Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Turis Lokal Diusir Pemerintah? Liburan LN Makin Diminati!
31 Januari 2025 16:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagian masyarakat di Indonesia dikabarkan punya keinginan bersafari ke luar negeri pada 2025. Peluang besar ini tentu harusnya menjadi samsak tinju empuk bagi pemerintah. Bukan hanya pemerintah, berbagai pihak tour and travel agent mulai mempromosikan penawaran gila-gilaan. Salah satu yang paling disoroti adalah menjual tiket pesawat terbang dengan harga sangat terjangkau, untuk destinasi akhir tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Consumer Outlook 2025 oleh JakPat, keinginan masyarakat, khususnya Gen Z dan milenial untuk berpelesir ke luar negeri meningkat tajam. Hal ini dibandingkan data yang mereka peroleh di tahun 2024. Dikutip dari Kompas.com, survei dilakukan terhadap 1.395 responden berusia 18-59 tahun yang berwisata tahun lalu. Mayoritas berada pada taraf ekonomi menengah di beberapa kota besar di Indonesia.
Nah, dari hasil survei terbaru nih, ternyata makin banyak orang yang nggak terlalu semangat liburan dalam negeri tahun ini. Kalau tahun 2024 kemarin 79% orang mengaku mau jalan-jalan lokal, eh tahun 2025 turun jadi 62% saja. Kebanyakan yang masih mau liburan dalam negeri juga hanya rencana 1-2 kali doang (sekitar 40% orang). Sisanya, 36% malah nggak punya agenda traveling sama sekali—mungkin lagi fokus nabung atau sibuk kerja kali ya?
ADVERTISEMENT
Tapi jangan salah, liburan ke luar negeri malah makin tren! Singapura masih jadi favorit utama, lho. Tahun 2024 cuma 13% yang ke sana, tapi tahun depan naik hampir dua kali lipat jadi 22%. Jepang juga naik daun: dari cuma 7% orang yang ke sana tahun ini, rencana ke Jepang tahun depan melonjak ke 21%—menggeser Malaysia yang tahun lalu digandrungi 9% orang. Kelihatannya, orang Indonesia mulai bosan dengan "Jalan-Jalan ke Malingsia" dan ingin naik level ke Jepang atau city tour ala Singapura!
Gen Z dan milenial Indonesia dituding "gengsi" karena memilih liburan ke Singapura, Jepang, atau Turki ketimbang menjelajahi Raja Ampat atau Danau Toba. Tapi, coba hitung matematika sederhana: Tiket pesawat Jakarta-Turki pulang-pergi cuma Rp 5 juta, sementara ke Raja Ampat bisa tembus Rp 15 juta—itu pun harus transit dua kali plus naik kapal! Data Skyscanner 2025 membuktikan, liburan ke luar negeri justru lebih murah ketimbang lokal. Di balik tren "kekinian" ini, ada ironi kebijakan pemerintah yang menjual destinasi lokal dengan harga selangit. Pajak hotel di Bali? 21% (PPN + pajak daerah), sedangkan di Kuala Lumpur cuma 6%. Hasilnya, Gen Z lebih memilih menginap di hotel bintang 4 Malaysia seharga Rp 700 ribu/malam ketimbang merogoh Rp 1,5 juta untuk kamar sederhana di Bali.
ADVERTISEMENT
Masalahnya bukan cuma di akomodasi. Harga tiket pesawat domestik melambung karena pemerintah membiarkan monopoli maskapai dan pajak avtur 15%—bandingkan dengan Malaysia yang nol persen. Belum lagi biaya parkir pesawat di Bandara Soekarno-Hatta (Rp 2 juta/jam) yang lebih mahal daripada Changi Singapura. "Bayar parkir pesawat kok lebih mahal dari parkir Lamborghini?" sindir seorang traveler di X. Alih-alih mempermudah, pemerintah malah mempersulit: promosi "Wonderful Indonesia" ke Eropa menghabiskan Rp 500 miliar/tahun, sementara jalan ke Tana Toraja masih berlubang sepanjang 20 km. Survei JakPat 2024 menyebut, 70% Gen Z merasa pemerintah lebih fokus menarik turis asing ketimbang memajukan destinasi lokal.
Kontroversi lain muncul dari regulasi yang membunuh kreativitas UMKM pariwisata. Di Turki, tenda glamping di Cappadocia bisa beroperasi dengan pajak rendah. Sementara di Indonesia, izin glamping harus melewati lima lembaga, birokrasi berbulan-bulan, plus pungli. "Aturannya kayak larangan pacaran zaman Orba: ribet dan nggak jelas!" keluh pemilik homestay di Temanggung. Akibatnya, destinasi lokal kalah bersaing. Devisa pun mengalir deras ke luar negeri—Rp 50 triliun per tahun menurut Bank Indonesia—sementara UMKM pariwisata lokal terancam kolaps.
ADVERTISEMENT
Solusinya? Pemerintah harus berani memotong pajak, bukan memotong hutan. Thailand, misalnya, sukses naikkan okupansi hotel 40% dengan menghapus pajak untuk wisatawan domestik di low season. Indonesia bisa mencontoh: turunkan PPN hotel dari 11% ke 5% khusus WNI, subsidi avtur untuk rute terpencil seperti Papua, dan undang maskapai asing seperti AirAsia buka rute domestik agar harga tiket kompetitif. Daripada monopoli Garuda minta suntikan modal terus, mending hancurkan kartel bandara!
Pada akhirnya, liburan ke luar negeri bukan sekadar gaya hidup—ini pelarian dari kebijakan pemerintah yang menjadikan destinasi lokal sebagai "komoditas mahal". Jika terus dibiarkan, Indonesia akan jadi negara yang dikagumi turis asing, tapi ditinggalkan anak mudanya sendiri. Pemerintah jangan bangga pada bule yang datang, tapi malu saat anak negeri kabur ke Seoul hanya karena liburan lokal harganya setinggi Seoul Tower. Sudah waktunya Gen Z dan milenial bersuara: tekan pemerintah lewat petisi dan kritik di media sosial, sekaligus eksplor destinasi underrated seperti Morotai atau Toba. Karena, Indonesia bisa keren—asal kebijakannya tidak bikin kita jadi turis asing di negeri sendiri.
ADVERTISEMENT