enggak pernah nonton film sampai nangis sesenggukan, dan The Lion King sukses bikin gue pengen jadi bagian dari Sobat Ambyar Didi Kempot.
Terus, pas adegan Simba ketemu Nala. Gue tiba-tiba ketawa pas Nala bilang, "Simba?" terus kebayang meme muka Simba diganti sama muka cewek yang bilang, "Beyonce!?" dengan heboh.
Gue kembali nganga pas adegan Simba sudah mengambil alih Pride Rock/Pride Lands dari Scar. Adegan itu digambarin saat hujan, dan detail hujannya keren banget, terutama dari bebatuan dan bulu singa yang basah. Wow, Disney worked really hard for this movie.
ADVERTISEMENT
Film pun berakhir. Mata gue bengkak, but it's worth it, the nostalgic memories. Sekarang, biarkan gue ngebacot tentang live action The Lion King. Yang enggak mau spoiler, berhenti baca sampai sini, ya. Here I go.
Simba why are you so smol?
The Lion King is a must see movie. CGI-nya super apik, ngebuat binatang-binatangnya kelihatan binatang banget (Eh, gimana?). Movements hewannya natural, disesuaikan banget dengan habit mereka. Rafiki aja ngangkat Simba untuk diperkenalkan pada warga Pride Lands sambil duduk. Ya, memang mandrill kayak gitu.
Rafiki juga enggak pakai tongkat, walaupun di akhir-akhir dia ngeluarin tongkatnya dan nyebut benda itu sebagai 'kawan lamanya' dia, bikin gue sama adek gue nyebut, "Anjay." By the way, adegan Rafiki ngeluarin tongkat menurut gue keren dan enggak gue sangka-sangka sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dari cerita, memang enggak ada plot twist. Bingung juga, ya, mau plot twist yang kayak gimana, gue aja enggak kepikiran. Sutradara John Favreau sudah bener menurut gue, untuk tidak memasukkan plot twist and keep it original.
Mungkin, Favreau belajar banyak dari live action The Jungle Book yang juga dia besut. Di versi kartunnya yang rilis tahun 1967, kebakaran terjadi karena sambaran petir. Tapi, di versi live action, Mowgli enggak sengaja ngebakar hutan karena dia nyolong obor dari desa manusia.
Gajah-gajahnya di live action juga enggak bisa ngomong, padahal kalau di kartunnya, gajah-gajahnya ngomong, bahkan pemimpin kelompok gajahnya, Kolonel Hathi, punya march sendiri. Terus, Baloo juga hadir dalam bentuk beruang cokelat, bukan sloth bear. Sebenarnya, jenis beruang ini juga ada di Asia--dan kisah Mowgli berasal dari India--, cuma mungkin beruang cokelat identik sama beruang grizzly, jadi sekilas kayak enggak masuk akal.
Everything the light touches, is yours to play.
Kembali ke live action The Lion King. Percakapan-percakapan di film juga enggak jauh beda dengan film kartunnya. Di beberapa bagian, gue udah bisa nebak Mufasa mau ngomong apa, Simba mau ngomong apa, Zazu mau ngomong apa. Contohnya, pas Mufasa bilang, "I got to teach my son a lesson," sama, "Everything the light touches, is our kingdom." Banyak juga yang kalimatnya diganti, but it's okay.
ADVERTISEMENT
Terus, Timon dan Pumbaa. Aduh, duo ini megang banget. Mereka memang spesialis untuk memberikan kelucuan, dan di live action The Lion King, candaan mereka 'dapet'. Fun banget ngelihat duo ini ngomong atau ngelempar jokes.
Gue juga suka banget ngelihat Mufasa di film ini. Di kartunnya, Mufasa itu badannya jumbo banget, 'kan. Di live action, sih, ukuran badannya wajar, tapi surainya lebat, ngebikin Mufasa kelihatan 'raja banget'.
Vito bilang, dia bingung ngebedain singa-singa betinanya karena semua kelihatan sama aja. Memang, sekilas susah bedain antara Sarabi sama Nala dewasa. Tapi, buat gue ini masuk akal karena, ya, kalau lo ke Taman Safari dan ke Plaza Gajah, pawangnya bilang gajah yang ada di belakang dia namanya Ati (eh, beneran ada gajah namanya Ati di sana), terus lo pergi dan kembali lagi ke situ 30 menit kemudian, lo inget enggak, mana yang namanya Ati? Ya, kalau pawangnya masih berdiri di depan Ati, mungkin lo tahu. Tapi, kalau pawangnya lagi istirahat makan, lo pasti enggak bisa bedain. Kecuali, Ati badannya paling jumbo atau paling kecil dari yang lain. Atau, ada bekas luka atau tanda lahir di mukanya.
