Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kita Dukung Visi-Misi Capres yang Berani Janjikan Cuti Melahirkan buat Ayah
10 November 2023 13:57 WIB
·
waktu baca 10 menitADVERTISEMENT
Setelah resmi jadi bapak awal tahun ini, saya berjanji pada diri sendiri agar berupaya sesering mungkin menemani anak. Harapan itu ternyata tercapai, dengan bonus amat berlimpah. Saya mendapat privilege menjadi bapak rumah tangga penuh waktu. Setiap hari saya bisa melihat perkembangan si buah hati, dari saat dia pertama kali bisa tengkurap, sampai akhirnya mulai tumbuh gigi. Bisa sering-sering melihat anak tersenyum selalu sukses membuat rasa lelah dan lesu hilang. Seriusan. Kedekatan macam ini rupanya kemewahan yang ternyata tidak banyak dimiliki lelaki lain di Indonesia. Atau, yang lebih buruk, belum disadari sebagai kemewahan.
ADVERTISEMENT
Faktor yang mendorong saya serius memprioritaskan anak, adalah saat tahun lalu membaca hasil riset mengenai dampak buruk ketiadaan sosok ayah. Problem ini ramai dijuluki fenomena fatherless . Bahkan sempat ramai pemberitaan oleh media massa yang menyebut Indonesia sebagai negara dengan jumlah anak fatherless ketiga di dunia (perlu digarisbawahi, klaim ini tidak bisa saya temukan sumber risetnya yang valid, jadi anggap saja semi-hoaks).
Meskipun klaim itu bombastis dan sangat mungkin misleading, kita harus mengakui ada banyak lelaki di Tanah Air sepenuhnya menyerahkan pengasuhan anak ke istri. Alasannya macam-macam. Sibuk mencari nafkah lah, sudah lelah seharian bekerja lah, merasa pengasuhan anak adalah tugas perempuan semata lah, dan banyak lagi dalih lainnya.
Lazimnya, sih lelaki yang membebankan pengasuhan anak ke istri sudah pasti ngeselin saat berperan sebagai kepala keluarga. Tetek bengek rumah otomatis dibebankan pula ke istri. Tak cuma capek ngurus anak, banyak ibu rumah tangga capek hati mengurus bayi gede yang sebenarnya suaminya sendiri. Lihat saja contohnya dalam konten yang viral di TikTok awal November 2023, menganjurkan para lelaki memilih istri pandai memasak. Alasannya? Karena istrinya dianggap cuma bisa memasak menu itu-itu saja dari biaya belanja per bulan yang dia patok (Rp350 ribu). Konten macam itu menunjukkan bila kebodohan memang tidak ada batasnya.
ADVERTISEMENT
Makanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berulang kali menyerukan perlunya para ayah lebih terlibat pengasuhan anak. Komisioner KPAI Retno Listyarti pada 2021 lalu menyebut ketidakhadiran sosok ayah secara fisik maupun psikologis, terutama sepanjang periode emas anak di usia 7-14 tahun dan 8-15 tahun, bakal berdampak besar pada masa depan si anak. Absennya sosok ayah sering dijuluki fenomena fatherless , yang ditengarai dapat mendorong anak cenderung menutup diri dari pergaulan, serta memperbesar kemungkinan depresi.
“Di Indonesia, fenomena fatherless ini sebenarnya cukup besar jumlahnya, hanya saja tidak terlihat secara kasat mata, dampak fatherless bagi anak-anak yang bersekolah antara lain sulit konsentrasi, motivasi belajar yang rendah, dan rentan terkena drop out,” ujar Retno.
Pernyataan Retno bikin bergidik, apalagi banyak pejabat masih berkoar-koar anak-anak generasi Alpha adalah agen kejayaan pada 2045, sesuai jargon muluk Indonesia Emas. Boro-boro jadi generasi emas bonus demografi. Katakanlah 15 persen saja dari populasi anak ini kelak enggak kena peer pressure jadi anggota geng motor, ikut tawuran, atau kecanduan judi online karena tak punya figur ayah yang bisa jadi panutan, itu sudah oke banget.
