news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pewaris Kepercayaan Leluhur yang Tersingkir di Tanah Sendiri

23 November 2017 17:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tanah lapang bebatuan di situs megalitik Gunung Padang, Cianjur, telah dipenuhi sajen. Tumpeng, sayur-mayur, dan makanan lain mengitari bendera Merah Putih di area yang menjadi pusat dilangsungkannya upacara Purnama Tilem--peribadatan untuk membersihkan jiwa dan raga. Alat musik tarawangsa khas Sunda ditempatkan di samping panggung berisi sesajen.
ADVERTISEMENT
Asep Setia Pujanegara bersantai sejenak di bebatuan. Sedari pagi, lelaki asal Bandung itu sibuk mengurus rombongan penghayat kepercayaan yang menghadiri sembahyang Purnama Tilem, ritual setahun sekali mereka. Asep sendiri adalah penghayat kepercayaan Budi Daya, bagian dari Sunda Wiwitan.
Persembahyangan di Gunung Padang itu digelar 11 hari setelah hari bersejarah bagi Asep--dan seluruh penghayat kepercayaan nusantara.
Jumat 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang diajukan 4 penghayat dari 4 kepercayaan berbeda. Mereka menggugat kolom agama di KTP yang tak mengakomodasi kepercayaan leluhur.
Asep langsung teringat peristiwa 16 tahun lalu, tepatnya tahun 2001. Saat itu, ia dibenturkan pada masalah administrasi kependudukan akibat kepercayaan yang ia anut.
ADVERTISEMENT
“Ini perjuangan panjang penghayat kepercayaan yang mengalami diskriminasi di negeri sendiri,” ucap Asep kepada kumparan, Sabtu (18/11). Ia lantas menggambarkan kehidupan para penghayat yang terusir di tanah sendiri.
Apapun, diskriminasi adalah lagu lama yang terus dialami para penghayat sejak zaman penjajahan. Ini kelanjutan politik identitas pemerintah kolonial Belanda yang mempertentangkan agama arus utama seperti Islam dan Nasrani, dengan adat.
Menjengkelkan, memang. Terlebih, jejak politik devide et impera itu bertahan hingga musim berganti berpuluh tahun sesudahnya.
Setelah Indonesia merdeka, penganut ajaran leluhur disebut kaum kebatinan. Istilah itu kemudian berganti menjadi aliran kepercayaan. Aliran kepercayaan tumbuh selama Orde Baru berkuasa.
Namun, Asep dan para penghayat kepercayaan tidak menerima sebutan “aliran kepercayaan” itu. Mereka menganggap, sebutan aliran kepercayaan mendiskreditkan kandungan ajaran-ajaran lokal yang mereka anut, menjadi sekadar “sempalan” dari agama-agama yang diakui pemerintah.
ADVERTISEMENT
Asep dan rekan-rekannya lebih memilih disebut “penghayat kepercayaan”.
Sembahyang Purnama Tilem penghayat kepercayaan. (Foto: Nugraha Satia P/kumparan)
“Penghayat kepercayaan itu menerapkan nilai-nilai di daerahnya, menganut Ketuhanan Yang Maha Esa. Hanya kebetulan, identitas kami suku Sunda. Ajaran-ajaran yang kami gali dari budaya leluhur Sunda. Penghayat orang Jawa begitu, orang Bali begitu. Jadi tidak menghilangkan identitas sebuah suku bangsa,” kata Asep.
Tapi yang terjadi kemudian, cara pandang penghayat kepercayaan yang semacam itu kerap menjadi sumber masalah dan diskriminasi tiada henti. Mereka sering dianggap syirik. Juga kaum penyembah berhala.
Asep sudah kenyang didiskriminasi. Ia sampai pada titik tak bisa berdiam diri. Ia berpikir, “Mana mungkin ia bisa dipaksa menjadi orang lain dan mengkhianati jati diri sebagai Sunda Wiwitan yang telah diturunkan kepadanya?”
