Menempuh Ajaran Leluhur Menuju Tuhan

23 November 2017 14:44 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sabtu pagi yang ramai di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Tempat itu seperti desa kecil yang terpaksa menjadi lokasi wisata. Jalan sempit yang belum teraspal sempurna dilalui oleh motor besar dan mobil van pengunjung yang penasaran dengan situs yang konon berusia 10.000 tahun itu.
ADVERTISEMENT
Ginanjar Akil, yang akrab disapa Kang Gin-gin, mengarahkan kami menuju area pintu masuk situs Gunung Padang yang menjadi titik kumpul para peserta. Ia memberi petunjuk amat mudah: cari sekumpulan orang yang menggunakan pakaian adat.
Orang-orang itu terlihat memenuhi sebuah rumah panggung. Di halaman rumah, terlihat dupa dibakar. Harumnya mengiringi langkah kami yang hendak masuk ke ruang tamu.
Di teras rumah, empat lelaki yang tengah memainkan alat musik berhenti sejenak untuk mengulurkan tangan, melempar salam hangat.
“Mangga Kang, ka lebet,” seru seseorang dari dalam rumah, mempersilakan kami masuk. Artinya: mari, silakan masuk ke dalam.
Ruang tamu yang jadi satu dengan ruang keluarga itu tampak gelap. Gin-gin dengan pakaian serba hitam dan rambut panjang tergerai, muncul dari ujung ruangan. Dua perempuan bersanggul dan laki-laki berikat kepala ikut memberikan ucapan selamat datang.
ADVERTISEMENT
Tuan rumah berdandan etnik, ruangan gelap, dan semerbak wangi dupa terasa makin membius ketika alat-alat musik khas Sunda kembali dimainkan. Suasana begitu syahdu.
Ginanjar Akil, penghayat Sunda Wiwitan. (Foto: Nugraha Satia P/kumparan)
Kang Gin-gin adalah orang Sunda yang menjadi penghayat ajaran leluhur. Ia bagian dari komunitas Jaro Rajah yang masuk ke dalam kepercayaan Sunda Wiwitan.
Sementara Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang memuja kekuatan alam dan arwah leluhur. Untuk menjelaskan lebih gamblang, Kang Gin-gin keluar sejenak ke halaman, lalu kembali ke dalam membawa tanaman berdaun ungu kemerahan yang diletakkan di pot tanah liat.
Tumbuhan itu bernama hanjuang. “Hanju itu artinya napas terakhir. Tarikan napas terakhir--hanjuang. Tarikan napas terakhir kembali kepada Hyang,” tuturnya.
Hyang ialah keberadaan spiritual tak kasat mata yang memiliki kekuatan supranatural. Ia dapat bersifat ilahiah atau roh leluhur. Hyang kerap disamakan dengan Dewa atau Tuhan.
ADVERTISEMENT
Bagi Kang Gin-gin dan sebagian orang Sunda, hanjuang bukan sekadar pohon. Ia memiliki arti dan menjadi peranti utama dalam sajen. Ia menjadi simbol kehidupan sekaligus kematian.
Simbolisasinya dimulai dari pemilihan pot yang harus terbuat dari tanah, sebab tanah menjaga air yang menghidupi pohon.
“Bahwa sejak pertama lahir, kita sudah berjuang untuk tanah air kita,” kata Gin-gin.
Ia kemudian mengambil sesuatu dari lemari. Tujuh wadah plastik kecil yang masing-masing memiliki isi berbeda, yakni sari pati jeruk lemo, gambir, jambe atau pinang, daun saga, kapol, kapuk, dan daun sirih.
“Tujuh tumbuhan ini mencirikan sifat Tuhan yang diberikan kepada manusia,” ujarnya.
Alat musik tiup tradisional Sunda. (Foto: Nugraha Satia P/kumparan)
Sembari Kang Gin-gin berbicara, alunan musik Sunda kian menderu mendayu, wangi dupa terus mengambang pekat di ruangan. Namun, tak ada hal mistis apapun di rumah itu.
ADVERTISEMENT
Gin-gin lanjut menjelaskan apa yang ia maksud dengan 7 sifat Tuhan yang terwakili oleh 7 tumbuhan yang ada dalam wadah di hadapannya.
Tujuh sifat Tuhan yang diwariskan kepada manusia, menurut Gin-gin, ialah bicara, mendengar, melihat, hidup, berpengetahuan, berkehendak, dan berkuasa. Ketujuhnya, kata dia, ada pada tetumbuhan itu.
