Konten dari Pengguna

Marcus Rashford dan Conquest Kedua, Pangeran Old Trafford

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
6 Februari 2025 9:12 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Art Marcus Rashford. Sumber: Dibuat sendiri dengan Adobe Illustrator + AdobeFirefly AI
zoom-in-whitePerbesar
Art Marcus Rashford. Sumber: Dibuat sendiri dengan Adobe Illustrator + AdobeFirefly AI
ADVERTISEMENT
Marcus Rashford. Nama yang dulu begitu membanggakan bagi fans Manchester United. Debutnya yang spektakuler di tahun 2016 seolah menjanjikan masa depan cerah: pemuda lokal yang tumbuh dari akademi, mencetak gol penting, dan menjadi simbol kebangkitan United pasca-era Sir Alex Ferguson. Namun, delapan tahun berlalu, cerita Rashford di Old Trafford justru berakhir dengan nada getir. Dari pahlawan yang dielu-elukan, kini pergi dengan status "bintang gagal". Apa yang sebenarnya terjadi? Rashford punya segalanya: bakat, kecepatan, dan dukungan dari fans yang menganggapnya sebagai "anak sendiri".
ADVERTISEMENT
Tapi, bakat saja ternyata tak cukup. Mentalitas yang goyah, kurangnya disiplin, dan performa yang terus menurun membuatnya gagal memenuhi ekspektasi. Ini bukan sekadar kisah tentang pemain yang kehilangan form, tapi tentang potensi besar yang terbuang sia-sia. Sekarang saat Rashford memulai babak baru di Aston Villa, satu pertanyaan besar menggantung: apakah ini akhir dari karirnya di level elite, atau justru awal kebangkitan yang terlambat?
Awal Gemilang dan Penurunan Drastis
Marcus Rashford adalah contoh klasik bakat muda yang langsung meledak saat debut, namun terjebak dalam hegemoni pemain bintang. Pada 2016, dunia sepak bola dikagetkan dengan kemunculan bocah muda akademi Manchester United, yang menjebol gawang FC Midtjylland dua kali di Europa League. Lalu, mengulanginya di Premier League saat bertandang ke Arsenal setelah beberapa hari kemudian. Sejak itu, Rashford dianggap sebagai calon bintang baru United—pewaris kejayaan para legenda seperti Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo.
ADVERTISEMENT
Dibawah naungan Jose Mourinho dan Ole Gunnar Solksjaer, Rashford mengalami fase gemilangya, terutama pada musim 2019 hingga 2021. Statistik menunjukkan adanya tingkatan signifikan: 22 gol di semua kompetisi pada musim 2019/20, dan 21 gol di semua kompetisi di musim berikutnya. Ia mendapat sorotan, menjadi key player, sering mencetak gol-gol penentu kemenangan, dan tampak berada di posisi tepat sebagai juru gedor United.
Tetapi, semua kisah itu berubah dramatis selama dua tahun terakhir. Performa alumni akademi tersebut anjlok. dan statistik sudah membuktikan. Jika di puncak karirnya ia memiliki conversion rate sebesar 30%, kini angkanya jauh lebih suram, hingga 12% saja. Bukan hanya sulit menjebol gawang lawan, tetapi juga kehilangan pengaruh di lapangan. Rashford yang dulunya diplot sebagai game changer lewat aksi individu, kini lebih terlihat pasif, kurang inisiatif, dan decision making yang buruk di final third.
ADVERTISEMENT
Penurunan ini bukan sekadar soal statistik, tetapi juga soal mentalitas. Rashford yang dulunya terlihat lapar akan kemenangan, kini lebih sering tampil seolah-olah “tidak peduli.” Gesturnya di pertandingan sering menunjukkan arti frustasi, minim komunikasi dengan rekan setim, dan kehilangan kepercayaan diri. Beberapa tahun sebelumnya, sifat agresif inilah yang membawa namanya melambung. Kini ia seperti orang linglung, bahkan cenderung tidak klik dengan taktikal tim.
