Konten dari Pengguna

Pelanggar Lalu Lintas: Si Oportunis yang Meresahkan

Anne Pratiwi
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
22 Agustus 2024 18:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anne Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelanggaran Lalu Lintas. Foto: Dokumentasi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelanggaran Lalu Lintas. Foto: Dokumentasi Penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pelanggaran lalu lintas di kota-kota besar tidak hanya mengganggu kenyamanan dan keselamatan di jalan, tetapi juga mencerminkan karakter oportunis namun meresahkan dalam masyarakat. Ketika individu melanggar aturan lalu lintas seperti menerobos lampu merah, parkir sembarangan, atau melawan arus, mereka sebenarnya menunjukkan sikap egois yang mementingkan kepentingan pribadi di atas kesejahteraan bersama. Perilaku ini tidak hanya merusak tatanan di jalanan, tetapi juga memperlihatkan ketidakpedulian terhadap norma dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sosial.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit kita temui pengendara yang bertindak tanpa memikirkan konsekuensi bagi orang lain. Mereka memanfaatkan kesempatan untuk berkendara bebas aturan di lalu lintas, yang merupakan fasilitas umum, demi kepentingan pribadi mereka. Mereka secara sadar melanggar aturan di jalan karena ingin memprioritaskan kenyamanan pribadi sekalipun harus mengorbankan hak orang lain di saat yang bersamaan. Perilaku seperti menerobos lampu merah, berhenti di lajur kiri saat hendak belok kanan, atau melawan arus agar demi bisa cepat sampai di tempat tujuan mereka adalah contoh nyata dari bentuk pelanggaran yang umum terjadi di jalan. Tanpa mereka sadari, hal tersebut meningkatkan risiko kecelakaan baik untuk diri mereka sendiri maupun pengguna jalan lainnya.
Sikap oportunis pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk atau mengganggu. Akan tetapi, jika penerapannya tidak tepat atau bahkan sampai merugikan orang lain, tentu ini perlu dikritisi. Perilaku oportunis yang tercermin dari pelanggaran lalu lintas bisa dilihat dari bagaimana pelanggar kerap kali mencari celah untuk menghindari aturan. Mereka yang sengaja melanggar aturan biasanya berpikir bahwa selama tidak tertangkap, mereka tidak akan mendapat sanksi. Hal ini memperlihatkan mentalitas yang berpusat pada keuntungan pribadi dan ketidakpedulian terhadap dampak negatif yang ditimbulkan bagi orang lain. Sikap seperti ini menggambarkan bagaimana individu dalam masyarakat kita sering kali lebih memilih jalan pintas yang menguntungkan mereka secara langsung, meskipun itu berarti harus melanggar aturan yang ada.
ADVERTISEMENT
Jika kita bandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang atau negara-negara di Eropa Barat, terlihat jelas bagaimana budaya berlalu lintas di sana sangat berbeda. Ketaatan terhadap peraturan lalu lintas menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya karena adanya penegakan hukum yang ketat, tetapi juga karena adanya nilai-nilai sosial yang menekankan pentingnya keselamatan dan kesejahteraan publik. Di negara-negara tersebut, melanggar aturan lalu lintas merupakan tindakan yang dianggap tidak bermoral karena bisa membahayakan orang lain. Kesadaran kolektif tentang pentingnya aturan tidak hanya membuat jalanan lebih aman, tetapi juga mencerminkan budaya yang menghargai harmoni sosial.
Sikap ini berbanding terbalik dengan yang kita lihat di banyak negara berkembang, di mana pelanggaran lalu lintas sering kali dianggap hal biasa dan bahkan tidak menimbulkan konsekuensi serius. Penegakan hukum yang kurang tegas dan konsisten terhadap pelanggar aturan lalu lintas menciptakan budaya permisif yang memungkinkan pelanggaran terjadi berulang kali, sekalipun dengan sanksi hukum yang berlaku. Hal ini tidak hanya merusak tatanan sosial di jalanan, tetapi juga mengikis rasa hormat terhadap otoritas dan hukum dalam masyarakat secara umum. Ketika masyarakat melihat bahwa pelanggaran dapat dilakukan tanpa konsekuensi yang berarti, mereka cenderung semakin berani melanggar aturan dan menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, fenomena pelanggaran lalu lintas ini dapat dilihat sebagai gejala dari masalah sosial yang lebih dalam, yakni rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian terhadap kepentingan bersama. Dalam masyarakat di mana individu lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kesejahteraan kolektif, pelanggaran aturan menjadi hal yang lumrah. Ini tidak hanya berdampak pada keselamatan di jalan, tetapi juga mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan, karena setiap pelanggaran yang terjadi adalah manifestasi dari kurangnya tanggung jawab sosial.
Dapat dikatakan bahwa pelanggar lalu lintas bukan hanya tentang individu yang melanggar aturan, tetapi juga simbol dari karakter oportunis yang meresahkan di masyarakat. Kepatuhan terhadap peraturan lalu lintas bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga refleksi dari nilai-nilai sosial yang mendasari kehidupan bersama. Di negara maju, disiplin berlalu lintas menjadi cerminan dari budaya kolektif yang menghargai keselamatan dan ketertiban, sedangkan di negara berkembang, perilaku oportunis yang mengabaikan aturan menunjukkan lemahnya nilai-nilai tersebut dalam masyarakat. Hal ini karena bagi si pelanggar, semua peluang itu mungkin untuk dilakukan sekalipun melanggar etika dan merugikan orang lain.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada pendekatan yang lebih holistik yang melibatkan penegakan hukum yang lebih ketat, pendidikan yang menanamkan nilai-nilai sosial sejak dini, dan kampanye kesadaran yang berkelanjutan. Dengan cara ini, kita bisa berharap untuk menciptakan masyarakat yang lebih peduli, bertanggung jawab, dan menghargai aturan, baik di jalanan maupun dalam kehidupan sehari-hari.