Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
F-16 TNI AU: Elang Kecil yang Termakan Zaman
2 Februari 2025 12:46 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
F-16 Fighting Falcon, si "Elang Kecil" legendaris buatan Lockheed Martin, perusahaan militer asal Amerika Serikat, telah menggendong keamanan udara TNI AU sejak pertama kali datang pada 1989. Pesawat tempur multirole ini awalnya diterjunkan untuk menggantikan armada butut seperti A-4 Skyhawk dan F-5 Tiger. Mampu melesat hingga kecepatan maksimal Mach 2, radar canggih, dan kemampuan air to ground superiority, menjadikan F-16 simbol keperkasaan udara militer Indonesia pada era 90-an. Namun, setelah berkelana selama lebih dari 30 tahun, F-16 Indonesia kini bagai elang tua dengan cakar tumpul dan sayap rapuh. Memang masih gagah di udara, tetapi tak sanggup bertarung dengan predator lain dan tinggal menunggu kematiannya.
ADVERTISEMENT
Sejarah tempur F-16 TNI AU dimulai dengan pembelian 12 unit F-16A/B Blok 15 OCU pada 1989. Pesawat ini langsung disulap jadi primadona, terutama dalam operasi penegakan kedaulatan di wilayah perbatasan negara. Sayangnya, sejak embargo militer AS pasca pelanggaran HAM di Timor Timur (199-2005) membuat perawatannya terhambat. Bahkan, baru pada tahun 2011, Indonesia diperbolehkan membeli 24 unit F-16C/D Blok 25 dan 52+, bekas US Air Force lewat program Excess Defense Articles. Meskipun bukan baru, pesawat ini mendapat upgrade dengan radar AESA, sistem pertahanan dini modern, dan kemampuan menggendong rudal AIM-120C AMRAAM.
Meskipun terlihat gahar, modernisasi ini hanya sekadar tempelan di tengah ancaman yang kian nyata. Sementara Indonesia sibuk memoles keris tua F-16, negara tetangga seperti Singapura dan Australia sudah membeli pesawat tempur generasi 5 berteknologi stealth, alias sulit terdeteksi radar militer. Keduanya sudah membeli F-35B dan F-35A buatan AS, yang jelas diatas kertas sanggup melibas F-16 bagaikan mainan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Bahkan buruknya, sebelum F-16 Indonesia memasuki wilayah udara musuh. Vietnam pun makin kuat, dengan membeli Sukhoi SU-30SM dan rudal hipersonik dari Rusia. Di tengah medan tempur yang makin canggih, F-16 Indonesia layaknya pedang karatan. Masih layak dipakai, tapi tak lagi efektif.
Fakta yang makin memilukan, 70% armada tempur TNI AU berusia di atas 30 tahun (SIPRI, 2023). F-16 Blok 15 OCU yang paling tua, bahkan sudah berusia 40 tahun, jauh melampaui batas usia pakai ideal selama 8000 jam. Meski diupgrade dengan radar AESA dan sistem senjata mutakhir, F-16 tetap rentan terhadap ancaman modern seperti rudal hipersonik dan pesawat siluman. Tanpa adanya armada baru, kedaulatan udara Indonesia hanya seperti angin kentut.
ADVERTISEMENT
Inilah ironi terbesar: sementara negara tetangga berlomba membeli pesawat tempur generasi 4.5 dan 5, Indonesia masih bergantung pada F-16 tua yang diupgrade ala kadarnya. Jika tak ada perubahan, F-16 TNI AU tak hanya akan menjadi simbol kejayaan masa lalu, tapi juga bukti kegagalan bangsa ini menjaga kedaulatannya di udara.
Bagian 1: Anggaran Pertahanan Minim dan Prioritas Pemerintah yang Salah Arah
Alokasi belanja pertahanan negara ibarat celengan bocor di tengah ancaman yang kian menggunung. Data Kementerian Keuangan 2023 mencatat, anggaran pertahanan hanya sebesar 1% dari PDB (Rp 140 triliun), jauh di bawah standar keamanan standar global yang disarankan PBB, yakni 2% dari PDB. Bila dibandingkan dengan Singapura, yang berani menggelontorkan 3,5% dari PDB (Rp 700 triliun), Vietnam 2,5% PDB (Rp 300 triliun).