ADVERTISEMENT
Bedain Sarabi sama Nala enggak begitu susah buat gue. Sarabi matanya kuning, sedangkan Nala mataya biru muda. Itu, sih. Tapi, ya, kalau dari jauh, susah juga. Tapi, ini wajar, kok.
Mulai genit.
Gue menyangkan hyenanya. Di film kartun, hyenanya ada tiga yang bisa ngomong, yaitu Banzai, Shenzi, dan Ed yang ngomongnya cuma, "Hwakhwakwhokwhok." Di live action, hyena yang ngomong juga ada tiga, tapi nama-namanya ganti kecuali Shenzi. Mereka adalah Kamari dan Azizi. Tapi, dua hyena ini (seinget gue) enggak diperkenalkan, jadi gue sempet lupa siapa nama mereka.
Padahal, yang ngisi suara Kamari itu Keegan Michael-Key. Gue expect a lot dari dia sebagai Kamari, berharap ada omongan-omongan konyol yang heboh, mengingat Keegan Michael Key pernah jadi anger management translator Barack Obama dan dia lucu banget di situ. Tapi, ternyata dia ngomongnya gitu-gitu aja.
ADVERTISEMENT
Nah, sekarang soal pengisi suara. Gue agak sebel denger JD McCrary, pengisi suara Simba kecil. Kayak, enggak cocok dan terlalu... Cute? Terus, John Oliver, pengisi suara Zazu. Hampir mirip, sih, suaranya sama Rowan Atkinson alias Mr. Bean yang merupakan pengisi suara Zazu di film kartunnya, tapi, kok, suaranya 'nanggung', ya? Tonton sendiri, deh, nanti lo ngerti maksud gue.
Suara Mufasa masih sama kayak film kartunnya dan masih bikin gue merinding. Tapi, mungkin karena usia--James Earl Jones, pengisi suara Mufasa umurnya 88 tahun--jadinya kurang maksimal dan kurang berat aja.
Doyan.
And Beyonce. I love her to death, tapi gue ngerasa dia enggak cocok ngisi suara Nala. Beyonce lebih cocok ngisi suara Sarabi. Suara Beyonce ketara banget, jadi setiap gue ngelihat Nala, yang gue inget muka Beyonce.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, gue pernah nulis di kumparan kalau live action The Lion King is a movie about Beyonce. Ada kemungkinan kalo Beyonce adalah pengisi suara dengan bayaran termahal di live action The Lion King, secara doi adalah diva yang super eksklusif, yah. Jadi, mungkin juga dia dikasih panggung untuk pamer.
Kayak, pas dia nyanyi "Can You Feel The Love Tonight?" sama Gambino, suara Gambino tenggelem, sedangkan Beyonce nyanyinya heboh, lengkap dengan improvisasi nada yang turun-naik. Bey, we all know that you have 'that' voice. Come on.
Terus, suara Gambino sebagai Simba. Man, gue agak kecewa karena suara Simba jadi cempreng. Lengkingan khas Childish Gambino di lagu "Hakuna Matata" oke, itu keren. Tapi, pas di adegan dia kembali ke Pride Lands dan ketemu Scar di Pride Rock, no. Simba bisa lebih 'laki' dari itu. Tolonglah.
ADVERTISEMENT
Gue suka banget sama suara Scar (Chiwetel Ejiofor), Timon (Billy Eichner), Pumbaa (Seth Rogen), Rafiki (John Kani), dan Shenzi (Florence Kasumba). Suara Scar jahat banget dan menggelegar pas dia 'semi-nyanyi' "Be Prepared". Suara Timon dan Pumbaa sesuai dan mirip sama yang terdahulu.
Suara Rafiki 'Afrika banget', bahkan John Kani masukkin suara click khas Zulu di beberapa percakapan (John Kani sendiri memang asli orang Afrika, tepatnya Afrika Selatan). Dan Shenzi, suaranya juga 'Afrika banget' dan ngingetin sama sosok Okoye yang diperankan sama Danai Gurira di film Black Panther. She's cool, right?
Kamari, Scar, Azizi, dan Shenzi
Sekarang, soal adegan. Selain scene Circle of Life yang membuat gue terpukau, scene Mufasa mati sebenernya bikin gue kesel selain bikin gue nangis. Jujur, gue berharap plot twist di live action The Lion King, Mufasa tetap hidup. Ternyata, Favreau sticks to the original story. Bagus juga, enggak apa-apa.
