news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Siklus Perang Modern: Penghancuran Kesetaraan Kekayaan Masyarakat

Annajm Islamay Wisyesa
Founder Harian Gaming Media S.I.Kom UPN Veteran Yogyakarta ex-Kabiro Cokronews.com Yogyakarta
26 Maret 2025 7:46 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
USAF Thunderbolts. Sumber: Unsplash/UX GUN
zoom-in-whitePerbesar
USAF Thunderbolts. Sumber: Unsplash/UX GUN
ADVERTISEMENT
Di atas reruntuhan kota yang luluh lantak dijatuhi bom, di tengah sebuah pesta dansa yang dihadiri oleh banyak pejabat negara, dan di balik peluncuran misil yang menerangi malam, perang modern yang kita kenal bukan lagi bicara soal konflik teritorial. Perang di masa kini adalah representasi algoritma kekuasaan yang direncanakan rapi. Menghisap darah manusia kelas bawah, menggilas nalar kelas menengah, dan menjadi pesta pora bagi kalangan elit kelas atas. Setiap ledakan, setiap tangisan anak yatim, krisis pangan—semuanya adalah variabel dalam persamaan matematis yang menjamin satu hal, kekayaan tetap mengalir ke kantong yang sama. Abad ini, kita menyaksikannya sebagai penghasil ketakutan dan kemiskinan terstruktur, dirancang untuk melanggengkan hierarki manusia menjadi tiga kasta kekayaan: Atas, Menegah, dan Bawah.
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah dunia yang kita cintai ini, di mana 1% populasi berhasil mengontrol 80% kekayaan global. Pertanyaan mendasar pastinya muncul spontan, mengapa negara pemilik kekayaan besar mau menghabiskan ratusan triliun rupiah per tahun untuk berperang? Bukan untuk mengentaskan kemiskinan warganya? Jawabannya tentu berada di balik kotak rahasia, yang ketika kita membukanya, terdapat gramofon yang memainkan suara setan yang dipatrikan oleh para oligarki. Perang adalah ritual pengorbanan massal.
Darah petani miskin di Ukraina menjadi pupuk bagi saham pabrik senjata AS. Air mata ibu-ibu Yaman yang kehilangan anaknya dikapitalisasi menjadi kursi kekuasaan politisi di Riyadh dan Washington. Sementara itu, kelas menengah—dokter, guru, insinyur—terjebak dalam ilusi "keterlibatan heroik", mengira draf-draf militer atau kontrak proyek pertahanan adalah tiket naik kelas. Padahal, mereka hanyalah sekrup dalam mesin raksasa yang menggilas mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Inilah argumentasi mendasar mengenai dunia yang kita cintai dengan harta dan berlian berkilauannya. Dunia yang dipenuhi oleh algoritma pasti, dimulai dari menciptakan musuh, memanen ketakutan, mengerek anggaran perang, dan berulang dari awal. Setiap fase perang melahirkan generasi baru para elit, sementara kelas bawah dikubur dalam kuburan massal atau deretan gubuk kumuh. Layaknya Moloch, dewa kanibal yang menyantap anak-anak untuk kekuatan, perang modern melahap masa depan manusia demi menjaga status quo. Dan kita? Kita hanya bisa terdiam, terpaku, atau—lebih parah—bersorak saat pesawat tempur membelah awan, tak sadar bahwa ada segelintir manusia di menara gading sedang menertawakan kebodohan kolektif ini.
Konsep Dasar Peperangan Modern
Sosiolog bernama Wright Mills, dalam bukunya berjudul The Power of Elite (1956), menyatakan keberadaan trio kekuasaan yang berisi militer, korporasi, dan politisi. Mereka bertiga bersekongkol menciptakan permanent war economy. Tidak peduli siapa pihak yang menang atau kalah, hal terpentingnya adalah pertempuran terus berlanjut. Mills menggambarkan bagaimana seorang Jenderal Pentagon bisa duduk di dewan direksi Raytheon, sedangkan politisi kekenyangan dana korupsi dari proyek strategis nasional. Keputusan mengenai dimulainya perang tidaklah berasal dari ruang rapat strategis, namun ruang boardrooom yang dipenuhi botol alkohol dan wanita striptis. Contoh: Invasi AS ke Irak 2003 dipicu lobi Halliburton (perusahaan Dick Cheney, Wakil Presiden AS) yang mengincar kontrak rekonstruksi senilai $39 miliar. Padahal di waktu yang sama, warga AS sedang terancam krisis ekonomi akibat kredit rumah nasional yang mulai macet, dan PHK massal di sektor keuangan.
ADVERTISEMENT
Perang modern juga mendapat singgasana sebagai akselerator ketimpangan sosial. Menurut Thomas Piketty, dalam Capital in the Twenty-First Century (2013) menjelaskan bahwa ketimpangan antara kaya dan miskin terjadi dengan perencanaan matang. Perang adalah siklus setan, dimulai dari menciptakan ketimpangan untuk memicu kerusuhan, kerusuhan membutuhkan represi, dan represi membutuhkan senjata, dan penjualan senjata mengisi kantong para elit.
