Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Keuangan Sebelum dan Sesudah Menikah: Ekspektasi vs Realita
12 November 2018 18:29 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Annissa Sagita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menikah itu enak? Bisa jadi. Tergantung kepada siapa pertanyaan itu diajukan. Tanyakan pertanyaan tersebut kepada mereka yang pernah bercerai, maka jawabannya adalah: tidak enak. Statistik perceraian di Indonesia ada di artikel ini .
ADVERTISEMENT
Apa perbedaannya keuangan sebelum dan setelah menikah? Tentu sangat banyak hal yang berubah. Sebelum menikah, gaji/penghasilan hanya milik sendiri dan bebas untuk digunakan, saat sudah menikah gaji/penghasilan untuk membiayai ekonomi keluarga, belum lagi faktor keluarga besar (mertua dan ipar) yang perlu diperhitungkan, dan ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita.
Seperti apa ekspektasi pernikahan dan keuangan yang umum terjadi pada perempuan?
gambar: ilustrasi (sumber: unsplash)
Ekspektasi:
Biaya resepsi pernikahan akan dibiayai orang tua dan calon suami.
Realita:
Biaya resepsi pernikahan cukup besar. Jika kamu berani untuk meminta calon suami untuk melamarmu, maka sebaiknya tahu diri dengan tidak meminta banyak untuk pesta resepsi, kecuali kamu juga sudah menyiapkan biayanya dan bersedia ikut menyumbang dana di pesta resepsi.
ADVERTISEMENT
Hindari memaksakan ingin pesta yang mewah untuk unggahan di media sosial namun tidak mampu membayarnya, karena dengan demikian berarti kamu membohongi diri sendiri dan yang dirugikan hanya kamu.
Banyak orang yang bersedia menghalalkan segala cara demi pesta yang mewah, demi dilihat tetangga dan pengikut di media sosial, namun setelah turun dari pelaminan maka dikejar-kejar oleh cicilan utang.
Tidak hanya kamu, orang tua pun bisa saja dibutakan oleh pesta resepsi yang wah dan bersedia berutang bahkan menjual rumah. Kamu tentu saja tidak ingin hal itu terjadi kan? Sebaiknya menabung dari sekarang untuk menyelenggarakan pesta resepsi dengan tabungan yang ada, sesuai kemampuan kamu dan calon suami, dan belajar untuk menutup telinga terhadap omongan orang sekitar.
ADVERTISEMENT
Ekspektasi:
SUAMI: Semua Uang Adalah Milik Istri.
Realita:
Pernikahan di Indonesia adalah ikatan tidak hanya dua orang, namun dua keluarga besar. Suami mungkin harus berbagi gajinya dengan istri dan keluarga besar: mengirimkan uang untuk orang tuanya, adiknya yang masih kuliah, bahkan menanggung biaya sekolah keponakannya. Bisa jadi, hal-hal tersebut ternyata menghabiskan 50% gaji suami, bahkan lebih. Sementara keluarga kecilmu juga butuh finansial yang kuat. Kalau sudah begitu, apa yang akan kamu lakukan: Melarangnya? Tapi keluarganya bergantung kepadanya, lalu bagaimana? Jika keluarganya menjadi tidak suka kepada kamu karena masalah uang, pernikahan bisa terasa seperti neraka.
ADVERTISEMENT
Hampir semua masalah keuangan yang menyangkut keluarga besar suami dan ipar kamu akan selesai jika calon suami berani mengambil tindakan tegas ke keluarga besarnya dan mendahulukan serta memperjuangkan kamu dan keluargamu. Sudah pilih calon suami yang seperti itu?
Ekspektasi:
Istri menjadi manager keuangan, mengelola semua uang milik suami.
Realita:
Tidak semua suami memberikan seluruh gajinya kepada istri. Bahkan, tidak semua istri mengetahui gaji suaminya. Entah tidak pernah bertanya/diskusi soal uang, atau merasa inferior karena uang dianggap teritori milik suami.
Suami hanya memberikan istri uang belanja, syukur-syukur uang jajan untuk hiburan istri. Sehingga yang terjadi adalah istri berusaha keras mengatur uang belanja agar cukup untuk menyediakan makanan di meja makan, namun sisa uang suami digunakan suami tanpa memberikan lebih untuk istri.
ADVERTISEMENT
Dari awal hubungan, tekankan bahwa posisi kamu dan calon suami adalah setara. Apabila memang penghasilan hanya akan masuk dari satu pintu (calon suami), tentukan bagaimana kalian berdua akan mengatur penghasilan tersebut baik untuk keperluan keluarga, memberi ke keluarga besar, dan menabung/berinvestasi untuk tujuan di masa depan.
Ekspektasi:
Istri: Uangmu uangku, uangku uangku.
