Polemik Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah

Muhammad Aqiel
Alumni FISIP Universitas Lampung
Konten dari Pengguna
23 Maret 2022 15:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Aqiel tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 02 Tahun 2018 merupakan objek Kebijakan (regulasi) yang telah mengakhiri carut-marut penerapan Kebijakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Daerah.
ADVERTISEMENT
Sebelum PP No. 02 Tahun 2018, pencapaian target-target Standar Pelayanan Minimal lebih merupakan kinerja program sektoral, sehingga menyebabkan terjadinya proliferasi oleh berbagai Kementerian yang menjalankan Urusan Pemerintahan Wajib Berdasarkan Pelayanan Dasar. Setelah PP No. 02 Tahun 2018 pencapaian target-target tersebut lebih diarahkan kepada kewenangan Pemerintah Daerah melalui Tim Penerapan SPM Kab/Kota dan Tim Penerapan SPM Provinsi.
Permendagri No. 59 Tahun 2021 juga secara tegas menyatakan kewenangan Pemerintah Daerah di mana penerapan Standar Pelayanan Minimal tidak lagi ditentukan berdasarkan indikator serta batas waktu pencapaian tetapi berdasarkan: (1) pengumpulan data; (2) penghitungan kebutuhan pemenuhan Pelayanan Dasar; (3) penyusunan rencana pemenuhan Pelayanan Dasar; dan (4) pelaksanaan pemenuhan Pelayanan Dasar, yang ke semuanya itu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan bukan oleh kementerian terkait.
ADVERTISEMENT
Meskipun penentuan target Standar Pelayanan Minimal telah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah masih memiliki hak atas Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pusat yang dalam hal ini adalah Kementerian Umum dan Kementerian teknis memiliki peran dalam hal Pembinaan dan Pengawasan (Binwas). Dalam menjalankan Pembinaan dan Pengawasan terhadap Penerapan Standar Pelayanan Minimal, Kementerian Umum dan Kementerian Teknis membentuk suatu wadah yang disebut sebagai Sekretariat Bersama.
Untuk itu sesuai amanat UU No. 23 Tahun 2014, Standar Pelayanan Minimal (SPM) menjadi kebutuhan dasar yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah untuk Rakyat, maka penerapan Standar Pelayanan Minimal harus tercapai target 100% setiap tahunnya.
Namun dalam penerapannya, seringkali pemenuhan Standar Pelayanan Minimal di Daerah jauh dari target Pemerintah Pusat. Berdasarkan Laporan Standar Pelayanan Minimal Kesehatan di seluruh daerah misalnya, persentase capaian Standar Pelayanan Minimal seluruh sub-urusan Kesehatan pada tahun 2021 hanya berkisar 24,24% (ASDK Pusdatin Kemenkes; 2021). Rendahnya angka tersebut diikuti rendahnya persentase capaian Standar Pelayanan Minimal pada urusan Sosial, Pendidikan, Pekerjaan Umum, Perumahan dan Pemukiman, dan Urusan Trantinbumlinmas.
ADVERTISEMENT
Penyebab utama yang telah dirangkum dari sejumlah laporan Standar Pelayanan Minimal adalah “Keterbatasan Anggaran, Keterbatasan Sarana/Prasarana, Minimnya Data riil Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD), serta Tingginya Ego Sektoral Tim Penerapan SPM yang dengan kata lain Komitmen Perangkat Daerah terbilang rendah.
Oleh karena itu masalah Publik merupakan materi paling tepat untuk menjelaskan permasalahan di atas, di mana untuk mencapai target Standar Pelayanan Minimal 100% tiap tahunnya diperlukan komitmen bersama baik dari Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat.
Mengatasi Permasalahan
Apabila dicermati kembali, kendala penerapan Standar Pelayanan Minimal di daerah juga ditunjukkan dalam sisi pembinaan dan pengawasan (Binwas) yang dilaksanakan Pemerintah Pusat (Kementerian Umum/Kementerian Teknis) melalui Sekretariat Bersama yang hanya terbatas pada tugas koordinatif.