ADVERTISEMENT
Lebih ironis lagi, hanya 15% dari Rp 140 triliun yang dialokasikan ke TNI AU yang menjadi sektor paling vital dalam pertahanan udara. Artinya, hanya Rp 21 triliun per tahun yang tersedia untuk memodernisasi pesawat tempur, pelatihan pilot, dan maintenance armada. Angka yang begitu kecil tersebut membuat Indonesia kurang lebih butuh 30 tahun, untuk bisa mengakuisisi 24 unit F-35 yang dibanderol dengan harga Rp 30 triliun/unit. Sementara Singapura mampu membeli 12 unit F-35B hanya dalam 5 tahun.
Kebijakan pemerintah justru memperparah keadaan ini. Saat anggaran pertahanan terus dipotong, proyek mercusuar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) menyerap dana Rp 500 triliun—cukup untuk membeli 15 unit F-35 atau mengganti seluruh armada F-16 yang uzur. Pemerintah juga gemar mengumbar janji tanpa perwujudan serius. Negosiasi pembelian 42 unit Rafale dari Prancis sejak 2022, hingga sekarang masih terkendali birokrasi dengan legislatif, dan polemik klausul hutang jangka panjang. Di tengah kemelut administrasi, akhirnya pemerintah hanya bisa terus memaksa F-16 bekas AS mengudara dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Padahal, memakai pesawat bekas kuno, ibarat memakai baju bekas orang mati. Murah di awal, tapi mahal di pemeliharaan.
ADVERTISEMENT
Pokok masalahnya bermula dari dua hal: ketidakpekaan politik dan mentalitas instan. Pertama, pemerintah masih punya anggapan ancaman udara sebagai isu tersier. Alih-alih mengutamakan pengadaan radar udara, senjata Surface to Air Missile (SAM), atau pesawat tempur yang lebih battle proven, dana sering dicairkan untuk proyek yang menghasilkan panggung politik bagi pejabat TNI. Contohnya seperti renovasi markas komando atau seremonial hari ulang tahun TNI. Kedua, skandal korupsi yang menggerogoti proyek alutsista—seperti kasus suap pembelian Sukhoi tahun 2008—membuat pejabat takut mengambil risiko pembelian pesawat baru. Belum lagi ketergantungan pada teknologi AS yang kerap kali dipolitisasi. Misalnya, embargo suku cadang saat peristiwa penumpasan pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2003. Hal itu membuat Indonesia terjebak dalam siklus dependensi yang merugikan.
ADVERTISEMENT
Faktor lain adalah mentalitas "aman terkendali" yang keliru. Pemerintah beranggapan bahwa negara sangat kecil kemungkinan untuk terlibat dengan perang terbuka, sehingga pembelian pesawat tempur baru dipandang pemborosan. Padahal, di Laut Cina Selatan, intimidasi tanpa tembakan melalui patroli pesawat siluman dan drone sudah jadi makanan sehari-hari. Tanpa armada baru yang memadai, Indonesia hanya bisa gigit jari melihat parade alutsista gratis milik negara tetangga. Apalagi sampai mengambil tindakan kedaulatan, seperti Tiongkok yang memasang bendera di perairan Ambalat. Jika anggaran pertahanan tetap dipandang sebagai biaya, bukan investasi, maka yang terjadi bukan hanya ketertinggalan—tapi penyerahan kedaulatan udara ke pihak asing.
Bagian 2: Analisa Taktis F-16 TNI AU— Sebuah Kalkulasi Daya Tempur
F-16 TNI AU, meski telah dimodernisasi, ibarat pedang karatan di medan perang berteknologi laser. Kemampuannya kalah telak dibandingkan ancaman modern yang dihadapi Indonesia. Mari bedah kelemahan fatalnya:
ADVERTISEMENT
Radar AN/APG-83 AESA pada F-16 Blok 52+ bisa mendeteksi pesawat musuh dari jarak 300 km. Namun, teknologi stealth pesawat generasi ke-5 seperti F-35 dan J-20 Tiongkok membuat mereka "tak terlihat" hingga jarak 50 km. F-35 memiliki Radar Cross Section (RCS) 0,001 m² (sebesar bola golf), sementara F-16 memiliki RCS 5 m² (sebesar mobil). Artinya, F-35 bisa membunuh F-16 dari jarak 180 km dengan rudal AIM-120D, sementara F-16 baru bisa membalas di jarak 100 km. Dalam latihan AS "Red Flag", F-35 memiliki kill ratio 20:1 terhadap F-16. Artinya, 20 F-16 harus jatuh hanya untuk menjatuhkan sebuahF-35. Bila menilik simulasi riil, maka dibutuhkan 420 unit F-16 untuk melawan 21 unit F-35B Singapura. Padahal, TNI AU hanya punya 33 unit F-16. Ini bukan pertempuran, tapi pembantaian terencana.