Fakta paling mencolok adalah ketika dirinya gagal mengisi peran striker yang kosong sepeninggal Cristiano Ronaldo yang putus kontrak. Alih-alih meresmikan diri sebagai bintang baru, ia justru terlihat laid back dalam menghadapi tekanan. Dengan usianya yang seharusnya menjadi puncak karir, performa Rashford malah berjalan mundur.
Mentalitas dan Profesionalisme yang Dipertanyakan
ADVERTISEMENT
Rashford dikenal sebagai pemain yang selalu membara di lapangan, tetapi belakangan ini banyak yang mencibir sikapnya. Dari sisi mental, tampaknya ia kerap terlihat underperform saat bertanding—bahasa tubuhnya menunjukkan keraguan, dan interaksi dengan rekan setim tak sehangat dulu. Banyak pengamat dan beberapa tokoh senior di United, termasuk Wayne Rooney, mengungkapkan bahwa prioritasnya tampak bergeser ke urusan di luar lapangan, mulai dari aktivitas sosial hingga kontroversi yang muncul di publik.
Menilik dari faktor profesionalisme, ada beberapa kisah yang cukup menonjol. Misalnya, laporan mengenai keterlambatan latihan, bahkan gaya hidup yang dianggap tidak sejalan dengan standar pemain bintang Manchester United. Hal-hal ini, meskipun terdengar sepele, sebenarnya memberikan dampak besar terhadap performa dan kepercayaan tim.
ADVERTISEMENT
Bukannya memperlihatkan tekad untuk bangkit, Rashford kerap terjebak dalam rutinitas yang membuatnya kehilangan fokus sebagai pemain kunci. Jika dibandingkan dengan pemain lain yang selalu menunjukkan konsistensi, Rashford justru terkesan masih berada di fase eksperimen—belum sepenuhnya siap untuk tuntutan level elite secara penuh.
Performa sebagai Striker: Kritik Teknis
Dalam hal performa sebagai striker, Rashford kerap menunjukkan kelemahan kontribusinya di lapangan. Sering kali, bomber Inggris itu gagal memanfaatkan peluang 1-on-1 dengan kiper, yang berdampak langsung pada keran golnya yang buntu. Shooting yang diambil pun terkesan eksperimental—tidak hanya sering off target, tetapi juga kurang efektif mengancam gawang lawan.
Di samping masalah finishing, posisi dan pergerakan tanpa bola juga menjadi sorotan. Rashford cenderung sulit membaca ruang dengan tepat sebagai striker tengah. Meskipun ia lebih nyaman bermain di sisi sayap, pergerakan dan posisinya di lapangan tidak cukup mendukung peran sebagai deadlock-breaker dalam situasi penting. Kesulitan beradaptasi dengan peran inverted winger kelas dunia semakin menonjol saat dibandingkan dengan rekan-rekan sekelasnya.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, dari segi teknis, Rashford belum menunjukkan peningkatan signifikan dalam hal finishing dan positioning yang seharusnya menjadi modal utama seorang striker. Kritikus berpendapat, jika ia tidak segera memperbaiki aspek-aspek dasar ini, perannya sebagai pemain kunci di lini depan akan terus dipertanyakan.
Kegagalan Adaptasi dan Mengelak Tanggung Jawab
Di balik segala potensi yang pernah membuatnya diidolakan, perjalanan Marcus Rashford kini diliputi kekecewaan yang tak bisa disangkal. Dia seolah terjebak sebagai 'speed merchant' yang nyaman, tanpa pernah berusaha mengembangkan diri menjadi complete striker, dengan variasi tactical-role yang memadai.
Ketidakmampuan untuk beradaptasi terlihat jelas, ketika ia jarang menghadirkan eksekusi krusial yang mengubah jalannya pertandingan, terutama di saat penting yang menegaskan posisinya sebagai penerus legenda. Di sisi lain, tanggung jawab personal pun kian luntur. Meskipun masalah mental menjadi isu yang harus dihadapi, Rashford tampak enggan bangkit dan menunjukkan usaha serius untuk memperbaiki diri. Berbeda dengan Bruno Fernandes yang tetap produktif di tengah berbagai krisis.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, kritik juga ditujukan kepada klub, yang dianggap lalai memberikan pendampingan psikologis memadai. Meskipun tentu saja, Rashford juga harus mengambil peran aktif untuk mencari solusi. Kombinasi dari kegagalan adaptasi dan kecenderungan untuk mengelak tanggung jawab inilah, yang membuat kinerja dan citranya di Manchester United semakin kusam.
