Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Tradisi Kawin Tangkap : Warisan Budaya Atau Pembatasan Hak Bagi Wanita?
24 Maret 2025 10:56 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Anisyah Ayu Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kawin tangkap dianggap sebagai sebuah tradisi budaya dan adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat Sumba, NTT. Tradisi ini merupakan praktik perjodohan antara laki-laki dan perempuan dengan cara yang cukup berbeda dari konteks proses perjodohan menuju jenjang pernikahan pada umumnya, yaitu melalui penculikan oleh pihak laki-laki terhadap mempelai perempuan yang akan dijadikan calon istri, baik tanpa mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga maupun dengan persetujuan dari pihak keluarga.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meskipun disetujui atau tidak oleh keluarga, mempelai perempuan yang akan dijadikan istri belum tentu ingin atau menyetujui jika dirinya terlibat dalam proses tradisi tersebut. Penjelasan ini mengungkapkan bahwa perempuan di sini cenderung tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Sebenarnya, terkait proses perjodohan melalui tradisi kawin tangkap, pada awalnya dimaksudkan sebagai cara membawa pasangan ke jenjang pernikahan tanpa melalui peminangan atau upaya laki-laki dalam meminta perempuan untuk menjadi istrinya, sehingga tidak ada kesepakatan yang timbul antara kedua belah pihak keluarga, terutama terkait belis atau maharnya. Namun, di sisi lain, tradisi ini juga dapat dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, misalnya para pihak keluarga saling bekerja sama dalam melakukan tradisi tersebut, seperti saat pihak keluarga perempuan secara sadar mengetahui atau memperbolehkan sang anak dibawa paksa oleh pihak laki-laki.
ADVERTISEMENT
Pada praktiknya, tradisi ini diawali dengan merias perempuan dan laki-laki menggunakan pakaian adat, adanya kuda untuk ditunggangi oleh laki-laki, penangkapan perempuan sebagai calon istri, terakhir adalah pemberian sebuah parang dan seekor kuda dari pihak laki-laki sebagai permintaan maaf dan tanda bahwa perempuan tersebut telah sampai di rumah pihak laki-laki.
Dalam hal ini, tujuan adanya tradisi ini di masa lalu bermula dari terbatasnya akses komunikasi dan transportasi, sedangkan para orang tua ingin anaknya mendapatkan jodoh yang dikenal dekat oleh keluarga. Pada kenyataannya, tradisi ini memang dilakukan dalam konteks kekerabatan atau suku dengan maksud agar hubungan keluarga tetap terjalin, oleh karena itu dalam menentukan mempelai juga tidak boleh asal sembarangan.
Jika dilihat dari awal, tradisi ini sudah termasuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia bagi perempuan. Tepatnya pada Pasal 10 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, yang berbunyi, “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan.” Namun, dahulu hal ini tidak terlalu dipermasalahkan karena, selain termasuk dalam adat, tradisi ini dijalankan tidak lebih dari sekadar perjodohan.
ADVERTISEMENT
Nah, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman (informasi yang serba cepat dan mudah diakses), ditambah adanya kebijakan perlindungan perempuan dan HAM, masalah pada tradisi ini mulai diangkat kembali dengan argumentasi bahwa tradisinya dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat karena berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan cenderung mengarah ke penculikan terhadap perempuan, seperti yang terlihat pada beberapa kasus, yaitu:
1. Tepatnya pada tahun 2017, tradisi kawin tangkap pernah terjadi di Kabupaten Sumba Tengah, di mana seorang wanita yang bekerja di LSM diminta untuk menghadiri rapat oleh seseorang yang dianggap memiliki sikap janggal dalam kesehariannya. Namun, wanita ini tetap melaksanakan perintah tersebut hingga pertemuan rapat berjalan sekitar 1 jam. Akan tetapi, mereka secara tiba-tiba meminta untuk berpindah lokasi, dan ketika si wanita menyanggupi, datang sejumlah orang “menculiknya” untuk dibawa ke mobil. Sebenarnya, pada saat diculik, si korban ini telah mengusahakan berbagai cara untuk bisa lepas, bahkan mengirimkan pesan teks tentang kondisinya kepada pacarnya. Namun, ketika sampai di rumah pelaku, sudah ada ritual yang sedang dijalankan dan banyak orang telah berkumpul di sana. Singkat cerita, setelah melewati berbagai rayuan dari pihak keluarga laki-laki, akhirnya dengan proses negosiasi secara adat, pada hari ke-6, si korban berhasil dibawa pulang oleh keluarganya yang didampingi oleh pihak pemerintah desa dan LSM.
