Konten dari Pengguna

Hate Speech dalam Politik Indonesia: Kapan Kritik Berubah Jadi Kebencian?

Annisa Kalyca Putri
Annisa Kalyca Putri adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Pancasila. Memiliki ketertarikan pada dunia komunikasi, media, dan isu-isu sosial
30 April 2025 9:29 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Kalyca Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Politik, satu kata yang bisa membuat tegang masyarakat. Bagaimana tidak? Isu-isu politik hampir setiap hari menghiasi ruang opini publik dan mengundang banyak respon dari masyarakat mulai dari anak muda hingga orang-orang dewasa. Membahas tentang politik, hampir tidak ada habisnya terutama di media sosial. Belum lagi di era politik yang sekarang semakin terpolarisasi, batasan-batasan antara mengkritik dan membenci hampir tidak lagi terlihat.
ADVERTISEMENT
Polarisasi politik sendiri sekarang telah menjadi fenomena yang cukup meresahkan dimana fenomena ini menunjukkan terpecahnya masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki pandangan politik berseberangan. Polarisasi politik seringkali disertai ketegangan dimana muncul rasa tidak percaya antara individu maupun kelompok yang memiliki pandangan berbeda. Polarisasi tersebut mendorong suatu kelompok merasa bahwa pemikiran dan nilai-nilai mereka lebih benar dan lebih unggul daripada kelompok lain.
Tombol berwarna merah bertuliskan "hate speech" menggambarkan bahaya ketika kritik politik berubah menjadi ujaran kebencian di era polarisasi. (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Tombol berwarna merah bertuliskan "hate speech" menggambarkan bahaya ketika kritik politik berubah menjadi ujaran kebencian di era polarisasi. (Sumber: Shutterstock)
Sementara itu, definisi dari mengkritik merupakan sebuah penilaian maupun evaluasi terhadap suatu isu atau permasalahn dengan berfokus pada kekurangan, kelebihan, maupun perbaikan atau pemecahan dari suatu isu atau permasalahan. Disisi lain, membenci merupakan sebuah emosi yang sangat kuat dimana melambangkan ketidaksukaan terhadap sesuatu. Dalam berpolitik, mengkritisi sesuatu tidak sepatutnya disusupi dengan kebencian subjektif.
ADVERTISEMENT
Sekarang ini, media sosial menjadi wadah dalam mengkritisi isu-isu politik yang sedang hangat. Sebagai contohnya yakni platform X dimana didalamnya banyak orang-orang melek politik menyampaikan opini-opininya terhadap isu-isu yang terjadi. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa media sosial secara tidak disadari telah telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpolitik dimana setiap individu secara langsung dapat mengemukakan pendapat, mengkritisi pemerintah, bahkan memobilisasi dukungan terhadap suatu pihak.
Namun, pertanyaannya, sudahkah masyarakat berpolitik secara sehat di media sosial? Kenyataannya belum sepuhnya. Banyak orang-orang yang berpolitik dengan masih menyisipkan kebencian didalamnya. Orang-orang tersebut berlindung dibalik kata mengkritisi, padahal didalamnya menyebarkan kebencian untuk memengaruhi orang lain. Fatalnya, hal-hal demikianlah yang kemudian menyebabkan perdebatan-perdebatan sengit mulai bermunculan dan membuat masyarakat terpecah belah.
ADVERTISEMENT
Isu politik terkait pemilu tahun lalu contohnya yang masih saja menimbulkan perdebatan dan saling menyalahkan satu sama lain hingga saat ini. Bahkan tidak tanggung-tanggung membuat antar individu saling mencaci maki.
Sekelompok orang terlibat diskusi serius, menggambarkan pentingnya dialog sehat dalam perbedaan pandangan politik. (Sumber: Shutterstock)
Alih-alih membahas argumen atau solusi, banyak orang justru menyerang pribadi dengan kata-kata kasar dan label negatif. Ini menunjukkan kurangnya kedewasaan dalam menyampaikan kritik politik. Padahal, media sosial seharusnya menjadi ruang diskusi terbuka, bukan tempat menyebar kebencian. Jika budaya beropini yang sehat tidak dibangun, masyarakat akan semakin mudah terpecah dan sulit mencapai persatuan.