Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Meninjau Sejarah Botswana: Kedaulatan Kgotla dari Masa ke Masa
12 April 2023 6:27 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Anugrah Wejai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Botswana adalah landlock country—negara yang terkurung daratan (terletak di selatan benua Afrika dan tanpa akses ke laut)—berbatasan langsung dengan Afrika Selatan di sebelah selatan dan timur, Zimbabwe di sebelah timur dan Namibia di sebelah barat. Botswana memiliki daratan seluas 581.730 km2 dan berpenduduk lebih dari dua juta jiwa yang didominasi oleh suku Tswana.
ADVERTISEMENT
Dominasi suku Tswana juga memengaruhi tradisi politik Botswana. Argumen tersebut menjelaskan bahwa para pemimpin pasca-kemerdekaan membuat beberapa keputusan yang rasional karena mereka terkadang terikat pada institusi yang terdesentralisasi.
Melihat keberhasilan Botswana melalui perspektif industri pertambangan intan merupakan bentuk merkantilisme pragmatis, sehingga perlu dikaji kembali “warisan” apa yang masih ada di Botswana meski harus melalui masa prakolonial, kolonial, dan dekolonisasi.
Prakolonial, Kolonial (Protektorat), dan Dekolonisasi
Realitas politik abad ke-20 adalah sulitnya negara pascakolonial mempertahankan institusi tradisionalnya di tengah benturan peradaban, apalagi mengintegrasikan sistem tradisional ke dalam demokrasi modern. Namun, ini tidak terjadi di Botswana prakolonial hingga dekolonisasi karena Botswana melanjutkan budaya dan institusi politik tradisionalnya.
Botswana prakolonial, atau Tswana, rentan terhadap ancaman keamanan—karena tidak memiliki sistem keamanan tradisional—untuk mengkompensasi kekurangan ini, Tswana memilih negosiasi daripada konfrontasi untuk menyelesaikan perselisihan.
ADVERTISEMENT
Sentimen tentang penyelesaian sengketa melalui negosiasi tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tswana yang kemudian mengakar dalam budaya mereka (Ivarsson, 2011). Hal ini terkait erat dengan lembaga kgotla, atau majelis desa, yang berfungsi sebagai pusat politik di mana keputusan diambil melalui musyawarah untuk mencapai mufakat (SebudubuduMoltusi, 2008; Ivarsson, 2011).
Tswana adalah landlock yang miskin dan tidak memiliki potensi tertentu, sehingga wilayahnya mengalami kekosongan kolonial atau nonhegemonic state. Karena kekosongan kolonialisme dan masalah keamanan, Jerman berencana melakukan ekspansi ke daratan Tswana.
Berita ini memaksa para pemimpin Tswana untuk meminta bantuan perlindungan Inggris pada tahun 1853 (Ivarsson, 2011), dan hasilnya Inggris mendirikan Protektorat Bechuanaland pada tanggal 31 Maret 1885 sebagai tanggapan atas permintaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan bahwa para pemimpin Tswana setuju pada garis subordinasi Kerajaan Inggris dan hubungan antara Inggris dan Bechuanaland digambarkan sebagai "mengundang kolonialisme" (Maundeni, 2001; Ivarsson, 2011).
Pada saat yang sama, dinyatakan bahwa setiap keputusan politik harus diratifikasi oleh pemerintah Inggris, yang berarti bahwa sebuah proses keputusan penting dialihkan ke Inggris (Maundeni, 2012).
Namun, ini tidak berarti runtuhnya Kgotla sebagai institusi politik tradisional, sebaliknya Inggris mengizinkan atau mengizinkan kepala suku Tswana untuk memimpin protektorat.
Jalan menuju kemerdekaan dimulai dengan diskusi konstitusional Bechuanaland di Kerajaan Inggris antara tahun 1963 sampai 1964. Dengan tidak adanya kepentingan politik dan militer dari kekuatan kolonial, Bechuanaland tidak perlu mempersenjatai diri untuk menuntut kemerdekaan (Ivarsson, 2011).
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk tidak bersatu dengan Afrika Selatan mendorong Inggris Raya untuk campur tangan dalam persiapan kemerdekaan bangsa itu.
Sebagai perayaan demokrasi pertama pemilihan parlemen tahun 1965 yang dimenangkan oleh Partai Demokrat Botswana, Republik Botswana secara resmi menjadi negara merdeka pada tanggal 30 September 1966 di bawah kepresidenan Sir Seretse Khama.
Warisan Benang Merah: Budaya Politik Kgotla
Tiga fase transisi—prakolonial, kolonial, dekolonisasi—tetapi yang tersisa dalam sistem negara ini adalah lembaga tradisional Kgotla. Kgotla menjadi budaya politik yang terinstitusional dan dilembagakan dalam pemerintahan Botswana.
Merujuk pada pendapat Hjort (2010), budaya adalah sistem kepercayaan, nilai, kebebasan, perilaku, artefak yang digunakan anggota masyarakat untuk mengatasi dunia dan diregenerasikan kembali.
Sebagaimana budaya yang diregerasikan, Botswana memiliki institusi kesukuan prakolonial yang mendorong partisipasi luas dan membatasi kekuatan elite politik (Acemoglu dkk., 2001).
ADVERTISEMENT
Seringkali kombinasi Kgotla sebagai pedoman kepemimpinan administrasi untuk konsentrasi ekonomi Botswana yang berbasis pada industri ekstraktif menjadi sangat penting.
Banyak literatur telah ditulis tentang keajaiban ganda Botswana dalam sebuah kisah unik: mereka memiliki institusi politik yang demokratis, mereka didukung oleh lingkaran elite yang bersatu, dan mereka memiliki apa yang diinginkan oleh penjajah, yaitu berlian.