Kampanye masif ini akan dibekingi oleh media massa yang berubah jadi tukang pukul ideologi. Perang tidak mungkin terjadi tanpa adanya dukungan khayalan dari kelas menengah dan bawah. Media menciptakan musuh imajiner: teroris, komunis, imigran—lalu menjualnya sebagai alasan untuk perang. Contoh: Pada 1964, AS memalsukan insiden Teluk Tonkin untuk membenarkan Perang Vietnam. CNN, Fox News, dan BBC mengulangi narasi yang sama tentang "Senjata Pemusnah Massal milik Iraq" pada 2003, meski buktinya diragukan. Masyarakat kelas menengah yang terpelajar akhirnya jadi pendukung fanatik perang, karena percaya mereka "mempertahankan demokrasi". Padahal, demokrasi yang mereka puja telah lama dikubur oleh oligarki.
ADVERTISEMENT
Setelah masyarakat menyepakati kondisi-kondisi tertentu untuk berperang, maka mereka akan menjadi lebih solid satu sama lain. Masyarakat yang akan semakin disibukkan dengan kegiatan pemenuhan hajat hidupnya, sehingga tidak mempunyai daya untuk melawan bahaya. Ketakutan akan serangan teroris, krisis ekonomi, atau wabah penyakit membuat publik rela menyerahkan kebebasan demi "keamanan".
Pemerintah dan korporasi memanfaatkan ini untuk mengalihkan dana publik ke proyek militer. Contoh: Setelah 9/11, AS meluncurkan Patriot Act pada 2001, yang mengizinkan pengawasan massal, sementara anggaran militer melonjak 300%. Masyarakat yang dicekam ketakutan tidak lagi memprotes—mereka berterima kasih pada negara karena "melindungi" mereka, meski yang sebenarnya dilindungi adalah kepentingan Exxon dan Boeing.
Anatomi Siklus Perang Modern
Fase 1: Fabrikasi Ancaman dan Monetisasi Ketakutan
ADVERTISEMENT
Perancangan perang dimulai dari papan tulis raksasa yang dicoreti oleh para korporasi, bankir, militer, dan politisi. Mereka akan menciptakan ancaman palsu yang dijual ke publik melalui propaganda media. Musuh mudah saja untuk dibuat-buat, seperti pembuatan narasi keberadaan terorisme, negara otoriter, atau bahkan imigran yang dianggap sebagai ancaman nasional. Tujuan utamanya adalah mengubah ketakutan masyarakat jadi mesin uang baru. Contoh klasik adalah invasi AS ke Irak 2003 berbasis kebohongan Weapons of Mass Destruction. Sementara jutaan orang percaya pada ancaman Saddam Hussein, Halliburton (perusahaan minyak dan konstruksi milik Dick Cheney), meraup untung dari kontrak rekonstruksi pasca penghancuran. Di fase ini, darah warga sipil dihitung sebagai biaya operasional. Kemudian keuntungan raksasa masuk ke kantong para pemegang saham.
ADVERTISEMENT
Fase 2: Mobilisasi Kelas Menengah dan Eksploitasi Kelas Bawah
Setelah ketakutan menyebar seperti pandemi, siklus berikutnya adalah pengerahan massa sebagai tumbal. Kelas menengah yang diisi oleh para profesional dan pakar akan dijebak dengan narasi "kewajiban patriotik dan nasionalisme", atau bentuk-bentuk keuntungan ekonomi pribadi. Mereka yang terjepit perangkap tikus, dikerahkan sebagai agen ideologi. Menyebarkan opini dukungan perang melalui media, mengembangkan riset teknologi senjata, bahkan mengelola proyek logistik milik militer. Sementara kelas bawah yang diisi oleh kaum buruh dan proletar, dijadikan bahan bakar mesin perang yang siap menyala. Mereka direkrut sebagai tentara dengan iming-iming tunjangan pensiun, atau dipaksa bekerja di barak militer dengan upah mengenaskan.
Fase 3: Pemusnahan Manusia dan Pengerukan Keuntungan
ADVERTISEMENT
Pada fase dimana peperangan sudah mendekati akhir, maka tujuan utamanya sudah tercapai, yakni menggulung infrastruktur publik untuk membuka pasar baru bagi korporasi. Sekolah, rumah sakit, dan jaringan listrik dihancurkan, lalu rekonstruksinya diserahkan kepada perusahaan swasta dengan kontrak menggiurkan. Di Nigeria, setelah perang sipil berkepanjangan dimenangkan oleh pihak militer, Shell didapuk sebagai perusahaan minyak yang mengelola sumber daya setempat. Tetapi, pada akhirnya, keuntungan pengelolaan ini hanya dinikmati oleh segelintir elit Nigeria, dan masyarakatnya dipaksa hidup di daerah-daerah yang sudah terkontaminasi limbah minyak bumi.
