Melihat Masifnya Gerakan Perempuan Melalui Pembuatan Zine

Achmad Rohani Renhoran
Akademisi dan Penulis. Saat ini aktif menulis soal buku, media, dan literasi.
Konten dari Pengguna
31 Maret 2024 11:02 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Achmad Rohani Renhoran tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar Koleksi Zine di Indonesia Visual Art Archive (IVAA)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar Koleksi Zine di Indonesia Visual Art Archive (IVAA)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Seeing female characters in powerful roles, such as superheroes or science-fiction protagonists, can help bridge the confidence gap for girls, making them feel strong, brave, confident, inspired, positive and motivated.” - Nate Nikolai
ADVERTISEMENT
Setuju atau tidak, representasi media dewasa ini memang sangat berperan dalam pembentukan cara pandang remaja perempuan. Melihat betapa heroiknya aksi perempuan di suatu media, secara eksplisit akan melahirkan kepercayaan diri yang tinggi bagi mereka.
Sayangnya, alih-alih menyajikan konten positif, media malah lebih banyak memberi kesan negatif soal perempuan.
Sebuah riset di Amerika Serikat yang dirilis oleh mediasmarts.ca, menyebut bahwa pada 2018, sekitar 47% remaja perempuan berusia 14-19 tahun mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan di media, tepatnya di media sosial.
Perlakuan tersebut di antaranya termasuk komentar-komentar negatif perihal penampilan serta komentar yang melecehkan remaja perempuan. Ketidakadilan media terhadap persona para gadis macam ini, yang akhirnya memicu simpul gerakan perempuan untuk membuat media mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam buku Girls Make Media, Mary Celeste menjelaskan secara gamblang mengenai bagaimana remaja perempuan memproduksi media, sehingga media tersebut dapat menjadi wadah yang tepat bagi gerakan sosial, budaya, dan politik yang radikal.
Poin utama dari buku ini adalah analisis terhadap gerakan Riot Girrl, yakni sebuah gerakan perempuan pada 1990-an, yang beranggotakan perempuan-perempuan dari personel band punk rock maupun aktivis kesetaraan gender.
Tulisan ini akan membahas mengenai peran media alternatif terhadap aspirasi perempuan, serta bagaimana perempuan membangun media yang representatif.
Zine dan Gerakan Perempuan
Keresahan gerakan Riot Girrl terhadap pemberitaan media yang pincang, lalu mendorong mereka untuk membuat media tandingan, dengan tujuan menyebarkan pengetahuan tentang kesetaraan.
Niatan untuk melawan dominasi industri media ini, kemudian mereka tuangkan dalam lembaran zine dan poster yang dibagikan saat konser-konser musik punk berlangsung.
ADVERTISEMENT
Pesan-pesan yang tertuang dalam zine Riot Grrrl di antaranya adalah untuk mengajak perempuan bersuara, berani berbicara mengenai hak-haknya di ranah publik.
Mereka juga memberi dorongan penuh bagi remaja perempuan yang ingin memproduksi zine secara mandiri, agar mengacu pada konsep yang dikenal dengan “do it youre self” atau DIY.
Mereka merasa bahwa penyampaian opini kritis tentang kebebasan serta kesetaraan melalui media alternatif macam zine dan poster ini, adalah upaya yang paling cocok buat mereka. Ditambah dengan sirkel musik punk yang erat kaitannya dengan kebebasan berekspresi.
Lisa Darm, dalam tulisannya di laman theparisreview.org menyebut bahwa The Riot Girrl bukanlah gerakan yang tersentralisasi. Mereka tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Ia menjelaskan panjang lebar soal gerakan tersebut, dalam bukunya yang berjudul The Riot Girrl Collection, yang merangkum informasi seputar zine-zine yang dibuat oleh gerakan ini.
ADVERTISEMENT
Salah satunya, yakni zine Jigsaw yang dibuat oleh Tobi Vail, personel band punk perempuan, Bikini Kill. Bagi Tobi, seperti yang diabadikan dalam tulisan Lisa, bahwa ia kadung membutuhkan media untuk mencurahkan gagasannya tentang masalah-masalah yang dihadapi perempuan. Oleh sebab itu, zine merupakan media paling cocok untuknya.
“Membuat zine, membantu saya mengatasi situasi ini,” ujar Tobi.
Selain di Amerika Serikat, gerakan perempuan berbasis zine juga terdapat di Inggris. Daikon zine, pun merupakan salah satu media yang lahir dari gerakan perempuan. Zine ini sedikit banyak membahas mengenai kehidupan perempuan asal Asia Timur dan Asia Tenggara di London.
Dikutip dari laman gal-dem.com, bahwa Daikon zine lebih fokus terhadap isu-isu migrasi penduduk.
Migrasi adalah aktivitas yang tak bisa dilepas pisahkan dari sejarah. Begitu banyak orang kulit berwarna, baik yang hidup dalam kelompok mayoritas kulit putih atau pun non kulit putih.
ADVERTISEMENT
Ketika batasan dan wilayah tempat di mana tubuh seseorang menjadi faktor pemicu perdebatan, kemudian diatur dan dibatasi, maka hal ini menjadi semakin penting.
Itulah sebabnya, Daikon menerbitkan tulisan tentang perempuan Asia Tenggara dan Timur serta orang-orang non biner di Eropa.
