Disneyland: Imaji Wisata dan Konsumerisme Modern

18 April 2017 15:18 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Istana di Disneyland (Foto: Pixabay)
Embusan kabar tentang berdirinya Disneyland di Indonesia tak kunjung berhenti. Semula disebut akan berdiri di Bali, kemudian di Danau Lido Kabupaten Bogor, berganti lagi di Kulonprogo barat Kota Yogyakarta, dan kini di Boyolali Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Semua daerah itu seperti tak mau ketinggalan mengklaim bakal menjadi lokasi berdirinya Disneyland --taman rekreasi Disney, perusahaan hiburan besar asal AS, yang selalu jadi tujuan wisata di seluruh dunia.
Disneyland seperti harus berdiri di Indonesia. Kabar soal Disneyland tersebut lantas dikait-kaitkan dengan investasi senilai Rp 6,1 triliun yang akan ditumpahkan ke lahan seluas 600 hektare di Boyolali.
Disneyland memang merek penting dalam industri pariwisata. Masuk dalam kategori theme park atau amusement park, merek industri film anak yang telah tersohor di seluruh dunia ini dijadikan brand taman bermain.
Wahana permainan berbalut kastil negeri dongeng dan badut tokoh kartun favorit menjadi tempat pas untuk bersenang-senang sembari menyelami keceriaan masa kecil.
Disneyland. (Foto: Reuters/Benoit Tessier)
Tak heran Disneyland mencetak sukses dibanding pengelola amusement park lainnya. Mengikuti jejak Disneyland, Lego dan Universal Studios lantas masuk ke industri taman hiburan pula.
ADVERTISEMENT
Jumlah kunjungan ke theme park memang luar biasa. Data dari Themed Entertainment Association (TEA) tahun 2016 menunjukkan, Disneyland dikunjungi 137 juta orang dan bertengger di urutan teratas sebagai taman bermain yang paling banyak dikunjungi.
Menyusul di posisi kedua adalah Merlin Entertainment Park dengan 63 juta pengunjung, lalu Universal Group dengan 45 juta pengunjung. Angka-angka tersebut merangkumkan bahwa ada 420 juta manusia yang menyesaki theme park setiap tahunnya.
Meski demikian, Disneyland tetap digdaya. Theme park yang memiliki jargon “Tempat paling bahagia di muka bumi” itu mencetak rekor penjualan 2,2 miliar dolar AS pada 2016.
Gagasan Disneyland berasal dari sang pendiri perusahaan kartun, Walt Disney.
Disney, setelah sukses dengan berbagai tokoh kartun yang ia ciptakan, merasa perlu menghadirkan keceriaan lain di muka bumi. Ketika dia melihat kedua putrinya bermain, Disney merasa manusia memerlukan tempat yang cocok di mana anak-anak dan orang dewasa bisa saling berbagi keceriaan.
ADVERTISEMENT
Mimpi Disney baru terlaksana pada tahun 1955. Mengutip History, lahan seluas 160 hektare di Anaheim, California, menjadi tempat dibangunnya Disneyland pertama dengan total investasi senilai 17 juta dolar AS.
Disneyland pertama di California, AS (Foto: Wikimedia Commons)
Ternyata, Disneyland tidak dicita-citakan Disney menjadi tempat bersenang-senang semata. Seiring dengan berdirinya berbagai cabang Disneyland di Eropa dan Asia, tempat ini telah menjadi budaya dan gaya hidup baru.
Pakar Geografi Salvador Anton Clave dari George Washington University menyebutkan, Disneyland menjelma menjadi konsep kebutuhan ruang dan konsumsi manusia modern.
Dalam buku berjudul The Global Theme Park Industry, Clave berujar, “Lebih dari sekadar tempat berwisata, theme park menjadi ekspresi dari hasrat masyarakat tentang kota dan ruang hidupnya.”
Sehingga, gelimang kemewahan theme park seperti Disneyland seperti menjadi standar baru bagi konsumsi masyarakat. Pergi ke theme park seakan menjadi kesenangan baru yang menentukan siapa jati diri Anda di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Anda akan jadi satu di antara 420 juta orang di muka bumi yang memiliki keistimewaan untuk berkunjung ke theme park, dan itu bisa jadi istimewa buat sebagian orang.
Keistimewaan semacam itu adalah citra tersendiri bagi masyarakat modern yang menghamba gaya hidup Barat. Filsuf kenamaan Prancis Jean Baudrillard dalam bukunya The Consumer Society bahkan menasbihkan Disneyland sebagai simbol konsumerisme modern.
“Jika kita semua percaya bahwa kehidupan Barat mewujud di Amerika Serikat, dan seluruh wajah Amerika ada di California, dan wajah California ada di MGM (Metro-Goldwyn-Mayer; perusahaan film) dan Disneyland, dan keduanya adalah inti dari kehidupan Barat,” kata Baudrillard.
Disneyland. (Foto: Reuters/Benoit Tessier)
Baudrillard tidak berlebihan jika melihat Disneyland sebagai penanda zaman yang digandrungi. Disneyland memang menggiurkan secara bisnis, sehingga menarik perhatian para pemburu keuntungan di industri pariwisata.
ADVERTISEMENT
Tak hanya individu yang berambisi, pemerintah negara ikut berlomba-lomba membangun theme park. Lihat saja negara-negara tetangga Indonesia yang telah lebih dulu memiliki destinasi wisata berupa theme park.
Sebut saja Singapura dengan Universal Studios, Malaysia dengan Legoland dan Genting Highlands, kemudian Hong Kong dan Tokyo dengan Disneyland.
Singapura seakan menjadi contoh betapa amusement park yang mereka miliki benar-benar membantu industri pariwisata negara. Universal Studios di Singapura pada 2016 dikunjungi 18 ribu orang setiap harinya.
Jika Universal Studios sukses di Singapura, theme park lain di Asia, yakni Disneyland di Tokyo, Jepang, telah lebih dulu mencatatkan kesuksesan. Disneyland Tokyo mampu menarik pengunjung sebanyak 13,6 juta orang pada 2016.
Kisah-kisah tersebut hanya secuil imaji yang ditawarkan oleh theme park --industri dengan investasi besar, dan dengan demikian target pasar besar, di belakangnya.
ADVERTISEMENT
Disneyland. (Foto: Reuters/Benoit Tessier)