ADVERTISEMENT
Koordinasi antara Tim Penerapan Standar Pelayanan Minimal Daerah dengan Sekretariat Bersama yang seringkali tidak harmonis merupakan implikasi dari sebuah entitas jaringan yang secara teoritis koordinasi tersebut merupakan bentuk administratif dari Network Administrative Organizations (NAO). NAO dalam kasus ketidakharmonisan antara Pusat dengan Daerah sebetulnya sangat rawan keadaan kontradiktif yang berdampak pada kegagalan administratif.
Untuk itu sebagaimana yang dipaparkan oleh Provan dan Kennis (2007), diperlukan langkah-langkah untuk meminimalisir kegagalan administratif yang di antaranya; Efektifitas dan Inklusifitas, Legitimasi Eksternal dan Legitimasi Internal, serta Fleksibelitas dan Stabilitas.
Efektifitas dan Inklusifitas
Dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal keterlibatan multi-Institusi yang mewakili berbagai kepentingan tidak bisa dipisahkan. Sehingga, efektifitas suatu jaringan dapat dicapai ketika tujuan dari jaringan dapat dimengerti dan didukung dengan aksi dari aktor yang terlibat dari jaringan. Sebagai akibat keterlibatan multi-sektor, banyaknya aktor berbanding lurus dengan lama waktu yang dibutuhkan dalam upaya pengambilan keputusan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penerapan Standar Pelayanan Minimal membutuhkan mekanisme lintas sektor melalui berbagai forum di tingkat Kab/Kota, termasuk mendorong peran Tim Penerapan SPM Kab/Kota untuk aktif berkoordinasi dengan Tim Penerapan SPM Provinsi dan Sekretariat Bersama (Pemerintah Pusat).
Tindakan Desentralitatif atau Bottom Up ini semata-mata dilakukan untuk mempercepat waktu dalam pengambilan keputusan antar berbagai pemangku kepentingan dalam keadaan harmonis serta efektif.
Legitimasi Eksternal dan Legitimasi Internal
Secara teoritis, Legitimasi Internal menggambarkan nilai dari suatu jaringan bagi anggota jaringan itu sendiri, sedangkan Legitimasi Eksternal merujuk kepada ekspektasi yang diharapkan dari organisasi di luar jaringan.
Membangun Legitimasi Internal dapat dilaksanakan dengan melakukan sosialisasi/demonstrasi pentingnya keterlibatan aktor jaringan, meningkatkan ikatan berbasis kepercayaan, penyelesaian konflik yang secara menyeluruh, serta membangun mekanisme komunikasi yang solid dalam jaringan (Provan & Lemaire; 2012).
ADVERTISEMENT
Secara praktis, perlunya kegiatan pengawasan dan pembinaan secara intensif. Dalam kaitan ini, Kementerian Teknis melalui Sekretariat Bersama perlu diberikan kewenangan lebih dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal di daerah sehingga sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang telah ditetapkan Kementerian Teknis terkait. Selanjutnya, Kementerian Teknis bersama Kementerian Umum melalui Sekretariat Bersama melakukan Binwas (Pembinaan dan Pengawasan) secara berkelanjutan serta diperlukan penguatan kelembagaan terhadap Ombudsman Republik Indonesia sebagai pihak eksternal dalam hal pengawasan Pelayanan Publik.
Fleksibelitas/Stabilitas
Pada dimensi ini, jaringan dituntut fleksibel dalam menghadapi perubahan eksternal. Network governance yang stabil akan menciptakan hubungan jangka panjang di antara para aktor.
Stabilitas didefinisikan sebagai pemeliharaan struktur, fungsi, dan sumber daya sepanjang waktu khususnya dalam periode-periode sulit (Suratman 2014;116) di sisi lain fleksibilitas dalam jaringan merupakan upaya untuk merespons perubahan atas kebutuhan dan permintaan stakeholder.
ADVERTISEMENT
Untuk itu secara praktis, diperlukan bukti konkret atas pasal 68 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Kepala Daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional akan dikenai sanksi yaitu sanksi administratif, diberhentikan sementara selama 3 (tiga) bulan, sampai dengan diberhentikan sebagai kepala daerah serta peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia pengelola Standar Pelayanan Minimal secara integratif.