Dari 7 wadah, Kang Gin-gin kemudian menyingkirkan 4 dan menyisakan 3. Tiga yang tersisa itu, kata dia, merupakan inti sifat Tuhan yang dimiliki manusia.
“Kuasa dekat dengan kemuliaan, kehendak dekat dengan kasih sayang, pengetahuan dekat dengan penciptaan,” ujarnya.
Sembahyang Purnama Tilem penghayat kepercayaan. (Foto: Nugraha Satia P/kumparan)
Indonesia memiliki ragam rupa budaya warisan leluhur yang begitu kaya. Dengan lebih dari 300 etnis dan 1.300 suku bangsa yang hidup di gugusan kepulauan nusantara, keragaman dan kekayaan itu tak perlu diragukan lagi. Itulah potret mutlak keseharian bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ratusan tradisi itu berjalan seiring aneka warisan ajaran kepercayaan sejak berabad lampau. Keyakinan itu menjadi tuntunan yang masih diamalkan sebagian masyarakat negeri ini--meski, telah sekian lama para penghayat kepercayaan hidup tanpa pengakuan negara atas keyakinan yang mereka anut.
Berpuluh tahun sejak Indonesia merdeka, negara hanya mengakui keberadaan agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan belakangan Konghucu. Keenamnya dapat dipilih untuk dicantumkan pada kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Namun kepercayaan leluhur seperti Sunda Wiwitan, tak dapat tempat. Baru awal bulan ini, 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan kepercayaan dicantumkan dalam KTP--meski tindak lanjut teknisnya seperti apa masih tanda tanya.
Sejak beberapa bulan sebelumnya, Mei 2017, dalam proses persidangan permohonan kolom agama bagi penghayat kepercayaan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat merasa heran dengan ketiadaan pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan.
ADVERTISEMENT
“(Agama) yang asing (dari luar nusantara) diakui, tapi agama leluhur yang asli Indonesia kenapa tidak diakui? Indonesia dengan Ketuhanan Yang Maha Esa itu mencoba untuk menyinergikan berbagai keyakinan orang Indonesia yang religius, lalu diangkat menjadi norma atau prinsip yang disebut Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata dia.
Sebelas hari setelah putusan MK yang menyatakan kepercayaan dapat dicantumkan di KTP, Sabtu (18/11), para penghayat kepercayaan dan penganut Hindu berkumpul di situs megalitik Gunung Padang, Cianjur, guna menggelar ritual tahunan, yakni persembahyangan Purnama Tilem--semacam peribadatan untuk membersihkan jiwa dan raga.
Ginanjar Akil, penghayat Sunda Wiwitan. (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Kang Gin-gin lahir dan tinggal di Bandung. Ia hidup di lingkungan mayoritas muslim, pula mempelajari Islam.
“Ada hal yang terus menjadi pertanyaan, yaitu bagaimana saya mengenal lingkungan saya sendiri, sementara datangnya agama-agama yang dianut di Indonesia itu tidak menceritakan tempat di mana lingkungan saya berdiam,” ucap Gin-gin.
ADVERTISEMENT
Ia menegaskan, sama sekali tak menyalahkan keberadaan agama dunia yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Ini murni tentang dirinya--jalan yang mesti ia lalui dalam proses pencaritahuan akan berbagai pertanyaan yang berkecamuk di hati.
Jalan hidup manusia jelas tak sama, dan tak akan pernah bisa disamakan. Pada tahapan itu, Gin-gin berusaha melihat siapa dirinya.
Lingkungan tempat Kang Gin-gin berdiam adalah tanah Sunda, dengan Bahasa Sunda menjadi bahasa ibu yang melekat pada tuturnya. Tak cuma tutur yang terucap, melainkan nada-nada yang berbunyi dalam batin seorang Gin-gin.
Tutur dan batin itulah yang digunakan seseorang sebagai sarana untuk menjalani kehidupan. Selama hidup 50 tahun, Gin-gin telah melalui jalan berliku. Ia menyaksikan kejatuhan Soeharto tahun 1998, dan ketika itu ikut dalam gerbong kaum reformis.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Gin-gin menyerang kekuasaan yang ia anggap sebagai penganut kapitalisme. Dia melawan dengan mengusung gagasan sosialisme. Namun, menganut ideologi yang merajai diskursus macam kapitalisme dan sosialisme tak memuaskan dahaganya.
Keruntuhan rezim Orde Baru tak serta-merta menghilangkan masalah di seantero negeri. Itu sudah jelas. Gin-gin resah ketika angkara murka di tanah airnya tak jua hilang.