ADVERTISEMENT
Tiongkok kini melengkapi pesawat tempurnya dengan rudal PL-15 berjangkauan 200+ km dan kecepatan Mach 6. Sementara itu, F-16 Indonesia hanya mengandalkan rudal AIM-120C (jangkauan 100 km). Perbedaan ini seperti "lempar batu vs tembak granat dari jarak 2 km". Belum lagi ancaman drone seperti Wing Loong II yang bisa terbang 24 jam dengan biaya operasional Rp 100 miliar/unit—10 kali lebih murah dari biaya operasional F-16. Drone ini dilengkapi rudal BA-7 (jangkauan 40 km), sementara menghancurkannya dengan rudal AIM-120C (Rp 10 miliar/unit) ibarat "pakai berlian buat membunuh nyamuk".
F-16 membutuhkan 15 menit untuk lepas landas dan mencapai ketinggian tempur (7000 kaki). Sedangkan rudal balistik antarbenua Tiongkok seperti DF-21D bisa menghantam pangkalan udara Indonesia paling utara, dalam 10 menit. Artinya, sebelum F-16 siap tempur, pangkalan udara dan landasan pacu dipastikan rontok duluan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah menyatakan modernisasi F-16 jauh lebih "ekonomis". Faktanya, biaya upgrade F-16 Blok 52+ mencapai kurang lebih Rp 500 miliar/unit, sementara usia pakainya hanya bisa diperpanjang maksimal sampai 20 tahun. Bandingkan dengan pembelian F-35 yang memiliki masa operasional 40+ tahun dengan biaya Rp 1,2 triliun/unit. Dalam jangka panjang, F-35 justru lebih hemat karena kemampuan stealth mengurangi risiko kerusakan dalam pertempuran.
Insiden pada tahun 2023 di Natuna jadi bukti konkret ketidakmampuan F-16. Saat Wing Loong II memasuki ZEE Indonesia, F-16 diluncurkan untuk intercept dan menghancurkannya dengan misil. Namun, mereka gagal karena rudal tidak mampu menjangkau jarak terbang milik Wing Loong II. Kejadian ini seperti membawa pisau kombat, untuk melakukan pertempuran jarak jauh—konyol dan memalukan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih membeli pesawat tempur baru, pemerintah memilih F-16 bekas AS lewat skema Excess Defense Articles. Padahal, biaya perawatan pesawat bekas justru 30-40% lebih mahal. Contoh: F-16 Blok 25 bekas AS butuh Rp 200 miliar/ unit dalam setahun untuk maintenance. Sementara F-35B milik Singapura hanya Rp 140 miliar, untuk biaya maintenance, belum termasuk upgrade. Fakta ini bisa dianalogikan seperti membeli mobil tua yang sering mogok, lalu menghabiskan banyak uang untuk reparasi, daripada beli mobil baru. F-16 Indonesia mungkin masih bisa digunakan untuk patroli atau latihan, tapi tak layak untuk perang modern. Tanpa armada tempur generasi 4.5/5, kedaulatan udara Indonesia ibarat benteng tanpa pintu. Jika pemerintah terus mengabaikan fakta ini, ancamannya bukan hanya kehilangan wilayah, tapi hilangnya harga diri sebagai bangsa berdaulat. Kita tidak butuh F-16 tua yang jadi pajangan—kita butuh pesawat yang bisa membuat musuh berpikir seribu kali sebelum melanggar batas.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan: Menunggu Kehancuran atau Bertindak Sekarang?
F-16 TNI AU, si "Elang Kecil" yang dulu gagah perkasa, kini telah menjadi simbol ketertinggalan Indonesia di kancah pertahanan udara global. Modernisasi ala kadarnya hanya sekadar menunda kehancuran, bukan solusi jangka panjang. Tanpa armada tempur baru yang mampu bersaing dengan pesawat generasi 4.5 dan 5, kedaulatan udara Indonesia ibarat benteng tanpa penjaga—terbuka lebar untuk dijarah siapa saja.
Pemerintah harus segera mengambil langkah tegas: naikkan anggaran pertahanan ke 2% PDB, beli pesawat tempur modern seperti F-35 atau Rafale, dan hentikan kebiasaan membeli pesawat bekas yang hanya menambah beban operasional. Proyek mercusuar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) harus dikaji ulang, karena keamanan nasional bukanlah komoditas yang bisa ditawar. Jika terus mengabaikan ancaman ini, Indonesia akan menjadi penonton di rumah sendiri, menyaksikan negara tetangga menguasai langitnya dengan pesawat siluman dan rudal hipersonik.
ADVERTISEMENT