Konten dari Pengguna

'Perang Dingin' di Facebook

Anneila Firza Kadriyanti
Pengamat politik gender. Pegiat literasi media digital Mari Melek Media.
13 Maret 2022 21:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anneila Firza Kadriyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Logo Meta, rebranding perusahaan Facebook. Foto: Dado Ruvic/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Logo Meta, rebranding perusahaan Facebook. Foto: Dado Ruvic/Reuters
ADVERTISEMENT
Meta Platform Inc yang merupakan induk perusahaan dari tiga platform media sosial terpopuler di dunia (Facebook, WhatsApp, dan Instagram) kini tengah membuat aturan sementara yang mengizinkan penyebaran ujaran kebencian (hate speech) di media sosialnya yang berkaitan dengan invasi Rusia.
ADVERTISEMENT
Melansir dari Reuters, Meta mengizinkan para pengguna Facebook untuk mengunduh kata-kata kasar yang mengutuk pasukan Rusia serta ajakan membunuh Presiden Vladimir Putin sebagai ungkapan ekspresi politik yang menentang invasi Rusia ke Ukraina.
Izin penyebaran kebencian di media sosial besutan Meta ini merupakan salah satu bentuk pamer kekuatan Amerika Serikat melawan Rusia.
Secara global, WhatsApp, Instagram, dan Facebook menempati peringkat tiga besar sebagai aplikasi media sosial yang paling sering digunakan. WhatsApp sendiri merupakan media sosial yang paling sering digunakan di Rusia, sedangkan Instagram dan Facebook menempati peringkat ke-3 dan ke-8 (We Are Social, 2022).
Dengan adanya lisensi penyebaran hate speech di platform media sosial terpopuler secara global, ‘Perang Dingin’ diluncurkan di ruang virtual untuk membentuk opini netizen mengenai kesadisan pemimpin politik Rusia, dalam hal ini Putin.
ADVERTISEMENT
Tentunya upaya pembentukan opini di ruang digital ini bertujuan untuk membentuk citra Putin sebagai pemimpin bengis yang menghancurkan demokrasi suatu negara sehingga layak dibunuh.
Kebencian yang disebarluaskan secara virtual ini kemudian akan menjadi semacam pembenaran bagi Amerika Serikat (AS) dan NATO untuk melakukan tindakan kekerasan demi menghentikan kebiadaban Putin dan tentara Rusia. Pada akhirnya, AS beserta sekutunya akan dianggap sebagai penyelamat dan penjaga perdamaian dunia.
Upaya 'Cari Muka' di Dalam Negeri
Pengamat politik dari The German Council on Foreign Relations (DGAP), Dr. Stefan Meister, mengungkapkan jika invasi Rusia ke Ukraina sebenarnya merupakan unjuk gigi antara dua kekuatan lama yang mulai tak signifikan, yakni AS dan Rusia. Dua negara ini mulai tak dipandang sebagai adidaya karena munculnya negara-negara Asia yang mulai mendominasi perekonomian dan budaya populer global, terutama Republik Rakyat Cina.
ADVERTISEMENT
Lewat invasi Ukraina, Rusia dan AS mencari panggung untuk kembali menunjukkan taringnya di kancah global. Padahal rakyat di kedua negara ini sama sekali tidak menyetujui keterlibatan perang di Ukraina. Putin dan Joe Biden (Presiden AS) seharusnya lebih fokus pada persoalan domestik negara mereka.
Signifikan dari penyerangan ini merupakan cara pembentukan citra Putin dan Biden agar terlihat kuat, berwibawa, dan memiliki otoritas di hadapan rakyatnya masing-masing (Ting-Toomey, Face-Negotiation Theory, 2005).
Di dalam negeri, Putin semakin kehilangan popularitas sejak terpilih kembali menjadi presiden di tahun 2012. Biden pun ingin mengangkat kembali “kekuatan sejati” AS yang sempat terpuruk di masa kepresidenan Donald Trump.
Namun melancarkan aksi militer yang bisa jadi menyulut Perang Dunia III tampaknya tidak akan pernah terjadi. Belajar dari sejarah dua perang dunia sebelumnya, pasca perang selalu menyebabkan keterpurukan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Di tengah kondisi ekonomi global yang masih berusaha pulih dari situasi pandemi Covid-19, tentunya tak ada negara yang ingin kembali mengalami kesulitan ekonomi akibat perang. Saat ini saja embargo dan sanksi ekonomi yang diberikan kepada Rusia telah berimbas pada perang energi berupa kenaikan harga minyak yang diikuti pula dengan kenaikan harga sektor lainnya.
