Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jika Kamala Harris Terpilih Menjadi Presiden Amerika Serikat
3 Agustus 2024 12:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Anneila Firza Kadriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah 235 tahun Amerika Serikat (AS) mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun negara yang mengaku dirinya sebagai penjaga demokrasi dan pelaksana demokrasi terbaik di dunia ini masih belum juga lepas dari prasangka gender sehingga belum pernah sekalipun memiliki presiden perempuan.
ADVERTISEMENT
Pemilu AS pada November 2024 mendatang bisa jadi memberikan harapan bagi kepemimpinan perempuan. Pasca pengunduran diri Joe Biden sebagai calon presiden (capres) petahana dari Partai Demokrat, Wakil Presiden Kamala Harris menjadi nominator terkuat yang kemungkinan besar akan diusung menjadi capres Partai Demokrat melawan capres Partai Republik Donald Trump yang juga pernah menjabat sebagai Presiden AS periode 2017-2021.
Dari politisi/figur publik perempuan di AS yang mencalonkan/dicalonkan diri sebagai capres maupun calon wakil presiden, Kamala Harris merupakan satu-satunya perempuan dalam sejarah politik AS yang pernah menempati posisi tertinggi di Gedung Putih dan paling dekat dengan kekuasaan kepresidenan.
Besar kemungkinan Harris akan mencetak sejarah baru sebagai presiden perempuan pertama di negeri Paman Sam, yang juga merupakan perempuan kulit berwarna pertama dan perempuan keturunan Asia pertama.
ADVERTISEMENT
Jika Kamala Harris Menjadi Presiden Amerika Serikat
Per 1 Juni 2024, United Nations (UN) Women mencatat ada 27 negara dari total 193 negara anggota UN yang dipimpin oleh perempuan sebagai kepala pemerintahan maupun kepala negara. Jumlah ini disebut mengalami peningkatan dari dekade sebelumnya yang hanya 18 negara anggota UN dengan pemimpin perempuan.
Meski demikian, representasi kepemimpinan politik perempuan secara global masih begitu rendah dan tidak mencapai 30%. Bahkan sejak Sirimavo Bandaranaike menjadi pemimpin eksekutif politik pertama di seluruh dunia pada saat memimpin Sri Lanka di tahun 1960, hanya 59 negara yang mencatatkan sejarah pernah dipimpin oleh perempuan (Statista, 2023). Meksiko akan segera bergabung menjadi negara ke-60 pada 1 Oktober mendatang setelah melantik presiden perempuan pertamanya, Claudia Sheinbaum.
ADVERTISEMENT
Andaikan Kamala Harris terpilih sebagai presiden perempuan pertama di AS, keterpilihannya tidak hanya memperkuat praktik demokrasi di negara ini karena telah berhasil mengakomodasi kepemimpinan perempuan setelah 235 tahun merdeka.
Lebih dari itu, Harris akan menjadi katalis dan simbol kepemimpinan politik perempuan secara global sehingga mampu meningkatkan dan menguatkan keterlibatan perempuan untuk menjadi pemimpin politik.
Sebab tak dapat dipungkiri, AS saat ini masih menjadi kiblat dunia untuk urusan politik, moneter, dan sosial-budaya. Dengan Harris terpilih sebagai komandan tertinggi Gedung Putih, persepsi global terhadap penerimaan perempuan sebagai presiden akan lebih tinggi, terutama di negara dengan sistem presidensial yang lebih sulit menerima perempuan sebagai pemimpin tertinggi karena calon perempuan selalu kalah populer dibandingkan politisi laki-laki (Jalalzai, 2004).
ADVERTISEMENT
Bias dan Prasangka Terhadap Perempuan yang Tak Habis-Habis
Akan tetapi tentu saja perjalanan Harris berkantor di The Oval Office bukannya tanpa hambatan. Selain faktor seksisme karena menjadi seorang perempuan, Harris pastinya akan mengalami serangan rasisme karena warna kulitnya dan silsilahnya yang merupakan keturunan India (Asia).