Dalam acara peluncuran Daikon zine (12/08/18), Hanna Stephens, salah satu editornya, mengajukan pertanyaan kepada redaktur gal-dem.com:
"Apa yang akan kami atau kerabat kami dapatkan ketika kami pindah ke negara baru; apakah kami dapat berinteraksi dengan masyarakat, lalu mereka mau mengakui dan memberi ruang kami kami, atau apakah kami kami harus berbaur, berasimilasi - dan bagaimana caranya agar kami bisa melakukan hal itu?" Melalui asimilasi, apakah kami dapat mempertahankan dinamika kekuasaan dengan bersikap diskriminatif?”
ADVERTISEMENT
Pertanyaan macam ini yang dibahas tuntas di dalam zine mereka. Seperti gal-dem, Daikon zine juga prihatin dengan fenomena komodifikasi perempuan dan orang kulit berwarna non biner di sana.
“Kreativitas kami, berangkat dari penolakan terhadap asimilasi budaya, sehingga kami membentuk ruang sendiri,” kata Hanna.
Masalah ini kemudian dibahas pada diskusi panel terakhir, sekaligus mengakhiri acara peluncuran Daikon zine tersebut.
Wacana keperempuanan yang dibangun Daikon maupun Jigsaw melalui zine mereka, telah menjadi semacam counter opini bagi media-media partriarki, yang kerap memojokkan perempuan atau menjadikan mereka bagian dari minoritas; lemah, tidak memiliki jiwa kepemimpinan, dll.
Dampaknya di Indonesia
Di Indonesia, gerakan perempuan yang disuarakan melalui zine, juga bukan barang baru. Seperti halnya di negara lain, zine-zine mereka juga lahir dari kelompok kajian dan diskusi.
ADVERTISEMENT
Unrest Collective, adalah salah satu kolektif perempuan yang masif mendistribusikan pengetahuan lewat zine. Pendiri kelompok ini, Sri Taarna, merupakan salah dua perempuan pertama yang membuat zine di Indonesia, selain Ika Vantiani.
Menurut vice.com, Sri juga merupakan bagian dari Kolektif Betina, sebuah kelompok pemberdayaan perempuan yang cukup terkenal di Indonesia.
Sri Taarna adalah penggemar grup band Bikini Kill, yang mengenal gerakan Riot Girrl sejak berusia 13 tahun. Ia mengakui, bahwa peran musik punk dan band Bikini Kill telah membawa perubahan besar baginya. Semangat perlawanan perempuan yang diusung gerakan Riot Girrl, mengenalkan Sri kepada media zine dan feminisme.
“Saya tumbuh di komunitas punk yang didominasi laki-laki, meski banyak juga teman dekat saya yang perempuan. Kami memang saling jaga satu sama lain, namun sebagai perempuan, saya dan teman-teman merasa apa yang kami suarakan, masih diabaikan. Hal itulah yang mendorong saya membuat zine.” Terang Sri.
ADVERTISEMENT
Zine pertama Sri terbit pada 2012, bertajuk Punk Bukan Kriminal. Zine ini merupakan respons dari dukungannya terhadap teman-teman punk Aceh yang dipenjara di bulan desember 2011 lalu. Setelah itu, ia lantas membuat zine untuk mengajarkan Bahasa Inggris kepada warga lokal di Yogyakarta.
Zinester Perempuan Indonesia
Selain Sri Taarna, zine maker perempuan pertama di Indonesia, Ika Vantiani juga aktif menyuarakan keresahan perempuan melalui karyanya.
Ika, merupakan seorang senior di bidang periklanan. Ia kerap terlibat dalam kerja-kerja seni, komunikasi, dan sosial.
Ika, seperti yang dikutip whiteboardjournal.com, menceritakan awal pembuatan zine sejak tahun 2000 hingga 2006.
Saat masih bekerja di agency, Ika bersama teman-temannya menjalankan proyek collective house. Kegiatan yang mereka laksanakan erat kaitannya dengan isu politik, di saat yang sama, mereka mencoba berbagai metode komunikasi sebagai media promosi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, mereka belum mampu menemukan media komunikasinya dan bagaimana cara menyampaikan pesannya. Jadi saat itu mereka memutuskan bergantung pada media komunikasi yang mainstream semacam brosur, poster dan banner.
Singkat cerita, Ika kemudian menemukan zine dengan metode kolase yang kemudian menjadi ciri khasnya.
“Saya mendalami teknik kolase karena saya zinester, karena tanpa kolase saya tidak tahu bagaimana caranya lagi untuk membuat zine. Sesederhana itu.” Pungkasnya.
Zine Ika yang pertama, berjudul “Puncak Muak”. Kontennya berbicara mengenai kaum lelaki, punk, dan orang tua dari sudut pandangnya sebagai seorang perempuan.
Selanjutnya, ia kemudian membuat lagi zine “Setara Mata”, yang sedikit banyak mengulas perihal gerakan perempuan, kaum LGBT, advertising dan seni.
Baik Ika mapun Sri yang tergabung ke dalam Kolektif Betina, memiliki kesamaan pandangan ketika membuat zine. Mereka sama-sama merasa bahwa perempuan di Indonesia masih sering direpresi, isu tentang perempuan masih luput dari perhatian masyarakat.
ADVERTISEMENT
Maka dengan adanya zine sebagai media untuk bersuara, mereka sudah tak tanggung-tanggung lagi mengkritisi aksi diskriminasi terhadap perempuan maupun kelompok minoritas seperti LGBTQ dan sejenisnya.
Zine bukan hanya sebatas media yang dibuat menggunakan lem, gunting, dan kertas saja. Di dalamnya, terdapat banyak sekali suara dari orang-orang minoritas, yang mencoba tetap berjuang meski kerap mendapat cibiran dan ancaman dari orang lain.