ADVERTISEMENT
Bukan, bukan itu yang bikin gue kesel. Tapi, logikanya Vito soal adegan stampede ratusan wildebeest di ngarai. Begini kata Vito, "Gue malah jadi mikir gitu, lho. 'Kan semua hewan bisa ngomong, dan 'kan itu kawanan kebo yang harusnya bisa ngomong juga. Kenapa enggak si Mufasa, "Woy, minggir lo semua! Ada anak gua!" Lagian, 'kan, dia raja. Come on kebo, masa you enggak sadar you nabrak raja?"
AND THAT'S LITERALLY TRUE. Maaf pakai caps lock, gue super agree sama Vito (kecuali bagian dia nyebut wildebeest 'kebo'). Bro, come on, gue tahu binatang-binatang itu panik, tapi itu ada raja lo di situ. Raja yang menekankan bahwa predator-predator di Pride Lands harus menghormati herbivora-herbivora yang ada di sana juga.
ADVERTISEMENT
Mereka, 'kan, dateng ke Pride Rock pas Sarabi lahiran, mereka tahu, dong, Mufasa bentuknya kayak apa? Lagian, dia cuma satu-satunya pejantan tangguh di Pride Lands, dan bentukannya beda sama Scar yang kayak preman berwajah bocel dan mengalami kebotakan dini.
Terus, 'kan Mufasa sudah menyelamatkan Simba, ya, dan Simba aman tuh, posisinya. Ya, sudah, standby aja di situ. Mufasa juga enggak usah manjat-manjat. Lah, dia malah nyari perkara. Mbok, ya, sabar aja sampe kawanan wildebeestnya pergi. Heran, gue. Kaco, dah, kacang cokelat.
Bentar, minum dulu dan melembabkan bibir dengan lip balm. Segitu besarnya pengaruh Mufasa buat hidup gue. Buat hidup lo yang suka The Lion King juga pasti gitu, sama. Yakin, gue.
Mantap anj*******ng
Oke, lanjut. Terus, pas bagian surainya Simba rontok dan melewati perjalanan panjang sampai ke tangan Rafiki. Itu surai udah kena air, dimakan jerapah, enggak tercerna dan keluar dengan utuh nyampur ama tokai, tokainya digiring sama kumbang tokai sampai jadi bola kecil, tokainya jatuh dan kebelah dua, terus dibawa semut sampai ke pohon baobab rumah Rafiki, terus Rafiki ngambil surainya, diperhatiin, dan tiba-tiba dia tahu itu bulunya Simba. Oh, what a journey! Untung enggak ada tokai kering yang nyisa terus surainya enggak dicium sama Rafiki.
ADVERTISEMENT
Then, adegan Scar ngaku sama Simba kalau dia yang bunuh Mufasa. Lah, ya, kok, ngaku di saat Simbanya belum jatuh dari Pride Rock. Padahal, di awal film, Scar bilang kalau dia punya inteligensi yang oke sebagai singa. Terus, pas Simba lagi confront Scar kalau Scar bunuh Mufasa, Sarabi tiba-tiba ngomong, "Lo bilang lo telat (untuk nyelametin Simba dan Mufasa) untuk sampai di ngarai. Tapi, kok, lo tahu raut wajahnya Mufasa sebelum dia mati?" Bu, ibu kemana aja?
Ya, adegan-adegan itu sama dengan film kartunnya, sih. Jadi, apa mau dikata, cuma bisa 'huft'.
Ada tiga adegan baru yang menarik. Pertama, pas Nala ngomong, "Are you with me, lions?" Adegan itu feminis banget, mengingat Beyonce juga pro feminisme. Asumsi gue, dia minta sama Disney untuk dikasih adegan yang kental akan feminisme. Buat orang awam, it's a good scene. Buat fans garis keras Beyonce kayak gue, adegan itu 'Beyonce banget'. "Are you with me, lions?" itu sama kayak Beyonce teriak, "Who run the world? Girls!"ka
ADVERTISEMENT
Contoh soal feminisme Beyonce bisa lo denger di lagu dia yang berjudul "Bow Down/Flawless", yang mana pas mau masuk ke "Flawless", kamu bisa denger speech berjudul "We Should All Be Feminists" yang diomongin sama penulis asal Nigeria, Chimamanda Ngozi Adichie.