ADVERTISEMENT
Kondisi di Tanah Air tersebut membuat saya berefleksi terhadap privilege yang saya miliki. Saya ayah muda yang sekarang dapat meluangkan banyak waktu mengurus anak karena bermukim di Finlandia. Di negara ini, lelaki yang memilih jadi bapak rumah tangga mendapat dukungan dan diberi bermacam insentif oleh pemerintah pusat maupun kota.
Ketika kembali ke Tanah Air, saya membayangkan bakal sangat bahagia bila pemerintah menyediakan insentif kebijakan mendukung lelaki seperti saya. Tidak harus mendukung para lelaki jadi bapak rumah tangga full-time, tapi setidaknya bisa lebih leluasa hadir untuk jadi ayah bagi anak-anaknya. Jangan lupa juga, di Indonesia juga banyak kan lelaki yang jadi orang tua tunggal. Mereka demografi yang sering terpinggirkan saat pejabat bicara kebijakan yang ndakik-ndakik soal bantuan untuk keluarga.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya saya terkejut, ketika iseng membaca berita soal visi-misi pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2024. Tiba-tiba saja mencuat janji paslon yang menyinggung cuti melahirkan untuk ayah. Widih, sudah selesai ya ternyata debat tak bermutu cebong-kadrun dalam perpolitikan Indonesia.
Saya segera baca bolak-balik visi misi pasangan Ganjar-Mahfud sebanyak 33 halaman, visi misi pasangan Anies-Muhaimin yang mencapai 143 halaman, dan visi misi pasangan Prabowo-Gibran yang berisi 88 halaman. Takutnya saya salah baca gitu. Sekilas, topik-topik keluarga tidak jadi kata kunci utama yang muncul berulang-ulang dalam dokumen para paslon. Isu yang lebih dominan adalah “ekonomi”, “digitalisasi”, “hilirisasi”, “korupsi”, “pembangunan”, atau “keadilan”. Tapi setelah membaca detail, ternyata betulan ada lho janji soal cuti melahirkan buat ayah.
ADVERTISEMENT
Dua paslon, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD, spesifik menjanjikannya. Sementara Prabowo-Gibran tidak menyentuh perkara cuti melahirkan untuk para bapak. Kubu Prabowo lebih banyak membahas bantuan sosial untuk keluarga miskin, pencegahan stunting, serta tentu saja yang paling banyak menyita perhatian, rencana pemberian makan siang gratis bagi setiap pelajar di Indonesia demi memastikan mereka tidak kekurangan gizi.
Kembali ke isu cuti melahirkan, dalam dokumen Anies-Muhaimin, di bagian visi keenam ada poin spesifik menyebut seperti ini: “memberikan perhatian penuh dan bantuan kepada ibu hamil, memastikan implementasi cuti hamil dan melahirkan untuk ibu, disertai dengan menghadirkan cuti bagi ayah.”
Sementara di dokumen visi-misi Ganjar-Mahfud, poin 1.5.1 sedikit lebih spesifik. Meski banderolnya adalah visi agar “perempuan maju”, namun dalam dokumen tersebut tim Ganjar-Mahfud menjanjikan “menambah cuti melahirkan bagi ibu dan ayah, dengan upah dan tunjangan tetap 100%.” Selain soal cuti melahirkan, tim Ganjar menyebut bahwa pemerintahan kader PDIP itu kelak akan menyediakan “jaminan kesetaraan kepada perempuan maupun laki-laki untuk menjalankan peran pengasuhan dalam keluarga.”
Apakah artinya Ganjar-Mahfud mendukung adanya lelaki yang jadi bapak rumah tangga? Mungkin, tapi masih mengambang. Skala prioritasnya menjadi kebijakan konkret juga kecil sekali. Itu cuma seuprit poin yang lebih terasa seperti buih, dibanding belasan halaman soal ekonomi hijau, hilirisasi, dan digitalisasi yang jadi mantra utama visi kampanye Ganjar-Mahfud. Bahkan saya tidak kaget kalau Ganjar bingung kapan pernah berjanji seperti itu, karena yang nulis visi-misinya pasti keroyokan.
ADVERTISEMENT
Sebagian pembaca mungkin berseloroh, “lah, ngapain ente percaya sama dokumen visi-misi capres? Emang visi-misi yang sebelumnya dipakai?”
