Konten dari Pengguna

Tuvalu's Future Now Project: Upaya Diplomasi Iklim Negeri yang Nyaris Tenggelam

Annisa Nabilatul Khaira
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
14 Desember 2022 21:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Nabilatul Khaira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pulau Tuvalu. Foto: Romaine W/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pulau Tuvalu. Foto: Romaine W/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kurang dari satu dekade tersisa untuk menyelesaikan persoalan iklim, namun dampak buruknya bagi bumi terasa kian nyata. Menurut United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change (UN IPCC), sekitar 3,3 miliar orang di seluruh dunia menjadi sangat rentan untuk hidup di bawah bayang-bayang efek perubahan iklim. Terkait persoalan ini, terdapat istilah Most Affected People and Areas (MAPA) untuk merujuk kelompok masyarakat yang mendiami wilayah yang sebagian besar merupakan negara berkembang dan pulau-pulau kecil The Global South atau Selatan. Kini MAPA seolah menjadi pion di garda terdepan dalam menghadapi krisis iklim. United Nations Development Programme Administrator, Achim Steiner menyatakan bahwa negara-negara berkembang saat ini telah menunjukkan komitmen kuat dalam upaya mengatasi perubahan iklim meskipun berdasarkan kalkulasi, kontribusi emisi negara-negara ini sangatlah kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara maju (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2021). Berdasarkan data United Nations Framework Convention on Climate Change (2021), 78 negara yang tergolong ke dalam kelompok Least Developed Countries (LDC) dan Small Islands Developing States (SIDS) hanya bertanggung jawab atas 7% dari total emisi global. Di samping itu, beban iklim mereka semakin berat akibat kelambanan respon tata kelola dan negosiasi iklim global.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari SIDS, Tuvalu menjadi salah satu negara kepulauan yang terkena dampak serius perubahan iklim. Tuvalu telah mengalami peningkatan suhu hingga 0,8 oC sejak tahun 1980-an (WB & ADB, 2020). Negara kecil yang menjadi rumah bagi 11.000 penduduk dengan luas yang hanya berukuran 26 km2 ini diperkirakan oleh sejumlah ilmuwan tidak akan layak lagi untuk dihuni – bahkan akan hilang secara geografis sebagai skenario terburuk dalam kurun waktu 50 – 100 tahun mendatang (Gallagher, 2019). Di tengah stagnasi langkah penanganan krisis iklim global, Tuvalu menggagas Future Project Now demi mengamankan kedaulatannya yang terancam.
Diplomasi Iklim Tuvalu Melalui Inisiasi Future Now Project
Memburuknya kondusifitas ekosistem dunia akibat perubahan iklim disertai stagnasi tata kelola iklim global membuat Tuvalu semakin pesimis akan keberadaannya di masa depan. Lambatnya respon global tidak lain juga disebabkan oleh kebuntuan negosiasi akibat konflik kepentingan antara negara maju dan negara berkembang. Menurut Dimitrov (2020), negosiasi iklim di bawah UNFCCC dinilai gagal menciptakan perjanjian kerja sama iklim yang mampu mengakomodir disparitas antara negara maju dan berkembang. Pada tahun 2021, Perdana Menteri Tuvalu, Simon Kofe secara virtual berbicara di forum COP26 Glasgow sembari melakukan aksi yang tidak terduga. Ia menyampaikan pandangan negaranya sembari berdiri di tengah laut Tuvalu yang ketinggiannya semakin naik dari waktu ke waktu. Hal tersebut dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran komunitas internasional bahwa negara kecil seperti Tuvalu benar-benar tengah terancam keberadaannya oleh perubahan iklim. Satu tahun setelahnya, di gelaran COP27 Sharm El-Sheikh November lalu, Perdana Menteri Kofe secara virtual kembali mengekspresikan kekecewaan terhadap kelambanan aksi global yang membuat negaranya semakin berada di ambang kepunahan. Kondisi ini pada akhirnya mendorong Tuvalu untuk berinovasi demi mempertahankan eksistensinya apabila di masa depan prediksi hilangnya Tuvalu benar-benar terjadi.
ADVERTISEMENT
Tuvalu menggagas Te Ataeao Nei di Tuvaluan, disebut juga Tuvalu's Future Now Project. Proyek di bawah naungan Kementerian Kehakiman, Komunikasi, dan Luar Negeri Tuvalu yang resmi diluncurkan pada 27 Oktober 2021 ini secara umum terdiri dari tiga wacana utama (Kofe, 2021), yakni pengarusutamaan upaya diplomasi berbasis nilai, penetapan batas laut dalam menghadapi kenaikan muka air laut, serta pembangunan negara digital Tuvalu. Inisiatif ini merupakan sebuah langkah diplomasi iklim yang strategis.