Ia kemudian mengubah perspektif, dan melihat ke dalam diri. Seiring itu, ia melihat terlalu banyak orang berjalan dengan angan-angan kosong, dengan ilmu yang jauh dari konteks realita yang dihadapi oleh bangsanya.
Dalam pergulatan batin itu, Gin-gin menemukan ucapan yang menggetarkan batinnya, “Eweuh kanyataan ngaleuwihan pagawéan.” Artinya: tidak ada kenyataan yang melebihi perbuatan.
Gin-gin lantas berujar, “Saya enggak bisa membohongi wujud saya dan eksistensi saya yang dilahirkan sebagai orang Sunda. (Jadi) apa yang harus saya lakukan kalau saya orang Sunda? (Apa) saya menolak anugerah diberi Bahasa Sunda, kekayaan yang begitu luar biasa--makanan, kesuburan tanah, dan sebagainya, di lingkungan saya sendiri.”
Para Penghayat Sunda Wiwitan. (Foto: Nugraha Satia/kumparan)
Sunda Wiwitan jadi jawaban atas pencarian-kembali-ke dalam diri Kang Gin-gin. Ia menjalani ajaran leluhur yang telah ada sejak zaman dahulu. Percaya nenek moyangnya melakoni berbagai ritual guna mendekatkan diri sebagai manusia, kepada Tuhan--dua entitas yang terhubung namun tak dapat berinteraksi lewat indra kasatmata.
ADVERTISEMENT
Dan tumbuhan hanjuang ialah salah satu warisan ajaran leluhur di tanah Sunda. Dengan merawat hanjuang, Gin-gin terus dihadapkan pada medium yang mengingatkannya akan kehidupan--dan kematian.
Daun hanjuang lambat laun akan berguguran, digantikan oleh daun yang baru. Air disiramkan tiap hari untuk menyambung hidup sang pohon. Proses terus-menerus ini adalah olah rasa bagi Gin-gin.
Hanjuang serta pemaknaannya adalah bentuk sastra untuknya. “Sastra itu tidak serta-merta diucapkan, tapi diminta untuk diterjemahkan dalam rasa.”
Begitu pula dengan sajen lainnya. Buah dan tanaman digunakan untuk mengiringi doa para penghayat kepercayaan. Meski sajen kerap diasumsikan sebagai tindakan memberi bagi makhluk yang tak terlihat atau leluhur yang telah tiada, namun itu bukan tujuan utama dari ritual sembahyang wajib para penghayat.
ADVERTISEMENT
Sajen tepatnya menjadi medium untuk membantu manusia menerjemahkan apa yang tak terucap menjadi ucapan, yang selanjutnya dapat menuntun perilakunya dalam keseharian.
Salah satu kelompok yang menganut Sunda Wiwitan ialah orang Baduy di Lebak, Banten. Mereka begitu teguh dalam menjaga alam. Contoh paling sederhana, tiap kali membangun rumah, orang Baduy tak pernah mengubah atau merekayasa tanah sedikit pun.
“Bagaimana kami bisa tidak kagum melihat orang yang hanya dengan pernyataan dan perbuatan yang sederhana, tapi konsisten dan tidak pernah merasa kekurangan, dibandingkan dengan orang-orang lain di kota?” kata Gin-gin.
Persiapan persembahyangan di Gunung Padang. (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Sabtu itu, 18 November, Kang Gin-gin bersama rombongannya dari Bandung bukan satu-satunya komunitas penghayat yang hadir di Gunung Padang. Di sana, berkumpul pula komunitas Bumi Segandu asal Indramayu, Hindu Bali, dan aliran Sunda Wiwitan lainnya.
ADVERTISEMENT
Ragam nama kepercayaan mereka anggap hanya sebuah predikat. Meski memiliki akar ajaran leluhur berbeda, mereka biasa menggelar upacara bersama setahun sekali itu, sekaligus sebagai ajang silaturahmi sesama penghayat kepercayaan.
“Biasanya teman-teman Kejawen dan penghayat lain dari Sumatera ikut datang. Tapi saat ini karena ada kebutuhan lain, mereka tidak hadir,” kata Gin-gin.
Sembahyang bersama para penghayat itu sudah dilakukan sejak 10 tahun lalu, 2007, dengan Gunung Padang dipilih menjadi tempat berkumpul mereka. Situs itu dipercaya menjadi tempat para leluhur bersembahyang pula.
“Kiami mau menyampaikan, kami adalah anak keturunannya dan kami juga seperti mereka. Kami adalah bangsa beradab yang menyembah kepada Yang Maha Kuasa dan berterima kasih kepada semua yang diberikan.”
