Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ekonomi Politik EV di Indonesia: Inisiatif Regional dan Proliferasi Elite
20 Juni 2023 8:05 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Anugrah Wejai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Formasi yang diciptakan oleh perubahan iklim perlahan tapi pasti menjadi ancaman konstan di masa mendatang. Kerusakan iklim, tentu saja, merupakan proses mekanisasi teknologi manusia yang panjang, dan sektor transportasi merupakan salah satu kontributor terbesar dalam perubahan iklim yang paling efektif.
ADVERTISEMENT
Realitas ini mendorong pergeseran global ke energi rendah karbon dan berkelanjutan melalui strategi Electric Vehicle (EV) yang bertujuan mempercepat transisi ke kendaraan rendah emisi (Nogueira et al., 2022). Saat ini, pertumbuhan penjualan mobil listrik tampaknya sudah mencapai rekor yang cukup baik.
Menurut laporan “Global EV Outlook” dari International Energy Agency, jumlah total mobil listrik akan mencapai 130 juta unit pada tahun 2030 (Bunsen et al., 2018; Mohammad et al., 2020). Indonesia tentu saja menjadi pemain penting dalam proyek ini, namun masih ada beberapa tantangan yang harus diatasi.
Menurut laporan konkret Gaikindo, total penjualan mobil listrik di Indonesia mencapai 1.900 unit atau 0,5% dari seluruh penjualan mobil pada 2019-2021 (AHK, 2021). Masalahnya adalah ketika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan pemerintah yang mendorong perubahan dari model mobil tradisional ke mobil listrik.
ADVERTISEMENT
Namun dibalik permasalahan tersebut, sebaiknya pertanyaan ini kita ajukan dari sudut pandang ekonomi-politik: Bagaimana proyek tersebut terjadi (keuntungan) di Indonesia? Dan, bagaimana elite terafiliasi dalam mempengaruhi negara untuk campur tangan dalam proyek tersebut?
Kesadaran Awal & Inisiatif Indonesia pada Regional
Bagi negara-negara maju, menyadari urgensi dampak kendaraan terhadap langit dan lingkungan adalah masalah kemanusiaan yang luar biasa. Seperti di Indonesia, ada alasan logis untuk ini, tetapi lebih masuk akal jika Anda mempertimbangkan alasan di balik proyek yang "menguntungkan" ini.
Proyek ini menggunakan kalkulasi khas Indonesia serta kalkulasi ekonomi, dan berawal dari pengakuan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya geologis nikel, bahkan di Asia. Nikel adalah komponen utama baterai, yang pada gilirannya merupakan komponen utama kendaraan listrik. Mesin tidak dapat bekerja tanpa baterai. Sumber energi inilah yang membedakan kendaraan listrik dengan kendaraan konvensional (Pirmana et al., 2023).
Presiden Joko Widodo sangat serius mempromosikan proyek dan fasilitas manufaktur kendaraan listrik di Tanah Air. Hal ini tercermin dari masuknya produksi EV oleh pemerintah dalam Rencana Induk Industri Nasional 2015-2035 dan pembangunan infrastruktur EV dalam Rencana Jangka Menengah Nasional 2020-2024 (Loe, 2023).
ADVERTISEMENT
Pengaturan lebih lanjut juga diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Program Percepatan Baterai Kendaraan Listrik yang diikuti oleh Peraturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral No. 11 Tahun 2019 tentang larangan ekspor bijih nikel (Pirmana et al., 2023).
Formulasi pengaturan hingga saat ini merupakan bukti fokus Indonesia pada EV yang berorientasi comparative advantage sebagai pemasok tembaga dan nikel dalam negeri, yang sangat bermanfaat bagi produsen EV pada umumnya.
Rantai produksi manufaktur EV Indonesia pada awalnya akan dimulai oleh PT. HKML Battery Indonesia di Karawang, Jawa Barat, dengan rencana produksi massal akan dimulai pada tahun 2024 (Loe, 2023). PT. HKML Battery Indonesia adalah pabrik baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia dan Asia Tenggara. Jumlah investasi untuk proyek ini adalah US$1,1 miliar atau setara dengan Rp. 15,6 triliun (Septiawati, 2021).
ADVERTISEMENT
Artinya, fasilitas EV lainnya, termasuk manufaktur dan komponen lainnya, belum tercakup. Dalam pandangan penulis, dari perspektif ekonomi-politik, perangkat regulasi pemerintah untuk mendukung kelancaran industri hilir memang didasarkan pada motif ekonomi, dan manfaat lingkungan masih dianggap sekunder.
