Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Pulang, Kereta Api, dan Semarang
22 Maret 2018 11:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Aprilian DW tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selain Jakarta, ada satu kota di Pulau Jawa yang sepertinya memiliki keterikatan batin dengan saya. Kota itu bernama Semarang, berada lima ratus kilometer di timur ibu kota.
Meski tidak dilahirkan di kota tersebut, sedari kecil saya rutin untuk berkunjung ke Semarang bersama kedua orang tua dan kakak adik, setidaknya dua kali dalam setahun. Biasanya, kami bersilaturahmi dengan keluarga besar pada saat lebaran maupun liburan sekolah, bermain bersama saudara sepupu yang jarang bertemu, berkeliling kota, juga mencicipi berbagai kuliner yang jarang saya temukan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sebagai keluarga yang sering pulang kampung menempuh perjalanan pulang pergi Jakarta-Semarang, sejak dulu kami memercayakan pilihan transportasi mudik dengan menggunakan kereta api, walau kondisi pelayanannya belum senyaman seperti saat ini.
Saya masih ingat betul bagaimana pengalaman tidak menyenangkan menjelang mudik di awal tahun 2000-an. Pagi-pagi sekali, biasanya setelah sahur, Ayah beserta kakak pertama saya harus berangkat ke Stasiun Pasar Senen untuk mengantre tiket mudik lebaran.
Di sana, kondisinya amat tidak mengenakkan. Banyak orang duduk lesehan dan menginap di stasiun dengan seabrek barang. Informasi antrean yang seringkali tidak jelas. Ditambah lagi banyaknya calo yang menawarkan harga berkali lipat dari aslinya. Akhirnya, tiket tanpa tempat duduk pun jadi pilihan terakhir kami untuk pulang ke Semarang—namun pada hari keberangkatan, kami mengakali dengan datang satu jam sebelum keberangkatan dan menempati kursi di gerbong makan.
ADVERTISEMENT
Akibat sistem pemesanan yang penuh ketidakpastian, hikmahnya saya jadi pernah merasakan semua kelas kereta yang tersedia: kadang Argo Muria, Kamandanu, kadang Fajar atau Senja Utama, bahkan berjejalan naik Tawang Jaya pun kami "jabanin" asal bisa mudik ke semarang, tergantung kelihaian dan keberuntungan Ayah saya waktu mengantre di stasiun sehari semalaman.
Meski kondisi kereta di masa lalu masih seperti itu, kereta tetap menjadi andalan keluarga saya untuk sekadar balik kampung, jauh sejak sebelum saya lahir.
Tiketnya yang murah untuk sekeluarga dan bebas dari macet berhari-hari menjadi alasan mengapa keluarga saya memilih kereta ketimbang bus, pesawat, apalagi kendaraan sendiri. Bersama kereta, belasan tahun berliburan di Semarang pun selalu memberikan saya pengalaman yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat betul bagaimana menyenangkannya naik kereta setiap pulang ke Semarang: membeli nasi bungkus murah di Stasiun Cirebon atau Tegal, menanti pramugara menawarkan nasi goreng dan nasi rames fajar utama yang enaknya melegenda, hingga betapa antusiasnya saya duduk di jendela karena bisa melihat keindahan pemandangan sawah, hutan, gunung, bahkan laut sejauh mata memandang.
Bukan cuma yang manis-manis saja, berkendara dengan kereta di masa lalu juga memberikan pengalaman tak menyenangkan. Perjalanannya yang tak sesuai jadwal, gerbong yang kipas anginnya rusak, toilet yang kerap tak ada airnya, berjubelnya penumpang tanpa tempat duduk hingga harus tidur lesehan di setiap gang kereta, dan bangku yang tak begitu nyaman pun rasa-rasanya membuat jarak perjalanan Jakarta-Semarang menjadi dua kali lipatnya. Namun, pengalaman yang berbeda mudik naik kereta api dirasakan keluarga kami saat mudik di tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Zaman semakin berkembang, kereta api melakukan berbagai lompatan dalam memperbaiki pelayanan untuk kenyamanan penumpang. Di mudik tahun 2017 silam, saya sekeluarga merasakan perubahan besar-besaran yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan kereta api premium, kami dimanjakan dengan tempat duduk yang nyaman, pendingin udara yang berfungsi baik, juga fasilitas kamar mandi yang bersih dan jauh dari kata kumuh. Hal yang paling signifikan adalah sistem reservasi tiketnya.
Alih-alih harus mengantre dan menginap di stasiun demi tiket lebaran, pemesanan tiket kereta api dilakukan secara online bahkan sejak H-90 hari sebelum keberangkatan. Tinggal isi form ini itu, dengan proses pemesanan yang mudah menggunakan koneksi internet dengan segala perjuangannya , mendapatkan tiket mudik lebaran 2018 pun menjadi gampang dan praktis. Semuanya berkat kemudahan situs pemesanan yang saya pakai, yakni Tiket.com yang memberikan berbagai promo mudik lebaran mulai dari potongan harga hingga bonus mendapatkan makanan jika melakukan pemesanan senilai Rp300.000. Selengkapnya bisa kamu cek sendiri di situs https://www.tiket.com/promo/promo-kereta-mudik. Nah, menarik kan?
Meski tidak dilahirkan di kota itu, bagi saya Semarang selalu memberikan kesan dan kenangan tersendiri. Tahun ini, berkat Tiket.com pun saya sekeluarga bakal kembali ke Semarang, kampung halaman tempat kedua orang tua saya lahir dan dibesarkan. Tiket mudik lebaran 2018 sudah di tangan, tiket arus balik ke Jakarta pun sudah didapatkan. Mudik ke Semarang tinggal benar-benar menghitung hari.
ADVERTISEMENT
Ingin berlebaran di kampung halaman? Masih ada waktu bagi kamu untuk melakukan reservasi tiket arus balik H+7 yang bakal mulai dijual malam nanti! Jangan lupa gunakan situs dan aplikasi Tiket.com, mitra pemesanan tiket PT KAI yang terpercaya dan terjamin harganya.
#Tiketkemanapun, Tiket.com aja! :)