Sembahyang Purnama Tilem penghayat kepercayaan. (Foto: Riddho Robby/kumparan)
Persembahyangan di Gunung Padang hanya realitas kecil dari kehidupan para penghayat kepercayaan yang tersebar di nusantara. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat terdapat 187 aliran kepercayaan yang dianut oleh 12 juta warga Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sunda Wiwitan mewakili satu dari beberapa jenis ajaran leluhur di Jawa Barat. Di Sumatera, ada Ugamo Bangsa Batak, Parmalim, dan Habonaro Do Bona yang terfokus di Medan. Sementara Jawa Tengah memiliki kepercayaan Kejawen Sapto Darmo. Dan di Nusa Tenggara Timur, sebagian warga menghayati ajaran Marapu.
Terpenting, nama-nama tersebut bahkan hanya segelintir dari 187 kepercayaan di Indonesia. Alangkah banyaknya, alangkah kayanya. Keragaman yang tak lekang meski zaman berganti, meski negeri tak merestui.
Umbu Tamu, lelaki kelahiran Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, merupakan salah satu penghayat Marapu. Aktivis lingkungan itu tinggal di ibu kota provinsi, Kupang, dan menganut Marapu secara turun-temurun seperti keluarganya, berdampingan dengan mereka pemeluk agama Kristen Katolik dan Protestan.
ADVERTISEMENT
Bagi Umbu, Marapu tak ubahnya sebuah tuntunan hidup, sebagaimana umat beragama berpegang pada kitab sucinya. “Mulai dari pernikahan, merawat tanah, air, dan Bumi, hingga kematian, semua ada tuntunannya di kepercayaan Marapu,” ujarnya, Selasa (21/11).
Marapu adalah agama yang diwariskan oleh leluhur orang Sumba. Pemeluk Marapu memiliki patung yang ditempatkan di depan rumah. Tiap kali ada tirakat, pemeluk Marapu akan memberi semacam sajian.
Marapu menaruh hormat pula pada Bumi yang dipijak. Setiap hendak membuka ladang, orang Marapu selalu mengambil sekepal tanah untuk dibawa ke patung doa. Sesekali orang Marapu juga berdoa untuk meminta hujan.
“Hubungan orang Marapu dengan alam memang sangat tinggi. Ada pengeramatan (penyucian) air, pengeramatan tanah, pengeramatan pohon. Mana pohon yang mau ditebang, mana batu yang mau dibuat rumah, mana tanah yang mau digali, ada semua,” ucap Umbu.
ADVERTISEMENT
“Konsep Marapu lengkap mencakup hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam.”
Penghayat Ugamo dan Sunda Wiwitan di MK. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)
Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan hak di kolom KTP bagi para penghayat kepercayaan, sama seperti penganut enam agama lain, terang jadi angin segar bagi Umbu, Gin-gin, dan rekan-rekan mereka.
Penghayat kepercayaan akhirnya diakui sebagai entitas yang patut dipenuhi hak sipilnya. Mereka, seperti sudah semestinya, jadi bagian resmi dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Kehidupan sosial yang harmonis, saling bergandeng dengan pemeluk agama-agama besar, kini jadi harapan. Terlebih, selama ini para penghayat kerap dianggap kafir dan sesat.
Samsul Maarif dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada menyatakan, anggapan kafir disebabkan cara pandang yang didominasi agama mayoritas dunia--agama-agama yang diakui pemerintah dan memiliki struktur serupa berupa keberadaan kitab, nabi, dan pengakuan internasional.
ADVERTISEMENT
Samsul dalam esai berjudul “Kajian Kritis Agama Lokal” yang termuat dalam buku Studi Agama di Indonesia (2015), menyarankan kepercayaan lokal dipandang sebagai bentuk kreativitas manusia.
“Asumsi dasarnya adalah setiap orang dan komunitas selalu dihadapkan dengan berbagai masalah eksistensi dan keberlanjutan hidupnya. Mereka dituntut untuk dapat mengatasi masalah agar keberlanjutan hidupnya terjamin. Pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari itu adalah media setiap orang dan komunitas dalam menempa diri, mengonstruksi gagasan dan praktik agar--sekali lagi--keberlangsungan sejarah hidup mereka terjamin.”
Sehingga, tegas Samsul, melihat kepercayaan lokal dengan kacamata pemeluk agama mayoritas dunia merupakan kesalahan fatal. Gin-gin, Umbu, dan 12 juta penghayat kepercayaan lain di Indonesia memiliki dasar pemikiran unik dalam melihat tantangan hidup mereka. Seperti pula pemeluk agama dunia memiliki pandangannya masing-masing.
ADVERTISEMENT