Konten dari Pengguna

Ketika Boundary Setting Jadi Bentuk Bertahan dari Relasi yang Melelahkan

Aprilia Cahyani Prabudiantoro Putri
Pengamat sosial lulusan Sarjana dan Magister Sosiologi Universitas Indonesia, mengulas relasi antara manusia dan ruang hidupnya baik di urban maupun rural.
7 Juni 2025 11:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Ketika Boundary Setting Jadi Bentuk Bertahan dari Relasi yang Melelahkan
Berita terbaru pertemanan dan interaksi sosial: bagaimana menjaga kesehatan mental dengan menentukan batas dalam relasi toxic dan konflik sosial.
Aprilia Cahyani Prabudiantoro Putri
Tulisan dari Aprilia Cahyani Prabudiantoro Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Desain di Canva.com oleh Aprilia Cahyani Prabudiantoro Putri, 2025
zoom-in-whitePerbesar
Desain di Canva.com oleh Aprilia Cahyani Prabudiantoro Putri, 2025
ADVERTISEMENT
Dalam hidup, kita tumbuh bersama banyak orang. Ada keluarga, teman masa kecil, sahabat semasa sekolah, rekan kerja, bahkan orang-orang yang dulu sangat dekat, yang tahu cerita kita luar dalam. Tapi seiring waktu, kita pun berubah. Tidak hanya penampilan dan pencapaian, tapi juga nilai-nilai yang kita yakini, hal-hal yang kita toleransi, serta batas-batas baru yang mulai kita bentuk.
ADVERTISEMENT
Yang sering kali luput disadari adalah: tidak semua orang ikut berubah bersama kita.
Ada momen-momen dalam hidup di mana kita merasa ingin menarik diri dari hubungan tertentu. Tidak melulu karena luka, tapi karena ada perasaan yang sulit dijelaskan semacam ketidaknyamanan yang pelan-pelan mengendap. Kadang kita tidak tahu bagaimana menjelaskannya, dan lebih sering memilih diam. Tapi diam itu bukan berarti tak peduli. Bisa jadi, itu adalah bentuk perlindungan diri.

Ketika Interaksi Tidak Lagi Netral

Dalam kajian sosiologi, interaksi sosial tidak pernah sekadar basa-basi. Ia adalah proses pertukaran simbol, ekspektasi, dan penempatan posisi diri dalam struktur sosial. Ada yang terlihat akrab di permukaan, tapi menyimpan ketimpangan kuasa, sindiran pasif, atau bahkan bentuk kontrol yang tidak disadari.
ADVERTISEMENT
Misalnya, seseorang yang sudah menikah mungkin mulai merasakan perubahan dalam perlakuan lingkungan terdekatnya. Ada komentar-komentar kecil yang terdengar “bercanda”, tapi lama-lama mengarah pada tone merendahkan:
atau
Seolah-olah perubahan hidup yang sangat personal itu menjadi alasan sah untuk menagih kesetiaan sosial yang sama. Seolah relasi yang baik adalah relasi yang tidak berubah. Padahal setiap individu berhak mengatur ulang prioritasnya.

Preferensi dalam Berinteraksi: Hak yang Tak Selalu Dipahami

Kita hidup dalam budaya yang menjunjung tinggi koneksi sosial. Hubungan lama sering dipuja, geng masa kecil dianggap suci, dan menjauh dari lingkungan lama kerap dikira sebagai bentuk pengkhianatan. Padahal, di titik tertentu dalam hidup, setiap orang punya hak untuk memilih dengan siapa aku ingin terhubung, dan sejauh apa aku ingin terlibat.
ADVERTISEMENT
Pilihan ini bukan selalu tentang dendam atau sakit hati. Dalam banyak kasus, itu adalah bentuk kepekaan. Kepekaan terhadap perubahan diri dan kepekaan terhadap dinamika sosial yang tidak lagi sehat. Di sinilah agensi individu bekerja, yakni kapasitas seseorang untuk menentukan sikap dan pilihan dalam struktur sosial yang ada.
Bukan berarti kita menutup diri. Tapi kita sadar, ada lingkungan yang membuat kita tumbuh, dan ada pula lingkungan yang perlahan-lahan membuat kita mengecilkan diri demi diterima. Dan di momen itulah, keputusan untuk jaga jarak bukan lagi soal “tidak asik” atau “tidak setia”, tapi tentang menjaga keutuhan diri.