Lalu, adegan pas Simba dan Nala bilang kalau mereka butuh diversion supaya bisa mengelabui hyena-hyena di dekat Pride Rock. Kalau versi kartunnya, Timon dan Pumbaa nyanyi dan joget lagu "Luau!", di live action, Pumbaa cuma duduk manis dengan Timon di atasnya ngomong, "Be... Our... Guest," yang mana, itu judul lagu di film Beauty and The Beast. Gemes banget!
Yang ketiga, pas Pumbaa dipanggil 'chubby' sama para hyena. Pumbaa marah, dia menganggap panggilan itu nge-bully dia dan dia enggak bisa memaafkan mereka yang suka nge-bully. Wow, sebuah selipan pesan yang bagus untuk anak-anak yang sedang menonton.
Our favorite duo, Timon and Pumbaa!
Nah, sekarang soal soundtrack. Gue kecewa sama soundtrack-nya. Lagu-lagu yang ada vokalnya enggak semegah di film kartunnya. "Circle of Life" menurut gue kurang greget. Jelas, karena ada perubahan penyanyi, dari Carmen Beth Twillie ke Brown Lindiwe Mkhize. Gue enggak tahu Carmen Twillie ke mana. Kalau Brown Lindiwe Mkhize, Beliau ini yang jadi Rafiki di pementasan musikal The Lion King dan dia juga bertugas untuk nyanyi di situ.
ADVERTISEMENT
"I Just Can't Wait To Be King" juga enggak ngena di gue. Suara Zazu enggak se-fun di film kartunnya dan malah aneh kedengerannya. Terus, "Be Prepared" juga enggak dijadiin lagu, padahal seru. "Can You Feel The Love Tonight?", aduh, suara Gambino dan Beyonce enggak imbang. Yang menurut gue seru cuma "Hakuna Matata" sama "The Lion Sleeps Tonight".
Ada yang lucu, nih, di lagu "Hakuna Matata". Pas bagian Timon cerita tentang Pumbaa, tepatnya di bagian, "And, oh, the shame! Thought of changin' my name! And I got downhearted..." Surprisingly, kalimat, "Every time that I-" disebut lengkap sama Pumbaa jadi, "Every time that I farted... Are you gonna stop me?" Boom! Gue ngakak. At last, after all these years!
ADVERTISEMENT
Oh, sama pas Simba ngejar Nala untuk kembali ke Pride Lands. Musiknya diganti jadi "Spirit" yang dinyanyiin Beyonce. I thought lagu itu bakal ditaruh di end credit. Cocok enggak cocok, sih, tapi gue bisa terima karena kasih warna baru aja.
Di sisi lain, gue suka banget sama instrumental karya Hans Zimmer untuk live action The Lion King, kayak "Rafiki's Fireflies" (sumpah, ini lagu bagus banget) sama "Remember". "Remember", sih, yang epic dan megah. Mulai di menit 1:29 sampai habis, gue nangis dan merinding.
Last, adegan terakhir live action The Lion King. Sama persis kayak film kartunnya, anak Simba dan Nala diperkenalkan, yaitu Kiara. Gue seneng dan lega banget, karena berarti, ada film ke-2 The Lion King yang menceritakan tentang Kiara dan Kovu. Yay!
ADVERTISEMENT
Intinya, enggak rugi untuk nonton live action The Lion King. Buat penggemar berat kayak gue, memang ada beberapa bagian yang membuat kecewa. Tapi, untuk urusan nostalgia, the live actiong brings back everything. Gue jadi kangen bokap gue, yang memperkenalkan gue film ini. Thank you, dad. Thank you.
Terus, film ini juga jadi ajang buat Disney untuk pamer. Pamer apa? Pamer kalau mereka duitnya banyak sampai bisa menghasilkan CGI yang super keren. Nah, kalau ada yang bilang live action The Lion King jelek, jelek di mananya? CGI, gue no comment, bagus banget soalnya. Jalan cerita? Sama kayak yang dulu. Berharap singa-singanya bisa berekspresi? Man, they're lions. Binatang, ya, gitu-gitu aje mukenye, mau seneng mau sedih juga.
ADVERTISEMENT
Soal rating, I would love to give 8.5/10 untuk keseluruhan. Untuk soundtrack-nya, 7.5/10. Untuk CGI-nya, 9.5/10. Untuk pengisi suara, 7/10. Sekarang, giliran lo. Kalau lo sudah nonton dan punya pendapat sendiri, silakan tulis di kolom komentar.
By the way, please, inget quote yang satu ini.