Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Intoleransi di Masa Pandemi
20 April 2020 12:06 WIB
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada hari ke-48 pandemi Covid-19 di Indonesia, muncul pemberitaan menyedihkan yang menyayat hati tentang pembubaran pelaksanaan ibadah pada rumah salah satu warga di Cikarang, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Kronologi kejadiannya, dimulai saat keluarga Jamin Sihombing yang merupakan penatua pada salah satu gereja, sedang melakukan ibadah keluarga minggu (19/4) di rumah sebagai bagian dari komitmen mereka melaksanakan himbauan pemerintah.
Malangnya dua orang pria mendatangi rumah mereka, salah satu diantaranya bersarung memakai peci, berbaju putih dan tidak memakai masker bernama Imam Mulyana menghardik sembari membubarkan ibadah tersebut dengan alasan tidak boleh kumpul-kumpul.
Anak dari pemilik rumah bernama Arion Frederick Sihombing kemudian merekam dan membagikan kejadian tersebut melalui akun instagram pribadi miliknya @arionsihombing.
Kiriman video tersebut langsung viral dan sempat ditonton oleh ratusan ribu orang, di like puluhan ribu kali dan mendapatkan respon komentar ribuan warganet.
Pun unggahan tersebut sempat mendapatkan respon dari akun Instagram pribadi milik Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang mengatakan akan memeriksa kebenaran informasi ke aparat setempat serta menyayangkan terjadinya kejadian tersebut.
ADVERTISEMENT
Belakangan video berdurasi 31 detik itu sudah dihapus oleh pemilik @arionsihombing atas permintaaan Kapolres dan Tim.
Serta belakangan, terkonfirmasi pula berita bahwa telah terjadi perjanjian damai antara keluarga Jamin Sihombing dan Imam Mulyana yang dimediasi oleh pihak Kepolisian, Nahdlatul Ulama (NU) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Kejadian yang dialami oleh Arion Sihombing dan keluarganya membuat patah hati. Pun ini bukan pertama kali bagi Arion Sihombing mendapatkan perlakuan serupa.
Karena persis 12 tahun yang lalu, ia mengalami persoalan sama kala didemo warga saat melaksanakan ibadah syukuran di rumah. Diteror 1 bulan penuh dengan lemparan batu saat malam tiba. Hingga ia dan keluarganya terpaksa membuat perjanjian tidak akan mengadakan ibadah dirumah lagi.
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 telah memaksa ia dan keluarganya melanggar janji itu. Bukan tidak setia, tapi begitulah adanya. Bahwa masyarakat sudah dihimbau pemerintah untuk beribadah dari rumah. Meski begitupun, dengan logika kebebasan beragama dan beribadah yang tertulis konstitusi. Tak seharusnya pula ia menyetujui perjanjian itu.
Tapi apa daya, ini bukan hanya persoalan naskah tertulis dalam konstitusi kita. Lebih jauh lagi, ini soal jaminan setiap warga mendapatkan perlindungan negara untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaannya, yang termaktub dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945:
Arion Sihombing hanyalah satu dari contoh maraknya kasus intoleransi di Indonesia. Pada kasus lain, kita jamak menyaksikan pelbagai kejadian intoleransi, mulai dari ; rumah ibadah dibakar, gereja dirusak dan kelompok yang berbeda terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Keragaman kita hari-hari ini sedang diuji, pertikaian dalam relasi mayoritas dan minoritas menjadi tantangan yang tak kunjung mendapatkan konsensus.
Kata toleransi seolah hanya sekadar bunyi-bunyian tanpa tindakan nyata untuk dilaksanakan.
Bagi sebagian orang, tindakan keluarga Jamin Sihombing untuk berdamai diatas materai dengan Imam Mulyana adalah sesuatu yang salah. Membuat kesal para pembaca berita karena dianggap tidak memberikan pelajaran bagi oknum tindakan intoleran di Indonesia.
Namun sekali lagi, ini bukan soal hukuman yang didapatkan oleh Imam Mulyana, yang jika diteruskan justru bisa memicu konflik agama.
Apalagi baik Jamin Sihombing dan Imam Mulyana adalah tokoh agama di wilayah tersebut ,dengan sentimen kuat yang memiliki pengikut loyal masing-masing.
ADVERTISEMENT
Pun keluarga Jamin Sihombing pernah mengalami memorabilia buruk 12 tahun lalu soal ibadah di rumah dan dampaknya, yang artinya melanjutkan proses tersebut ke ranah hukum bukan solusi terbaik. Pada bagian ini menurut saya, keputusan Jamin Sihombing sudah tepat.
Apalagi beberapa hari lagi, kita akan memasuki bulan Ramadhan. Tentu dengan potensi hukum yang menimpa Imam Mulyana. Ia bisa berujung hukuman pidana akibat tindakannya. Tidak baik pula baginya merayakannya di penjara.
Namun, catatan lain yang bisa digoreskan di masa pendemi ini menunjukkan bahwa intoleransi masih menjadi momok menakutkan bagi kita.
Tidak mengenal waktu dan situasi apapun, baik dalam keadaan normal maupun saat bencana tiba. Intoleransi layaknya virus yang bisa menyerang siapapun dengan tautan utama berkaitan dengan relasi mayoritas dan minoritas.
ADVERTISEMENT
Padahal sejatinya, Pancasila telah menjadi jembatan bagi kita untuk saling mengasihi, menyayangi, menghargai dan menghormati pilihan agama/kepercayaan yang kita pilih.
Pun kita berharap negara tidak pernah absen dan selalu hadir untuk melindungi hak beribadah setiap warganya, tidak hanya untuk melindungi agama dan kepercayaan mereka. Jauh daripada itu untuk melindungi nilai kemanusiaan itu sendiri.
Semakin lama negara membiarkan wabah intoleransi tumbuh di masyarakat maka semakin besar pula kesempatan intoleransi bermetamorfosis menjadi virus radikalisme.
Hingga radikalisme menjadi pandemi yang menyerang banyak orang di pelbagai belahan dunia. Juga tidak bisa dipungkiri, intoleransi adalah bibit utama radikalisme yang kini telah menjadi pandemi kejahatan trans-nasional yang membunuh banyak manusia di dunia.
ADVERTISEMENT
Kita percaya bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Tindakan Imam Mulyana di Cikarang hanyalah perilaku oknum yang ingin memecah belah keharmonisan antar umat beragama.
Meski begitu saya tertarik untuk melakukan riset tentang korelasi jumlah kasus intoleransi terhadap naiknya penjualan Materai 6000 di Indonesia.
Semoga kita selalu dilimpahkan kesehatan, diberkati komitmen sebagai bangsa untuk saling menghormati dan menghargai keyakinan satu dengan yang lainnya. Tuhan yang menjaga