Konten dari Pengguna

Meninjau Disparitas Utara-Selatan dalam Agenda Perubahan Iklim Global

Annisa Nabilatul Khaira
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
31 Agustus 2022 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Nabilatul Khaira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masyarakat adat Amazon melakukan protes atas minimnya keterwakilan suara masyarakat adat dalam agenda negosiasi iklim COP26 pada November 2021 lalu. (Foto: Paula Dupraz-Dobias/The New Humanitarian)
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat adat Amazon melakukan protes atas minimnya keterwakilan suara masyarakat adat dalam agenda negosiasi iklim COP26 pada November 2021 lalu. (Foto: Paula Dupraz-Dobias/The New Humanitarian)

Saat generasi muda di Utara mencemaskan masa depan mereka akibat perubahan iklim, generasi muda Selatan di waktu yang sama sedang bergulat menghadapi realita krisis iklim sesungguhnya. Mungkinkah cita-cita netral karbon 2030 dapat diwujudkan selama 8 tahun tersisa? Akankah ini hanya menjadi utopia semata akibat vicious cycle ketimpangan struktural Utara-Selatan yang tak berkesudahan?

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ancaman perubahan iklim terasa kian nyata. Fenomena ini tidak lagi menyangkut soal destruksi lingkungan hidup. Lebih daripada itu, terdapat permasalahan struktural menyangkut moral dan hak asasi manusia menunggu untuk ditangani terlebih dahulu sebelum dunia mengambil langkah mitigasi saintifik diiringi implementasi kebijakan politis. Krisis iklim seolah menyingkap tabir ketimpangan mengakar antara Utara-Selatan yang belum terselesaikan.
ADVERTISEMENT
Penting untuk digaris bawahi, bahwa telah terjadi pergeseran paradigma perubahan iklim. Memprioritaskan keselamatan ekosistem bumi adalah krusial, namun mengenyampingkan aspek keadilan bagi masyarakat dunia - terutama yang paling terdampak krisis iklim - tidak akan merubah apapun. Permasalahannya bukan lagi tentang seberapa besar konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer, berapa banyak jumlah pohon yang harus ditanam atau pola distribusi tanggung jawab iklim seperti apa yang paling tepat. Menjembatani ketimpangan Utara-Selatan demi mewujudkan keadilan iklim adalah terpenting untuk saat ini.
Istilah The Global North (Utara) dan The Global South (Selatan) semakin intens dipergunakan sebagai penggambaran relasi kuasa berpola horizontal antara negara maju dan berkembang dalam kontestasi ekonomi-politik global. Pada konteks politik perubahan iklim, The Global South atau Selatan juga dijadikan identitas guna merujuk eksistensi kelompok-kelompok marjinal yang suara dan kepentingannya cenderung dipinggirkan. Sebut saja mereka sebagai Most Affected People and Areas (MAPA). MAPA merupakan himpunan masyarakat dunia dari belahan Selatan minim kontribusi emisi dengan durabilitas rapuh akan dampak perubahan iklim. Kontras berbeda dengan negara-negara industrialis maju - katalisator krisis iklim berbasis di Utara. MAPA mayoritas diisi oleh Black, Indigenous and People of Colour (BIPOC) yang dinilai memiliki tingkat kemiskinan tinggi, namun memiliki pemahaman praktis paling baik karena keterikatan erat dengan alam (khususnya masyarakat adat).
ADVERTISEMENT
Ironisnya, lanskap ketimpangan signifikan dilanggengkan oleh institusi internasional yang diekspektasikan dapat menjadi jembatan penghubung disparitas Utara-Selatan. Pada gelaran COP26 Glasgow bulan November 2021, representatif MAPA dari kalangan aktivis perubahan iklim hingga masyarakat adat harus menelan kenyataan pahit tidak dapat berpartisipasi secara langsung akibat rumitnya birokrasi aturan administratif seperti visa hingga vaksin - yang jika ditarik pada kajian Utara-Selatan distribusinya tentu saja disproporsional. Gaungan inklusivitas COP26 hanya lip service belaka.
Problematika sistemik tidak hanya menimpa kelompok masyarakat, namun juga terjadi di tengah kalangan komunitas epistemik. Niat melawan perubahan iklim dengan bertumpu kepada fakta-fakta saintifik dilukai oleh praktik diskriminasi struktural. Pertama, agensi pendanaan riset internasional, cenderung memberikan privilege bagi peneliti berkebangsaan negara-negara Utara, yakni sebesar 78% dari total pendanaan. Hasil penelitian lembaga Nature Climate Change, lewat metode kuantifikasi terhadap 100.000 karya ilmiah, ditemukan lebih banyak tulisan berfokus pada dampak perubahan iklim bagi Utara dibanding Selatan dengan rasio 3 : 1. Selanjutnya, terjadi praktik tidak etis dimana peneliti dari negara berpenghasilan tinggi (Utara) yang melakukan riset iklim di negara berpenghasilan rendah (Selatan) enggan memberikan rekognisi atas kontribusi peneliti setempat, bahkan memutuskan koordinasi lebih lanjut setelah menyelesaikan risetnya. Inilah yang disebut sebagai parachute science, sebuah realitas menyedihkan di ranah sains iklim. Kedua problem di atas semakin menjustifikasi diskriminasi terhadap Selatan tentu saja benar adanya.
ADVERTISEMENT
Menimbang tujuan kolektif zero carbon 2050, maka negosiasi iklim akan terus berlanjut hingga beberapa puluh tahun kedepan. Kentalnya disparitas Utara-Selatan menjadi permasalahan struktural yang sangat urgent untuk diberikan perhatian khusus, mengingat adanya pergeseran cara pandang melihat fenomena perubahan iklim yang memadukan krusialitas penyelamatan lingkungan dengan tidak abai terhadap moralitas kemanusiaan. Mungkin sejatinya dikotomisasi Utara-Selatan tidak akan pernah hilang karena identitas pasti akan selalu melekat. Namun memangkas kesenjangan keduanya dalam agenda perubahan iklim global dapat memberikan secercah harapan bagi keberhasilan agenda iklim di kemudian hari. Upayanya dapat dimulai dari memberikan ruang kesempatan bagi keterlibatan inklusif komunitas-komunitas "pinggiran" di Selatan.