Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengapa Ide PSI Mengenai 'Barisan Nasional' Pasti Akan Gagal di Indonesia
5 April 2024 9:29 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ardra Sutardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rencana pembangunan koalisi permanen oleh beberapa anggota Koalisi Indonesia Maju memperlihatkan usulan masa depan potensial Presiden Joko Widodo yang tidak mungkin sebab sistem presidensialisme dan politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selama 10 tahun, Presiden Joko Widodo telah berperan sebagai tokoh sentral politik Indonesia. Akan tetapi, dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi, mulai muncul diskusi mengenai masa depan sebuah mantan presiden yang kepentingannya hanya dapat didasarkan dari identitasnya sebagai presiden yang populer.
Alhasil, mulai muncul desas-desus mengenai perannya pada masa kepresidenan berikutnya, dari mengambil kepemimpinan pada Dewan Pertimbangan Presiden, dan menjadi ketua umum Partai Golkar menjadi beberapa rumor yang muncul di dalam ranah publik.
Salah satu ide yang dikemukakan oleh beberapa anggota koalisi presiden penerusnya adalah dengan menjadikan Presiden Jokowi sebagai ketua dari koalisi partai-partai pemerintah, serupa dengan apa yang sudah dilaksanakan di Malaysia.
Awal Gagasan Koalisi Permanen ala Malaysia
Ide yang digagas oleh Partai Solidaritas Indonesia, khususnya Jeffrie Geovanie sebagai Ketua Dewan Pembina PSI, menyatakan bahwa mereka menginginkan Jokowi sebagai ketua koalisi partai-partai yang mendukung visi misi Indonesia Emas 2045, serupa dengan Malaysia melalui keberadaan koalisi ‘Barisan Nasional’, atau dalam omongannya, “Barisan Rakyat”.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkapkan bahwa mereka menginginkan dibentuknya sebuah koalisi partai politik yang bersifat permanen dan saling terhubung dari level pusat ke daerah. Keinginan Jeffrie Geovanie ini bersifat idealistis sebab ia mengungkapkan bahwa tujuannya adalah untuk menghilangkan politik transaksional dan pemilihan kandidat melalui konvensi sehingga dapat menghasilkan demokrasi kepartaian.
Keinginan PSI ini bahkan diperkuat oleh berbagai omongan yang muncul belakangan ini, khususnya saat dikaitkan dengan agenda kandidasi para calon pada pilkada November nanti. Menurut Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno, Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu ada bukan hanya sebagai koalisi permanen di DPR, tetapi juga sebagai koalisi yang saling bekerja sama di daerah-daerah.
Akan tetapi, ia mengakui bahwa KIM tidak akan mampu bekerja sama dengan satu sama lainnya dengan konkret pada setiap daerah, tetapi ia mengakui bahwa pilihan kandidat dan partai koalisi akan mementingkan serta akan adanya diskusi bersama melalui KIM.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Eddy Soeparno, khususnya mengenai koalisi permanen di DPR dan koordinasi di pilkada antar anggota koalisi membuktikan bahwa adanya realisasi dari ide pembangunan suatu koalisi serupa “Barisan Nasional” yang sudah dilaksanakan di Malaysia.
Kemustahilan Sistem 'Barisan Nasional' di Indonesia
Namun, perlu dipahami bahwa keinginan PSI dan Jeffrie Geovanie ini jika dipraktikkan di dalam politik Indonesia akan bersifat mustahil dan nihil. Pemahaman ini dapat diperlihatkan melalui realitas sistem politik di Indonesia jika dibandingkan dengan sistem yang diimplementasikan di Malaysia.
Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut sistem presidensialisme, ambisi politik melemahkan insentif untuk bekerja sama. Hal ini disebabkan karena dalam sistem presidensialisme, politik didorong oleh keberadaan konsep zero sum game, atau pemahaman di mana hanya satu pihak yang akan memiliki keuntungan dan yang lain kerugian.
ADVERTISEMENT
Penyebab utama dari hal ini adalah karena di dalam presidensialisme, kekuasaan utama di negara ada di tangan presiden yang hanya ada satu, sehingga aktor-aktor politik pasti akan berkonflik demi mendapatkan satu posisi tersebut.
Politik Indonesia kontras dengan Malaysia yang menganut sistem parlementer, di mana insentif untuk bekerja sama antar lawan politik itu tinggi demi mencapai kekuasaan. Berbeda dengan presidensialisme, sistem parlementer mendorong positive sum game, atau di mana semua pihak mendapatkan keuntungan.