Realita:
Kebutuhan keluarga semakin besar, harga-harga semakin mahal. Bisa jadi istri akan membantu keuangan rumah tangga sehingga belum tentu semua uang istri digunakan untuk istri sepenuhnya.
Saat belum menikah, penghasilan kamu cukup untuk mandiri dan hiburan sendiri, namun setelah menikah ternyata banyak pengeluaran keluarga yang harus ditopang berdua. Bisa saja kamu membiarkan suami membanting tulang untuk membiayai ekonomi keluarga sendirian.
ADVERTISEMENT
Tapi, sebaiknya keuangan keluarga menjadi kerjasama kedua belah pihak, apalagi jika keuangan keluarga pas-pasan sehingga penghasilan istri juga dibutuhkan untuk membantu. Pembagian tugas dalam rumah tangga dan pembagian biaya sangat penting bagi kelangsungan mahligai pernikahan jika ingin pernikahan awet hingga tua.
Ekspektasi:
Penghasilan gabungan membuat kehidupan berdua lebih mudah.
Realita:
Selamat datang biaya cicilan rumah/kendaraan, biaya kontrak/sewa tempat tinggal, air, listrik dan lain-lain. Masih tinggal dengan mertua/orangtua bukan berarti tidak ada pengeluaran sama sekali. Namanya juga “numpang”, prinsip paling dasar adalah tidak merepotkan. Level selanjutnya adalah membantu pengeluaran rumah tangga mertua/orangtua.
Hamil setelah menikah? Ucapkan selamat datang kepada biaya lahiran, biaya popok, susu, baju, dan sudah tahukah kamu bahwa biaya sekolah mahal? Halo, tabungan untuk pendidikan anak. Menabung untuk liburan dan lain-lain? Apa itu? Banyak keluarga kecil menjadi sulit menabung karena untuk membesarkan anak butuh biaya yang tidak sedikit.
ADVERTISEMENT
Penghasilan gabungan saat menikah diimbangi dengan pengeluaran gabungan juga saat menikah. Selain itu tabungan yang tadinya bisa digunakan untuk bersenang-senang lebih diprioritaskan untuk anak, di antaranya untuk biaya sekolah anak. Yakin keuangan akan lebih longgar setelah menikah?
Ekspektasi:
Calon suami boros, gemar berjudi, menghambur-hamburkan uang untuk... (isi titik-titik dengan kebiasaan buruk apapun yang menghabiskan banyak uang). Tenang saja, dia akan berubah setelah menikah, apalagi setelah punya anak maka otomatis akan membuat laki-laki menjadi sangat bertanggungjawab.
Realita:
Buang jauh-jauh pikiran bahwa keburukan calon suami akan otomatis hilang dan berubah setelah menikah dan punya anak. Berubah, hanya terjadi jika orang tersebut memang mau berubah dan TIDAK dipicu oleh punya anak apalagi pernikahan.
ADVERTISEMENT
Coba pikirkan, jika calon suami gemar menghambur-hamburkan uang dan dari awal hubungan kamu mentolerir itu (tidak pernah menegur, diskusi atau mengancam akan meninggalkannya) bahkan hingga menikah, kenapa dia harus berubah? Untuk apa berubah jika kondisinya justru “menyenangkan” baginya?
Ibaratnya seorang mahasiswa yang terancam DO (drop out). Jika tidak ada aturan DO, maka tidak ada paksaan untuk lulus bagi seorang mahasiswa. Namun karena ada aturan DO, mahasiswa yang hampir melewati masa studinya tentu akan berjuang mati-matian dan berubah menjadi rajin, minimal berusaha menyelesaikan skripsi/tugas akhir sebelum waktunya DO. Ancaman DO adalah hal yang nyata baginya.
Sama halnya dengan calon suami yang memiliki kebiasaan buruk, untuk mengubahnya tidak butuh keadaan bagus, justru butuh semacam “ancaman DO”, yaitu jika kamu mengancam akan memutuskan hubungan dan mengajukan syarat agar kamu kembali menjalin hubungan bahkan menikah dengannya.
ADVERTISEMENT
Jika dia merasa bahwa kamu berharga dan dia rugi jika kehilangan kamu, barulah dia akan merasa tertekan dan (kemungkinannya) akan berubah. Tapi jika kamu justru meminta menikah dengannya, tidak ada kondisi tekanan dari sudut pandangnya sehingga kecil kemungkinan dia akan otomatis berubah menjadi bertanggungjawab.
Ingat: alasan ekonomi kenapa terjadi perceraian, salah satunya adalah karena suami tidak bertanggungjawab.
***
Pernikahan adalah kerja keras kedua belah pihak, baik calon istri dan calon suami. Jika salah satu, kamu ataupun calon suami tidak bersedia bekerja sama, sebaiknya tunda dulu pernikahannya.
ADVERTISEMENT
Semoga bermanfaat!
Annissa Sagita
@nengnisye