Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sekolah Mengajarkan Huruf, Tapi Tak Membaca Zaman
8 Mei 2025 11:45 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Arsyad Sadewa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Kita hidup di dunia yang berubah dengan cepat, tetapi di sekolah-sekolah, anak-anak masih disuruh duduk diam, menghafal rumus, dan menjawab soal dengan cara yang sama seperti yang dilakukan 50 tahun lalu. Apa yang kita ajarkan kepada mereka? Huruf, angka, dan teori-teori tua, atau justru kemampuan untuk memahami dunia yang semakin kompleks?
ADVERTISEMENT
Hari ini, kita memiliki generasi muda yang lebih cerdas dari sebelumnya. Mereka bisa menghafal lebih cepat, menyelesaikan soal dengan presisi, dan memiliki akses tak terbatas ke informasi. Namun, ironisnya, mereka sering kali gagal membaca zaman. Mereka bisa menjelaskan rumus Pythagoras, tetapi bingung menghadapi berita palsu di media sosial. Mereka tahu banyak tentang matematika, tetapi tak tahu cara mengelola emosi atau berpikir kritis tentang isu-isu sosial yang ada di depan mata mereka.
Sekolah, Tempat Menimbun Hafalan, Bukan Membuka Wawasan
Apakah pendidikan kita sudah cukup untuk mempersiapkan mereka menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian dan perubahan? Kurikulum kita terlalu sibuk mengajarkan "apa" dan mengabaikan "mengapa". Kita lebih menghargai anak yang bisa menulis dengan benar daripada yang bisa menulis untuk berbicara tentang apa yang salah di dunia. Sekolah tidak cukup mengajarkan kemampuan untuk berpikir kritis, untuk membaca berita dengan skeptis, atau untuk memecahkan masalah sosial yang mendesak.
ADVERTISEMENT
Sekolah sering kali mengajarkan kita untuk mencari jawaban yang benar, tetapi tidak mengajarkan kita untuk bertanya dengan benar. Tidak ada ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi atau berpikir beda, bahkan bertanya bisa dianggap mengganggu. Keterampilan abad 21, seperti kreativitas, kolaborasi, dan kemampuan beradaptasi, justru sering diabaikan demi mengejar angka dan standar yang sudah ketinggalan zaman.
Generasi Pintar yang Buta Zaman
Mari kita berhenti sejenak dan tanya diri kita: apakah pendidikan kita benar-benar mempersiapkan anak-anak untuk hidup di dunia yang tidak bisa diprediksi? Seiring dengan berkembangnya teknologi dan pergeseran sosial yang begitu cepat, mereka akan menghadapi tantangan yang jauh lebih rumit daripada sekadar ujian akhir tahun.
Tetapi sayangnya, banyak dari mereka yang keluar dari sistem pendidikan kita hanya dengan satu keahlian, menghafal dan mengikuti aturan. Mereka pandai menjawab soal-soal, tetapi sering kali bingung bagaimana merespons situasi yang membutuhkan pemikiran kreatif dan kritis.
ADVERTISEMENT
Pendidikan tidak bisa lagi hanya berfokus pada penguasaan materi. Ini harus tentang mempersiapkan individu untuk berpikir, merasakan, dan bertindak sesuai dengan realitas zaman mereka. Mereka harus diajarkan untuk membaca dunia, bukan sekadar membaca buku.
Saatnya Merombak Pendidikan
Sudah saatnya kita mengubah paradigma pendidikan. Bukan hanya soal mempelajari teori yang sudah usang, tetapi memberi ruang bagi siswa untuk bertanya, untuk berdiskusi, untuk mengkritik, dan yang terpenting: untuk memahami dunia yang mereka hadapi.
Sekolah harus berubah dari tempat menimbun hafalan menjadi ruang terbuka untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan kemampuan adaptasi. Kita tidak hanya menginginkan generasi yang pintar di atas kertas, tetapi generasi yang cerdas dalam menghadapi dunia yang terus berubah.
ADVERTISEMENT
Pendidikan seharusnya tidak hanya mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi ujian, tetapi juga untuk menghadapi hidup. Jika kita hanya mengajarkan mereka huruf dan angka, tetapi tidak mengajarkan mereka untuk membaca dan memahami zaman mereka, maka kita tidak hanya gagal sebagai pendidik, tetapi juga gagal sebagai masyarakat yang seharusnya mendidik mereka untuk menjadi pemikir yang kritis dan bertanggung jawab.