Dalam tulisan berjudul Climate Diplomacy : Seeing the Bigger Picture oleh Sura dan Schweimler, diplomasi iklim dapat dipahami sebagai proses menempatkan upaya penanganan krisis iklim sebagai prioritas kolektif oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kemitraan melalui pelaksanaan dialog diplomatik, diplomasi publik, dan pemanfaatan instrumen kebijakan eksternal. Tujuan diplomasi iklim adalah untuk memastikan terwujudnya keamanan dan stabilitas serta mendorong tindakan nyata melawan perubahan iklim. Sejalan dengan hal tersebut, Sura dan Schweimler (2013) berpendapat bahwa tujuan akhir dari diplomasi iklim adalah membangun kondisi politik untuk kesepakatan internasional dan untuk memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dalam negosiasi internasional. Mabey, Gallagher dan Born (2013) dalam tulisannya berjudul Understanding Climate Diplomacy menuturkan bahwa diplomasi iklim merupakan varian diplomasi paling sulit dan kompleks dibandingkan diplomasi lainnya disebabkan oleh tiga hal, yakni fase krisis iklim yang begitu cepat, cakupan koordinasi yang begitu luas di tingkat global dan dapat menimbulkan perubahan drastis di kancah domestik baik dari segi sosial, politik dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Sura dan Schweimler (2013) mengemukakan tiga cara yang dapat ditempuh untuk memperkuat diplomasi iklim, diantaranya menjadikan perubahan iklim sebagai isu prioritas, meningkatkan kapasitas perwakilan negara dan diplomat, serta melaksanakan diplomasi yang efektif di tingkat internasional. Selanjutnya, menurut diplomasi iklim yang efektif harus mampu mengatasi kegagalan kerjasama iklim yang ada; kegagalan untuk mendorong respons internasional yang memadai untuk mengatasi krisis iklim dan kegagalan untuk membangun kesepakatan politik yang adil.
Tuvalu's Future Now Project dinilai telah memenuhi syarat sebagai diplomasi iklim yang efektif. Alasan pertama, proyek ini secara tidak langsung mempromosikan nilai-nilai tradisional Tuvalu, yakni fakafenua (sistem kehidupan komunal), kaitasi (tanggung jawab bersama), dan fale-pili (menjadi mitra yang baik) dengan harapan nilai-nilai ini dapat memotivasi negara lain untuk semakin memahami posisi Tuvalu dan negara kecil lainnya, menyadari tanggung jawab bersama untuk mengatasi perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut demi mencapai kesejahteraan global (Kofe, 2021).
ADVERTISEMENT
Kedua, melalui proyek ini, Tuvalu berhasil mempresentasikan krisis iklim sebagai isu prioritas nasional. Menurut Kofe (2021), Tuvalu's Future Now Project setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, pandangan negara-negara kecil dan berkembang yang berkeinginan kuat untuk terus mempengaruhi dan mengubah pola pikir dunia internasional, bahwa pihak-pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim tidak lagi menggantungkan harapannya pada kerja sama internasional dan lebih memilih bertindak sendiri untuk menyelamatkan dirinya. Kedua, menyusul semakin buruknya dampak perubahan iklim, langkah-langkah inovatif harus segera diambil untuk mengatasi skenario terburuk di masa depan. Tuvalu menunjukkan dirinya tidak bisa lagi menunggu komunitas internasional untuk bertindak bahu-membahu memerangi perubahan iklim, karena dampak nyata perubahan iklim telah benar-benar menimpa negaranya. Tidak ada yang lebih penting bagi Tuvalu selain menyelamatkan diri dari krisis iklim.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, salah satu agenda yang menarik dari Tuvalu's Future Now Project adalah wacana pembentukan negara digital Tuvalu. Agenda ini mencerminkan upaya untuk "menyelamatkan diri sendiri" karena Tuvalu berisiko kehilangan kedaulatan geografisnya. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan dirinya sebagai negara berdaulat, mengubah dirinya menjadi negara digital yang eksis di kancah realitas virtual. Rencana ini secara tidak langsung juga menunjukkan kegagalan tata kelola iklim global yang tidak dapat mengakomodir kepentingan Tuvalu sebagai negara kecil yang suaranya harus dikesampingkan oleh kepentingan negara maju yang mendominasi perundingan iklim global. Inovasi ini sesuai dengan argumentasi Alexander (2017), bahwa diplomasi iklim dimulai dari dalam negeri dan dilaksanakan secara inovatif dan kreatif.
Referensi
Dimitrov, R. S. (2020). Climate Diplomacy. In Research Handbook on Climate Governance (pp. 97–108).
ADVERTISEMENT
Gallagher, S. (2019). “One day we’ll disappear”: Tuvalu’s sinking islands | Global development | The Guardian. In The Guardian. https://www.theguardian.com/global-development/2019/may/16/one-day-disappear-tuvalu-sinking-islands-rising-seas-climate-change
Kofe, B. S. (2021). Tuvalu ’ s Future Now Project : preparing for climate change in the worst-case scenario. 2020–2022.
Sura, K., & Schweimler, N. (2013). Climate Diplomacy: Seeing the Bigger Picture. Climate & Development Knowledge Network, August, 4.
UNFCCC. (2021). Most Vulnerable Countries Leading Climate Response | UNFCCC. https://unfccc.int/news/most-vulnerable-countries-leading-climate-response
United Nations. (2021). Countries most at risk, lead the way on climate action.
WB, & ADB. (2020). Climate Risk Country Profile : Tuvalu. www.worldbank.org