ADVERTISEMENT
Penolakan pencatatan sipil terhadap pernikahannya pun ia lawan. Ia menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Asep menang, dan pemerintah naik banding. Namun, Asep selalu menang bahkan hingga level Mahkamah Agung.
Perlu enam tahun hingga 2006 untuk menyelesaikan perkara ini. Pernikahan Asep akhirnya bisa tercatat di catatan sipil. Enam tahun baru tercatat karena ia, orang Sunda asli penduduk Bandung itu, berstatus penghayat kepercayaan! Sial betul.
Para Penghayat Ajaran Leluhur (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Tahun 2006, lahir UU Administrasi Kependudukan. UU ini mengatur sistem kependudukan yang salah satu bagiannya adalah agama--tentu saja enam agama yang diakui negara.
UU tersebut kemudian digugat pada 2016 ke Mahkamah Konstitusi. Empat penghayat kepercayaan yang maju ke MK adalah Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 UU Administrasi Kependudukan tentang kolom agama dalam dokumen administrasi kependudukan.
ADVERTISEMENT
Carlim sebagai penganut ajaran Sapto Darmo, salah satu aliran kejawen, menceritakan pengalamannya ketika menerima diskriminasi lantaran kolom agama pada KTP-nya kosong. Lelaki asal Jawa Tengah itu tak pelak memperoleh stigma sosial.
“Saya dianggap orang yang sesat, tidak beragama, tidak berketuhanan karena kolom agama kosong,” kata Carlim, yang dikutip dari risalah sidang MK.
Diskriminasi mendapat sorotan khusus dari para hakim konstitusi. Arief Hidayat tak habis pikir dengan ketiadaan pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan.
“(Agama) yang asing (dari luar nusantara) diakui, tapi agama leluhur yang asli Indonesia kenapa tidak diakui? Indonesia dengan Ketuhanan Yang Maha Esa itu mencoba untuk menyinergikan berbagai keyakinan orang Indonesia yang religius, lalu diangkat menjadi norma atau prinsip yang disebut Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata dia dalam sidang bulan Mei 2017.
ADVERTISEMENT
Bahkan hingga MK mengabulkan gugatan para penghayat, memutuskan kepercayaan dapat masuk kolom KTP, stigma terhadap penghayat tak juga berhenti. Tak sedikit yang menganggap penghayat kepercayaan beda “kelas” dengan umat beragama. Tak bisa disetarakan.
Pro-kontra masih berlangsung hingga kini. Setidaknya, hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan beragama tak sesederhana kolom agama di KTP. Perlu cara pandang bijak untuk menjembatani semua pihak, dan untuk tak kembali menyudutkan mereka yang selama ini tersingkir karena teguh menganut kepercayaan.
“Sangat tidak adil melihat keyakinan orang lain lewat kacamata kepercayaannya sendiri,” tegas Asep.
Bagaimanapun, masing-masing manusia memiliki kepala dengan isi berbeda, dan mata dengan perspektif beragam. Menghakimi orang lain hanya dengan isi kepalanya, atau kelompoknya sendiri, tentu amat tak bijak.
Para Penghayat Sunda Wiwitan. (Foto: Nugraha Satia/kumparan)
Sepahit apa sesungguhnya hidup penghayat kepercayaan di nusantara? “Mulai dari lahir, mau sekolah, kawin, bahkan saat meninggal, mau dikubur saja susah,” ucap Asep.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, banyak anak penghayat kepercayaan yang dipaksa belajar agama yang tidak mereka yakini. Mereka dipaksa menganut sesuatu yang tidak berasal dari hati mereka.
Ruang berkumpul para penghayat kepercayaan pun dibatasi oleh aturan ketat dan stigma di masyarakat, sehingga mereka kesulitan untuk mengekspresikan kepercayaannya sebagai perwujudan jati dirinya.
“Kami yang memiliki kecintaan tanah air, mewarisi ajaran leluhur nusantara, kok tidak bisa hidup di negeri sendiri?” ujar Asep.
Apakah putusan MK akan mengubah itu semua? Asep masih cemas menanti.