ADVERTISEMENT
2. Pada tahun 2023, melalui unggahan video yang kemudian viral, juga terjadi tradisi kawin tangkap tepatnya di Kabupaten Sumba Barat Daya. Bermula dari seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan tiba-tiba "diculik" dan dibawa ke dalam sebuah mobil oleh empat orang laki-laki. Wanita tersebut berteriak, memberontak dengan ketakutan meminta tolong, dan berharap ada seseorang yang dapat menyelamatkannya. Namun, para warga di sana hanya terdiam terpana juga menatap wanita tersebut dengan sendu. Sedangkan sejumlah laki-laki tersebut tertawa gembira ketika berhasil membawa si wanita (korban). Singkat cerita, setelah adanya pelaporan oleh warga setempat, polisi menetapkan lima orang sebagai tersangka, termasuk ibu korban, dan jika terbukti bersalah, pihak yang terlibat dijatuhi hukuman 9 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Karena praktik perjodohan tersebut menimbulkan dampak yang signifikan bagi perempuan atau wanita sebagai korban, yakni dari sisi psikologis seperti syok, ketakutan, trauma, dan menurunnya tingkat kepercayaan kepada orang lain. Di sisi lain, ketika mereka lolos dari perjodohan tersebut, mereka juga harus mendapatkan cap buruk karena dianggap tidak menghormati adat.
Melanjutkan pembahasan sebelumnya bahwa praktik perjodohan dengan menggunakan tradisi ini menjadi perbincangan hangat bukan hanya karena faktor pelanggaran HAM atau isu perlindungan terhadap perempuan saja, namun pelaksanaannya di era ini dapat dikatakan sudah berbeda atau tidak sesuai dengan tata cara tradisi pada awalnya.
Mengapa belum dilakukan tindakan setelah mengetahui ada yang tidak tepat dalam praktik perjodohan tersebut?
Sesungguhnya, pada kondisi tertentu, kasus ini tidak bisa dilaporkan oleh warga setempat kepada pihak berwajib karena sudah timbul kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga (telah menerima belis atau mahar) meskipun di sini si calon tidak menyetujuinya. Pihak di luar keluarga pun juga tidak dapat terlalu ikut campur dalam keluarga terkait karena dianggap sebagai pantangan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah di sini juga akan tetap mengusahakan memberikan keadilan dan perlindungan kepada korban, seperti negosiasi adat atau penempuhan jalur hukum bila diperlukan agar dapat menyelesaikan kasus atau permasalahan tersebut, seperti pada contoh di atas.
Hal lainnya adalah adanya upaya untuk mengakhiri praktik perjodohan tersebut oleh berbagai pihak untuk melindungi hak asasi bagi perempuan, namun hal ini memang tidak dapat hilang secara langsung karena kembali lagi, ini merupakan tradisi atau kebiasaan masyarakat yang sudah ada dari lama (dapat dikatakan sesuatu yang melekat pada pola pikir manusia atau sebuah tradisi dapat mempengaruhi cara berpikir).
Bukan hanya dari aspek adat atau hak asasi manusianya saja, peristiwa perjodohan ini juga menunjukkan ketidaksesuaian dengan syarat perkawinan sebagaimana tercantum dalam:
ADVERTISEMENT
1. Buku kompilasi hukum Islam, tepatnya di Bab IV mengenai rukun dan syarat perkawinan pada Pasal 16 Ayat 1-2 dan Pasal 17 Ayat 2.
2. Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tepatnya pada Pasal 6 Ayat 1.
Sumber:
e-journal.uajy.ac.id
bbc.com
cnnindonesia.com
regional.kompas.com
voaindonesia.com