Situasi saat ini memungkinkan wacana Indonesia memimpin transisi produksi kendaraan listrik sebagai komoditas industri otomotif di Asia Tenggara. Namun, apakah semenjak kesadaran atas kekayaan geologi hingga inisiatif “memimpin” produksi EV di regional memiliki jalan terjang yang demokratis?
Proliferasi Elite dalam Hilirisasi: Sebuah Rumor
Menyadari kemampuan industrialisasi Indonesia masih 'dalam perjalanan' menuju model mutakhir, hal ini menyoroti perlunya kerja sama strategis dan kemitraan di luar negeri untuk transisi mobilitas dari kendaraan bensin konvensional ke kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak boleh dilupakan bahwa ketergantungan industri pada model dan kepemilikan asing merupakan realitas kebijakan investasi internasional yang tak terhindarkan. Terutama proyek pengembangan EV berskala besar di Indonesia.
Oleh karena itu, situasi ini menunjukkan bahwa ketergantungan industri otomotif konvensional di Indonesia yang sangat tinggi pada kepemilikan asing mengartikan bahwa jalannya transisi akan didorong oleh keputusan atas kesepakatan perusahaan asing (Pavlínek, 2022).
HKML Battery Indonesia, sebagai pionir pertama Indonesia, merupakan konsorsium dari LG Energy Solutions, Hyundai Motor, Hyundai Mobis dan KIA Corporation, dan perusahaan lokal tidak serta merta mempengaruhi proyek tersebut.
Kondisi ini menuntut pembentukan komposisi elite ekonomi dan politik yang akan menjadi faktor terpenting dalam membentuk proyek EV Indonesia secara konstitusional.
ADVERTISEMENT
Sebut saja kelompok yang tertarik mengembangkan kendaraan listrik sebagai faksi elite ekonomi. Faksi elite ekonomi adalah sekumpulan individu yang memiliki faktor produksi dalam perekonomian (Paniagua dan Vogler, 2021).
Ini adalah kumpulan dari beberapa subkelompok yang mengontrol ekstraksi, pemrosesan, penggunaan dan/atau perdagangan sumber daya komoditas tertentu.
Negara yang memiliki sumber daya geologis lebih beragam, persaingan antara kelompok-kelompok kuat yang sama dalam kepentingan ekonomi lebih sering muncul, yang pada gilirannya mengarah pada investasi berkelanjutan pada lembaga-lembaga kenegaraan dan/atau pemerintahan (Paniagua and Vogler, 2021).
Kembali ke konteks pengembangan EV di Indonesia, hadirnya HKML di Jawa Barat mengindikasikan masuknya (dan dominan) perusahaan asing melalui konsorsium, maka proses pembagian kekuasaan pengoperasian proyek ini kenyataannya menggunakan kekuatan faksi konglomerat industri di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Faksi konglomerat yang tergabung dalam “lingkaran Presiden” adalah para pengelola perusahaan sekaligus pemangku kebijakan penting di negara ini.
Posisi mereka sebagai penyelenggara pemerintahan yang terjun secara langsung dalam proses swasta—bahkan mengontrol operasinya—telah mengaburkan batas-batas antara penguasa dan pengusaha di Indonesia.
Penetrasi mereka memungkinkan pengaturan kelembagaan yang membatasi kepentingan kelompok tertentu, dalam hal ini perusahaan asing agar tidak dominan, namun juga meninggalkan asumsi bahwa faksi ini menggunakan negara sebagai kendaraan menuju tujuan tertentu—kepentingan ekonomi sepihak.
Refleksi (Sebentar)
Proyek EV di Indonesia memang menjanjikan. Banyak riset yang berkesimpulan bahwa negara ini akan memimpin produksi di Asia Tenggara. Sehingga membutuhkan persiapan yang matang guna mendongkrak percepatan transisi.
Pemerintah telah menderegulasi peraturan yang menghambat proses percepatan EV, namun negara juga khawatir akan dominannya perusahaan asing yang menghambat kesempatan anak bangsa untuk berkarya.
ADVERTISEMENT
Faksi elite “konglomerat” nyatanya secara langsung menjadi bagian representasi perusahaan nasional mengelola proyek EV. Melembagakan kepentingan nasional dalam institusi negara, dalam hal ini perusahan nasional otomotif di operasi EV, tentu membuka peluang anak bangsa berkompetisi mengembangkan inovasi ini.
Namun sekali lagi, itu akan memicu citra negatif di tengah masyarakat bahwa transisi mobil konvensional ke EV tidak lain hanyalah embel-embel untuk kepentingan ekonomi semata daripada perhatian terhadap isu lingkungan.
Untuk memahami proyek EV di negara-negara berkembang seperti Indonesia, kita perlu menggunakan sudut pandang ekonomi politik untuk mencapai pemahaman yang komprehensif.