Konten dari Pengguna

Bahasa Kita Kian Sopan, Tapi Tak Lagi Jujur

Arsyad Sadewa
Mahasiswa Universitas Pamulang Fakultas Teknik Informatika S1
7 Mei 2025 17:26 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arsyad Sadewa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi topeng karakter ( sumber https://pixabay.com/id/photos/topeng-perasaan-keadaan-pikiran-701837/ )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi topeng karakter ( sumber https://pixabay.com/id/photos/topeng-perasaan-keadaan-pikiran-701837/ )
ADVERTISEMENT
Di ruang kelas, di media sosial, bahkan dalam pidato pejabat, bahasa kita tampak makin rapi dan sopan. Kata-kata tersusun manis, kalimat teratur, dan intonasi dijaga sedemikian rupa agar tidak terdengar ofensif. Tapi di balik kesantunan itu, ada yang menghilang, yaitu kejujuran.
ADVERTISEMENT
Kita sedang hidup di zaman ketika kata harus disaring berkali-kali sebelum diucapkan. Bukan untuk menjaga makna, melainkan untuk menghindari risiko disalahpahami, dilaporkan, atau bahkan dibungkam. Bahasa bukan lagi medium untuk menyampaikan pikiran, melainkan tameng agar tak diserang. Bahasa kita makin diplomatis, tapi juga makin manipulatif.

Sopan Santun yang Membungkam

Dalam ruang pendidikan, misalnya, mahasiswa kerap diminta "berbahasa akademik" padahal sering kali itu berarti menghindari kritik yang terlalu tajam. Di ruang diskusi publik, kritik harus dibungkus eufemisme. Kata "korup" menjadi "tidak transparan". "Gagal" berubah menjadi "belum optimal". Kita tampak santun, tapi kehilangan nyali untuk bicara apa adanya.
Padahal, bukankah kejujuran adalah inti dari berpikir kritis? Bahasa yang jujur bukan berarti kasar, tapi tulus dan berani. Kita boleh beretika, tapi tak boleh kehilangan keberanian menyebutkan sesuatu dengan nama yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT

Bahasa sebagai Topeng

Ilustrasi bahasa dibungkam ( Sumber https://pixabay.com/id/photos/panggilan-afro-megafon-jeritan-2946023/ )
Fenomena ini tak hanya terjadi di ruang akademik atau politik, tapi juga di keseharian. Di media sosial, kita sibuk mengatur diksi agar "aman", agar tak diserang warganet, agar tetap dianggap bijak dan waras. Kita lebih sibuk menjaga citra lewat bahasa daripada menyampaikan isi pikir yang tulus.
Akhirnya, bahasa berubah fungsi. Ia tak lagi mencerminkan isi kepala atau isi hati, tapi jadi alat representasi palsu. Kita membentuk persona lewat kata, bukan menyampaikan kebenaran.

Saatnya Kembali ke Bahasa yang Berani

Ini bukan ajakan untuk menjadi kasar, nyinyir, atau sembarangan bicara. Tapi ini seruan agar kita tidak membunuh kejujuran atas nama kesopanan. Jika kita ingin pendidikan yang mencerdaskan, politik yang transparan, dan ruang publik yang sehat, maka kita butuh bahasa yang lebih jujur, bukan hanya lebih sopan.
ADVERTISEMENT
Bahasa adalah jendela pikiran. Jika kacanya terus dipoles agar tampak kinclong tapi tak pernah dibuka, kita hanya akan melihat pantulan diri, bukan kenyataan.