Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Asal-Usul Bahasa Ngapak Banyumasan yang Ceriakan Dunia
20 Juni 2017 11:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
“Nyonge Kencot,” ucap Presiden Joko Widodo menirukan bocah asal Kroya bernama Raza. Ucapan Jokowi sontak memicu tawa. Momen yang terjadi pada Kamis (15/6) ini langsung membuat para hadirin termasuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tertawa tidak karuan.
ADVERTISEMENT
Nyonge Kencot adalah bahasa Jawa Ngapak Banyumasan yang berarti ‘Saya Lapar’. Berbeda dengan Bahasa Jawa dari asal daerah Jokowi yang biasa menyebut dengan kalimat ‘Aku Ngelih’. Yang menarik dari bahasa ngapak selain tata bahasanya adalah intonasi dialek terdengar lucu. Ngapak adalah bahasa yang memberi penekanan ketika bertutur.
[Baca Juga: Pelajaran Ngapak kepada Bapak Presiden ]
Dari jutaan orang yang berbicara bahasa Jawa, ngapak adalah karakter dialek yang paling dikenal. Corak dialek ngapak sering dituturkan mereka yang berasal dari Karesidenan Banyumas dan Karesidenan Kedu atau sekarang berlokasi di Jawa Tengah bagian barat.
Aksen ngapak hadir sebagai wujud kekayaan bahasa Jawa dan juga Indonesia. Menurut Uhlenbeck membagi dialek bahasa Jawa dari wilayah Yogyakarta dan Solo menjadi 4 dialek dan 13 subdialek.
ADVERTISEMENT
Dialek-dialek tersebut adalah dialek Banyumas, dialek Pesisir, dialek Surakarta, dan dialek Jawa Timur. Adapun sub-subdialeknya yaitu subdialek Purwokerto, Kebumen, Pemalang, Banten Utara, Tegal, Semarang, Rembang, Surakarta (Solo), Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Banyuwangi, dan Cirebon.
Sementara itu, dalam dokumen Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 berjudul ‘Peta Bahasa di Jawa Tengah’, bahasa Jawa di Jawa Tengah menjadi lima dialek, yaitu dialek Banyumas, dialek Semarang, dialek Pekalongan, dialek Wonosobo, dan dialek Tegal mencakup Kabupaten Tegal dan Brebes. Sementara aksen Ngapak didapati di dialek Banyumas, Wonosobo, dan Tegal.
Bahasa Jawa yang begitu beragam tidak lepas dari aspek historis masyarakat setempat. Masyarakat dari wilayah Banyumasan, Wonosobo, dan Kendal yang dahulunya merupakan wilayah Kerajaan Mataram.
ADVERTISEMENT
Dalam budaya Jawa, bahasa dan perilaku begitu berkelindan. Jawa Tengah yang saat itu dikuasai Kesultanan Mataram Islam memiliki kebiasaan untuk penerapan pendisiplinan perilaku dan bahasa yang dimiliki oleh rakyatnya. Orang Jawa sendiri mengagungkan pepatah “Basa iku busananing bangsa,” yang artinya bahwa bahasa merupakan balutan dari siapa diri kita.
Bahasa Jawa dikenal dengan penuturan bahasa yang berjenjang bergantung lawan bicara yaitu Kromo dan Ngoko. Di samping itu, bahasa bagi orang Jawa adalah tentang bagaimana tutur kita mewakili sikap dan alam berpikir kita. Rakyat diharuskan menggenggam simbol, tata krama, unggah-ungguh sebagai simbol kekuasaan kerajaan.
Namun bahasa ngapak mampu bebas dari bayang-bayang dialek Yogyakarta. Menurut buku Banyumas: Sejarah Budaya dan Watak yang ditulis Budiono Herusatoto, lokasi daerah berbahasa ngapak yang jauh dari pusat kekuasaan membuat budaya yang ada di masyarakat masih jarang yang terpengaruhi budaya ningrat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat penutur ngapak disebut sebagai ‘adoh ratu cedhak watu’ (jauh dari raja dan dekat dengan batu), yang artinya mereka jauh dengan rajanya baik secara geografis maupun interaksi kebudayaan. Hal ini membuat, kultur bahasa yang dibentuk oleh kerajaan tidak banyak masuk ke wilayah Banyumas dan Kedu. Ngapak tetap berjaya di rumah sendiri.
Struktur ini berpengaruh pada laku budaya mereka. Ngapak adalah Bahasa Jawa Ngoko Jawadhwipa, sebuah aliran Jawa murni yang berada di strata enam tingkat di bawah Bagongan yang dituturkan kalangan bangsawan.
Perbedaan antara bahasa Jawa Yogya-Solo dan Banyumas terletak pada vokal dan intonasi. Mereka memiliki pengucapan huruf vokal dan huruf konsonan seperti h, d, g, b, c, k, l, w, dengan penekanan, atau dalam bahasa linguistik adalah fonem vokal dan fonem konsonan.
ADVERTISEMENT
Aksen ini membuat bahasa Ngapak terkesan kasar dan tidak menaruh rasa hormat. Lain seperti bahasa Jawa Yogyakarta yang terkesan halus dengan unggah-ungguh yang telah diatur.
Justru bahasa ngapak seperti Banyumasanlah yang disebut sebagai bahasa Jawa yang masih murni. Ngapak masuk ke dalam Jawadwipa, atau ngoko lugu. Dalam kesusastraan Jawa, bahasa Banyumasan dianggap sebagai bahasa Jawa murni.