Maka melancarkan perang yang paling aman, “murah”, dan menimbulkan sedikit korban jiwa adalah perang yang dilancarkan lewat dunia maya melalui konten-konten media sosial.
Mudahnya Membenci
Sebagai penyedia platform media sosial terpopuler di dunia, kebijakan hate speech Meta memiliki pengaruh besar bagi para pengguna media sosial. Tidak hanya untuk kawasan Eropa dan Amerika, melainkan juga secara global.
Memperkenankan penyebaran ujaran kebencian, meski dalam waktu sementara, dapat memicu timbulnya pemahaman dan tindakan ekstremis bagi para pengguna media sosial.
ADVERTISEMENT
Kebencian selalu diiringi perasaan untuk merendahkan bahkan sampai melenyapkan si target yang dibenci. Penyebaran konten-konten kebencian merupakan pesan yang paling mudah dibuat, sebab dalam waktu singkat langsung dapat menyulut ketidaksenangan dan kemarahan (Fischer, et all., Why We Hate, 2018).
Saat para pengguna media sosial terus-menerus terpapar pesan kebencian, konten hate speech tersebut akan dianggap sebagai realitas, hingga pada satu titik si pengguna media sosial akan merasa rela untuk melakukan apa pun demi menghilangkan kebenciannya dengan cara mengeliminasi si target kebenciannya.
Monetisasi Penyebaran Ujaran Kebencian
Sementara para pengguna media sosial saling sibuk menyebarkan pesan kebencian, Meta Platform, Inc., mendapatkan keuntungan finansial berlipat ganda.
Whistleblower Frances Haugen menyatakan dalam wawancaranya di stasiun televisi CBS, algoritma Facebook terhadap konten ujaran kebencian selalu “menginspirasi” para pengguna media sosial untuk menduplikat dan menyebarkan konten yang sama sehingga semakin meningkatkan engagement para pengguna untuk berlama-lama menggunakan platform media sosial tersebut.
ADVERTISEMENT
Facebook enggan untuk mengubah algoritma dalam menghapus pesan kebencian. Sebab konten yang “damai” hanya akan membuat para pengguna bosan dan tak mau berlama-lama menekuni laman media sosialnya, dan pada akhirnya tak akan ada pengiklan yang membayar di platform mereka.
Maka dari itu, Facebook terus memelihara dan memanipulasi pikiran para pengguna dengan konten ujaran kebencian agar netizen terus menghabiskan waktu berlama-lama di laman social feed sehingga menarik para pengiklan yang membayar ke korporasi Meta.
Hati-Hati Provokasi
Di Indonesia, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian selalu mengalami puncaknya di tahun-tahun jelang pemilu. Tim sukses para kandidat bahkan telah mulai mempersiapkan pasukan khusus siber yang bertugas menghalau konten-konten hate speech yang berpotensi merusak citra kandidat yang mereka usung.
ADVERTISEMENT
Namun karena sifat dari konten hate speech begitu mudah tersebar dan termakan oleh para pengguna media sosial, seringnya kondisi itu tak jarang malah dimanfaatkan oleh sebagian politisi untuk menaikkan pamor dan popularitas mereka. Tak peduli sentimen yang dihasilkan adalah sentimen negatif, asalkan terkenal, publik mengetahui eksistensi mereka, dan awareness masyarakat terhadap mereka meningkat. Soal perbaikan citra adalah urusan belakangan yang dapat dipoles oleh konsultan politik.
Maka dari itu sebagai pengguna media sosial, bijaklah dalam memilih konten agar tak terjebak dalam ilusi kebencian yang nyatanya hanya merupakan rekayasa algoritma media sosial. Seringnya para pengguna saling beradu argumen di media sosial hingga akhirnya merusak relasi di dunia nyata.
Saling melempar ujaran kebencian di media sosial tak menguntungkan apa-apa bagi pengguna. Meta yang mendulang untung dengan beragam uang yang masuk ke rekening mereka, kita yang buntung karena kehilangan hubungan persaudaraan.
ADVERTISEMENT