Sisa-sisa negatif dari peperangan ujung-ujungnya ditanggung oleh masyarakat melalui pemotongan subsidi negara dan pajak regresif yang tinggi. AS misalnya, menghabiskan triliunan dolar untuk proyek Perang Melawan Teroris (2001–2021), dan meninggalkan utang yang akan dibebankan ke anak cucu melalui pajak hingga 2050. Sementara itu, kelas atas makin kaya, contohnya adalah keuntungan Lockheed Martin naik drastis selama Perang Ukraina, dan oligarki Rusia seperti Roman Abramovich berhasil menjual minyak ke Eropa dengan harga 3 kali lipat.
ADVERTISEMENT
Setelah peperangan panjang berakhir siklus baru sudah dipersiapkan. Peperangan baru akan berevolusi dengan wajah-wajah baru. Misalnya perang siber, perang dagang, atau konflik regional yang diprovokasi oleh kepentingan pihak-pihak partisipan perang baru. Di Afrika, perusahaan Prancis seperti TotalEnergies memicu konflik di Mozambik untuk menguasai cadangan gas senilai $60 miliar. Di Asia Tenggara, ketegangan Laut Cina Selatan dimanfaatkan oleh korporasi senjata AS untuk menjual kapal perang ke negara-negara ASEAN.
Pemiskinan Struktural dan Fragmentasi Kelas Sosial
Perang modern mengukir ketimpangan melalui dua mata pisau, yakni pemiskinan terencana dan pengerdilan kelas sosial. Anggaran militer yang membengkak menggerogoti dana publik—sekolah menjadi reyot, rumah sakit kekurangan obat, dan subsidi bensin dipangkas. Di lain sisi, kekayaan hasil perang mengalir deras ke kantong para oligarki di mana 1% orang mampu menguasai lebih dari 80% aset di dunia, dengan portofolio bertumpu pada saham alutsista, teknologi, dan aset tambang yang dirampas dari negara konflik dan miskin. Kelas menengah pada akhirnya dijebak pada mugen tsukuyomi, kemakmuran palsu. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak berhubungan dekat dengan industri kebutuhan perang, akan rubuh saat perang baru, dimulai kembali. Sementara itu kelas bawah tetap menjadi tumbal permanen.
ADVERTISEMENT
Masyarakat miskin akan mati kelaparan atau terkena penyakit menular, buruh-buruh dari negara miskin akan dibayar dengan upah mengenaskan, dan para pemuda miskin akan direkrut menjadi prajurit rendahan. Siap untuk dikorbankan di garis depan saat peperangan kembali dimulai.
Perang modern jelas berubah jadi monster pemisah kelas. Golongan kaya semakin menggurita, kelas menengah dibius dengan kemakmuran semu, kelas bawah ditekan dengan dogma nasionalisme dan siap dikorbankan kapan saja. Orwell dalam bukunya 1984 benar, bahwa "Perang adalah kedamaian" bagi segelintir elit berkuasa, dan "Kebebasan adalah perbudakan" bagi jutaan orang yang terbelenggu dalam siklus kemiskinan abadi.
Perang sebagai DNA Peradaban Kelas Sosial
Hidup di sebuah abad yang diklaim sebagai puncak kemanusiaan, kita justru dihadapkan pada kebenaran yang bertolak belakang. Perang adalah DNA yang mengalir dalam nadi masyarakat kelas-kelas. Perang bukanlah kecekalakaan sejarah, melainkan fitur bawaan dari sistem yang dirancang untuk melanggengkan tiga kelas sosial dalam siklus saling memakan satu sama lain. Elit berjoget di atas panggung yang dibangun dari mayat-mayat tentara, kelas menengah bertepuk tangan dengan bangga pada "prestasi" mereka, sementara kelas bawah mati dalam sunyi, dikubur dalam statistik yang tak pernah dibaca. Ironisnya, kita menyebut ini "kemajuan". Sedangkan yang terjadi hanyalah ritual kanibalisme modern, darah ditukar dengan saham, nyawa dijadikan jaminan utang, dan air mata diuangkan sebagai bahan bakar mesin pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Kita hidup dalam dunia ketika perdamaian hanyalah iklan kosong, untuk menutupi pabrik kematian yang tidak berhenti beroperasi. Setiap bom yang dijatuhkan di Gaza, setiap rudal yang meluncur di Ukraina, setiap anak yang kelaparan di Sudan—semuanya adalah sajak sama yang ditulis ulang dengan tinta berbeda.
Dan di tengah semua ini, kelas menengah—dengan gelar sarjana dan gawai tercanggih—masih bersikap seperti hamster dalam kandang, mengira roda yang mereka kayuh akan membawa nasib kehidupan ke puncak. Mereka lupa, roda itu adalah bagian dari permainan yang membunuh hamster perlahan, hingga akhirnya mati dalam kondisi gepeng. Sementara kelas bawah, yang tak punya waktu untuk berpikir, hanya bisa menatap langit dan berharap tak ada drone yang menjatuhkan bom atas nama "demokrasi".
ADVERTISEMENT