Jika diaplikasikan ke dalam pemahaman politik parlementer maka dapat dipahami bahwa dalam sistem ini, kekuasaan utama ada di tangan parlemen yang memiliki banyak anggota dari banyak partai politik. Alhasil, untuk mencapai kekuasaan tersebut maka partai-partai perlu bekerja sama satu dengan yang lainnya demi mendapatkan kekuasaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Perbedaan sistem politik kedua negara tersebut menghasilkan realitas politik yang berbeda. Bagi Indonesia, kompetisi dan ambisi untuk mengambil posisi presiden meniadakan keinginan permanen untuk bekerja sama, melainkan Malaysia mendorong insentif bekerja sama sebab keinginan untuk berkuasa melalui mayoritas dalam parlemen.
Alhasil, biasanya koalisi partai politik di Indonesia bersifat sementara demi hanya mendapatkan suara dan kursi kekuasaan yang hanya bersifat jangka pendek, melainkan di Malaysia bersifat permanen sebab tidak hanya memerlukan kursi, tetapi juga suara dari partai-partai yang memiliki sifat ideologis serupa demi dapat bertahan dalam kekuasaan.
Cairnya kepentingan partai politik melemahkan kondisi adanya suatu koalisi permanen dapat muncul di Indonesia. Bagi mereka, koalisi hanya ada untuk menjaga dan meningkatkan suara pilih mereka dengan tujuan untuk mempertahankan pengaruh mereka dalam proses kepemimpinan negara.
ADVERTISEMENT
Nominasi calon presiden hanya ada untuk dimanfaatkan oleh partai yang dia merupakan anggotanya, atau ada untuk memberikan pengaruh pada perolehan suara pemilihan kepada partai politik yang mengusungnya. Alhasil, transaksi politik ini hanya bersifat jangka pendek.
Realitas Politik Indonesia
Pemahaman ini terlihat secara riil di proses politik Indonesia sekarang. Keberadaan berbagai koalisi pada pilpres 2024 memperlihatkan bagaimana suatu koalisi yang seharusnya kuat melalui pembuatan pemerintah Presiden Jokowi yang merangkul semuanya secara permanen, tetapi memperlihatkan sebenarnya bagaimana dalam politik Indonesia tidak akan ada suatu formula politik yang permanen.
Setiap partai dan aktor politik akan memiliki kepentingan sendiri dengan ambisinya masing-masing, terlihat dari banyaknya partai yang keluar dari Koalisi Pemerintah Presiden Jokowi demi membuat koalisi dan mendukung calonnya sendiri yang bahkan beroposisi terhadap kebijakan presiden, seperti Nasdem dan PKB yang bekerja sama dengan PKS melalui pembuatan Koalisi Perubahan dengan mengusung Anies Baswedan, seorang tokoh oposisi. Hal ini memperlihatkan bahwa politik Indonesia itu dinamis dan mempersulit keinginan untuk membuat koalisi permanen mungkin.
ADVERTISEMENT
Di daerah pula hal ini lebih dinamis, bahkan realitas ini sudah dilihat oleh pernyataan Eddy Soeparno sebelumnya, yaitu keinginan selaras untuk suatu koalisi bekerja sama dengan terkoordinasi, melainkan setiap daerah akan memiliki kepentingan yang berbeda, termasuk politik.
Alhasil, suatu koalisi politik yang memiliki basis dukungan, ideologi, dan bahkan tokoh-tokoh yang berbeda dan saling unik tidak mampu untuk kerja sama dalam politik daerah Indonesia. Setiap daerah Indonesia memiliki identitasnya yang unik dengan otonomi masing-masing, termasuk dalam politik, maka keinginan untuk membangun koalisi permanen dalam era desentralisasi dan otonomi daerah pasti tidak akan bisa dilaksanakan.
Pada akhirnya, tanpa adanya suatu tujuan permanen dan sistematis yang memerlukan adanya pembentukan suatu koalisi permanen, maka ide dari Jeffrie Geovanie dan berbagai anggota lain dari Koalisi Indonesia Maju akan sulit untuk dikabulkan. Sistem presidensialisme yang mementingkan kompetisi dan satu pemenang menghilangkan kesempatan bagi kerja sama yang efektif.
ADVERTISEMENT
Perihal ini tidak dibantu oleh fakta bahwa sistem politik Indonesia yang mementingkan kepentingan jangka pendek dan keperluan masing-masing partai menghilangkan inisiatif permanen dari para tokoh pemimpinnya untuk keberadaan terjalinnya suatu hubungan politik yang permanen.