Dua faktor ini diprediksi menjadi sandungan terbesar dalam kampanye pencalonan Harris. Sebab hanya 18% warga negara AS yang menekankan betapa pentingnya untuk memilih presiden perempuan (Pew Research Center, 2023).
Selain terkenal sebagai negara yang sangat misoginis, AS juga sangat rasis terhadap keturunan non-kulit putih karena adanya anggapan white supremacy yang memberikan keistimewaan terhadap keturunan Eropa berkulit putih untuk memimpin Amerika.
Harris bukan satu-satunya calon pemimpin perempuan yang terhadang oleh bias gender. Semua politisi perempuan di seluruh dunia selalu dilekatkan prasangka karena keperempuanannya. Bahkan ketika mereka akhirnya terpilih sebagai kepala pemerintahan, ungkapan seksisme kerap menjadi narasi politik yang dipakai untuk menjatuhkan kepemimpinan perempuan (Di Meco, 2019).
ADVERTISEMENT
Pengalaman yang sama pun terjadi pada politisi perempuan di Indonesia. Seringkali keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia mengalami hambatan kultural karena perempuan memerlukan ‘izin’ dari laki-laki (suami) untuk bisa berkiprah di ruang publik. Izin dari suami ini dianggap penting agar perempuan tetap dapat memenuhi ekspektasi tugas-tugas domestik (Cakra Wikara Indonesia, 2022).
Ganjalan budaya ini semakin diperparah dengan tradisi politik patriarki yang dipengaruhi oleh ajaran agama. Interpretasi ajaran agama malah menegaskan larangan bagi perempuan untuk berkiprah di bidang politik dengan kuatnya anggapan bahwa perempuan haram hukumnya untuk menjadi pemimpin (Inglehart & Norris, 2003). Dengan demikian, penolakan terhadap kepemimpinan perempuan justru semakin besar (White et al, 2023).
Harapan Terhadap Kepemimpinan Politik Perempuan
Jika Harris terpilih sebagai Presiden AS, narasi politik yang berupaya melemahkan kepemimpinan politik perempuan dapat bergeser ke arah yang lebih positif. Sebab Harris mampu menjadi pemimpin negara yang dianggap paling digdaya dan superior di dunia.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, kemenangan Kamala Harris sebagai presiden juga akan menjadi pembuktian bahwa kelompok yang kerap dimarjinalkan pada akhirnya mampu menjadi pemimpin tertinggi di negara adidaya. Harris adalah paket komplit kelompok dengan suara besar yang dimarjinalkan oleh supremasi laki-laki kulit putih: perempuan, berkulit hitam, dan keturunan Asia.
Pada akhirnya, penerimaan terhadap kepemimpinan politik perempuan akan berangsur membaik, dan lambat laun mencalonkan perempuan dan memilih perempuan sebagai pemimpin eksekutif di tingkat nasional dan lokal akan dipandang sebagai sesuatu yang wajar dalam kontestasi pemilu.
Tentu saja masih begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mengurangi hambatan kultural kepemimpinan perempuan, sebab politik patriarki telah begitu melekat dalam sistem tatanan sosial dan membentuk tradisi yang menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua (Saini, 2023).
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, seksisme dan perlakuan menyudutkan upaya perempuan dalam aktivitas politik harus dilawan dalam bentuk narasi dan aksi yang menunjukkan keberpihakan pada kesetaraan serta keadilan gender.
Konsistensi dalam menyebarkan narasi dan aksi mendukung kesetaraan gender dapat mempengaruhi preferensi politik publik untuk lebih berpihak pada keterlibatan perempuan dalam politik. Tentunya lambat laun dapat meningkatkan penerimaan publik terhadap kepemimpinan politik perempuan di puncak tertinggi.
Sebagai pemilih perempuan, akan lebih baik jika kita mengonversikan suara kita kepada politisi perempuan yang memiliki kapabilitas luar biasa. Selain dapat meningkatkan representasi perempuan di bidang politik, keberadaan perempuan di bidang politik pun dapat menjamin keterwakilan perempuan untuk menciptakan kebijakan publik yang pro kepentingan perempuan.