Belajar dari Vinicius Jr yang Sempat Flop di Real Madrid
Vinicius Junior dan Marcus Rashford sama-sama bersinar sejak usia muda dan pernah mencuri perhatian dengan performa gemilang mereka. Namun, keduanya juga sempat menghadapi fase sulit di mana performa dan kepercayaan diri mereka goyah. Vinicius, misalnya, pernah mengalami masa-masa buruk di Real Madrid—sulit menemukan ritme dan terkadang terlihat ragu dalam decision making di lapangan. Pada musim 2019-20 ia hanya berhasil 5 kali menggetarkan jala lawan dari 44 pertandingan seluruh kompetisi.
ADVERTISEMENT
Perbedaannya, Real Madrid segera merespons situasi tersebut dengan memberikan dukungan mental dan pendampingan yang lebih intensif. Klub Spanyol tersebut mengambil langkah proaktif, melibatkan psikolog olahraga dan pelatih yang tak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga pada kesehatan mental pemain. Vinicius pun perlahan-lahan menunjukkan peningkatan signifikan.
Perubahan mental ini tercermin jelas lewat peningkatan drastis statistik golnya. Pada musim 2020–21, ia mencetak 8 gol dan 4 assist. Namun, lonjakan performa terjadi saat musim 2021–22, di mana ia berhasil mencetak 21 gol dan 17 assist, meningkat hampir empat kali lipat dibandingkan musim sebelumnya. Peningkatan ini menandakan bahwa Vinicius telah berhasil mengatasi sebagian besar beban mental yang dulu menghambatnya. Pada musim 2023-24, ia telah mencetak 25 gol dan 11 assist, setelah musim sebelumnya menjebol gawang lawan sebanyak 20 gol dan 18 assist. Puncaknya, ia dinominasikan dalam penghargaan Ballon D'or, dan pemenang FIFA Men's Player of The Year 2024.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Manchester United, tekanan untuk mengisi kekosongan besar yang ditinggalkan oleh legenda-legenda sebelumnya membuat situasi Rashford semakin kompleks. Meskipun potensi dan bakatnya tak diragukan, Rashford seolah tersesat di tengah ekspektasi berlebih. United perlu belajar dari pendekatan Real Madrid. Klub harus lebih serius dalam menangani aspek mental pemain muda—terutama yang underperform.
Kesempatan Kedua Rashford Menjadi Superstar
Di akhir cerita, jelas terlihat bahwa bakat mentah saja tidak cukup untuk bertahan di dunia sepak bola elit. Seorang pemain muda harus memiliki disiplin, mental baja, dan komitmen total untuk terus berkembang—tanpa itu, bahkan bintang yang pernah bersinar terang pun akan redup. Marcus Rashford, yang dulu diprediksi akan menjadi penerus kejayaan Manchester United, kini harus menghadapi kenyataan pahit dirinya dipinjamkan karena kurangnya profesionalisme dan ketangguhan mental.
ADVERTISEMENT
Namun, harapan belum sepenuhnya padam. Di Aston Villa, Rashford memiliki kesempatan kedua untuk membuktikan dirinya. Di sana, ia harus menemukan kembali ketajamannya, mengasah naluri gol di setiap pertandingan, dan menunjukkan ia mampu bangkit dari kegagalan besar di masa lalu. Jika ia berhasil, bukan hanya reputasinya yang bisa pulih, melainkan menginspirasi generasi berikutnya bahwa, kejayaan sejati di level elite menuntut lebih dari sekadar bakat—itu adalah tentang ketekunan, kerja keras, dan keberanian untuk jadi yang terbaik.