Tentang “Jaga Jarak” dan Stigma yang Mengikutinya

Menariknya, pilihan untuk menjaga jarak sering kali mendapat stigma. Ada yang bilang, “kok gak diselesaikan baik-baik?” atau “masak sih temenan dari kecil putus gitu aja?” Padahal, yang jarang dilihat adalah proses panjang yang mendahului keputusan itu.
ADVERTISEMENT
Mungkin sudah ada batas yang dilanggar. Mungkin sudah terlalu sering memberi ruang, tapi ruang itu justru dimanfaatkan untuk meremehkan. Atau mungkin, individu itu hanya sedang belajar menjaga dirinya sendiri setelah terlalu lama bertahan di lingkungan yang tidak suportif.
Di sinilah pentingnya membedakan antara dua hal:
Dalam teori boundary work, seseorang yang memilih menjaga jarak sedang berusaha memulihkan keseimbangan relasinya. Ia tidak ingin terus terjebak dalam interaksi yang penuh tekanan, tuntutan tidak sehat, atau komentar yang melemahkan.
Bukan karena benci, bukan karena sombong. Tapi karena sadar bahwa tidak semua hubungan harus dipertahankan. Dan itu tidak apa-apa.
ADVERTISEMENT

Relasi Sosial Bukan Soal Lamanya, Tapi Soal Kualitasnya

Sosiologi tidak hanya mengajarkan tentang struktur dan masyarakat. Ilmu ini juga membuka mata kita bahwa kehidupan sosial bukan hanya soal keterhubungan, tapi juga soal kapasitas untuk memilih keterhubungan yang sehat.
Kita bisa akrab bertahun-tahun, tapi jika relasi itu membentuk tekanan, bukan dukungan, apakah masih layak dipertahankan?
Kita bisa tumbuh bersama, tapi jika proses tumbuh itu justru membuat salah satu pihak menjadi bulan-bulanan penilaian sosial, apakah itu yang disebut persahabatan?
Relasi sosial, meski lahir dari kebersamaan, juga perlu keberanian untuk mengakui:
ADVERTISEMENT
Dan keputusan untuk menarik diri dari relasi semacam itu adalah bentuk tindakan sosial, bukan tindakan personal semata.

Menjadi Sosiolog Bukan Berarti Harus Dekat dengan Semua Orang

Ada anggapan keliru yang kadang muncul: “Lulusan sosiologi kok gak bisa menjalin relasi?” Seolah-olah memahami teori interaksi sosial membuat kita wajib bisa nge-blend dengan siapa saja, dalam kondisi apa pun.
Padahal, justru karena mempelajari dinamika sosial, kita lebih peka terhadap sinyal-sinyal kecil dalam relasi, seperti ketimpangan, manipulasi emosional, atau ekspektasi tidak realistis.
Menjadi sosiolog bukan berarti mengorbankan kenyamanan diri demi menjaga harmoni palsu. Justru kita belajar membedakan mana harmoni yang sehat dan mana harmoni yang dipaksakan. Kita belajar bahwa tidak semua hubungan sosial harus dipertahankan hanya karena ada label “teman lama” atau “sahabat kecil”.
ADVERTISEMENT
Dan lebih jauh, kita tahu bahwa ternyata relasi yang sehat itu bukan tentang mampu bertahan di dalamnya, tapi mampu tumbuh bersama di dalamnya.

Elegansi dalam Menentukan Batas

Menentukan batas dalam interaksi bukan tindakan kekanak-kanakan. Itu adalah tanda kematangan sosial. Dalam masyarakat yang sering memuja koneksi tanpa memeriksa kualitasnya, kita butuh keberanian untuk berkata:
Pada akhirnya, kehidupan sosial yang sehat bukan tentang seberapa banyak orang yang terhubung dengan kita, tapi seberapa jujur dan suportif hubungan-hubungan itu. Dan jika harus memilih, mungkin memang lebih baik memiliki sedikit relasi yang sehat daripada banyak relasi yang memaksa kita bertahan dalam diam.
ADVERTISEMENT
Banyak kah di antara kalian yang relate dengan situasi ini?