Memang, sih. Sepenuhnya mempercayai isi dokumen visi-misi capres yang mereka serahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah tindakan naif. Tapi menurut saya, visi-misi masih bisa menggambarkan karakter kebijakan seorang politikus. Kita mesti ingat, Presiden Jokowi sebelum terpilih, berjanji memprioritaskan pembangunan infrastruktur serta tidak lagi “memunggungi laut”. Visi-misi itu nyatanya tetap tercermin dalam kebijakan yang dia buat. Indonesia nyaris satu dekade terakhir membangun jalan tol gila-gilaan, dan memugar infrastruktur berbagai pelabuhan seantero Indonesia. Kita bisa terus berdebat soal manfaatnya, namun setidaknya, ada sebagian visi-misi Jokowi versi 2014 yang harus diakui terbukti.
Karenanya, otomatis mengabaikan visi-misi capres hanya karena itu jualan kecap bukan tindakan taktis bagi para pemilih. Anda boleh menganggap 90 persen janji mereka di dokumen tersebut omong kosong, namun 10 persen di antaranya bisa menjadi panduan meneroka perilaku mereka andai diberi mandat oleh rakyat, bahkan jadi amunisi untuk kita menagih janji mereka.
ADVERTISEMENT
Jujur saja, mengharapkan seluruh paslon spesifik menyediakan janji kampanye khusus ke segmen bapak rumah tangga seperti saya pastinya rada maksa. Tapi saya pikir, menggulirkan wacana cuti melahirkan bagi ayah adalah isu yang sepatutnya serius lebih sering didorong oleh tim ahli ketiga capres. Sebab, kalau kita bicara lagi soal fenomena fatherless yang seram itu, maka perlu insentif agar kedua orang tua mau berpartisipasi dalam proses tumbuh kembang anak.
Saya pribadi sudah gembira isu cuti melahirkan untuk ayah mulai disinggung oleh dua dari tiga paslon. Cuti melahirkan yang setara tanpa memandang gender merupakan gestur positif, apalagi dari pengambil kebijakan, untuk mendorong ayah meluangkan waktu lebih banyak mendampingi anak. Tidak usah deh sampai berbulan-bulan, minimal beberapa hari setelah istri melahirkan. Berat lho jadi ibu setelah melahirkan, tuh. Ada risiko depresi, merasa tidak diperhatikan, kecapekan, pusing kalau ASI tidak keluar, belum lagi baby blues. Bayangkan suami tidak bisa rutin menemani di kurun seminggu awal perempuan jadi ibu, karena sibuk kerja melulu. Berat sekali pastinya.
ADVERTISEMENT
Ini isu yang juga relevan lintas kelas sosial. Mau Anda buruh pabrik, ataupun karyawan kerah putih startup atau firma keuangan di SCBD, selama status Anda adalah ayah, hak cuti supaya Anda bisa menemani anak lebih lama setelah lahir bakal menguntungkan. Setiap lelaki yang ingin menjadi ayah ideal pasti mendukungnya. Kayaknya cuma lelaki kardus sih yang anti banget sama hak cuti melahirkan yang setara untuk ayah.
Kita tahu, realitasnya di Indonesia, banyak suami yang bahkan tidak menemani istri di ruang persalinan. Sehari setelah sang buah hati lahir, para suami ini harus bergegas kembali bekerja. Seringnya bukan karena tidak mau meluangkan waktu, tapi sangat mungkin lantaran tidak mendapat izin cuti. Bahkan, sangat mungkin mengajukan permohonan cuti melahirkan sebagai ayah saja berpotensi ditertawakan rekan kerja lain.
Boro-boro kita bicara hak cuti suami, perempuan yang hendak melahirkan saja masih harus sering berakrobat memanfaatkan jatah cuti tiga bulan yang jadi hak mereka di Tanah Air. Baru juga mulai cuti menjelang persalinan, kadang ada yang sudah langsung diteror telepon oleh kantor untuk membantu kerjaan kolega. Banyak pula kasus buruh yang dipaksa mundur secara halus oleh perusahaan ketika hamil. Artinya, ketegasan regulator memastikan semua pekerja perempuan mendapat hak cuti melahirkan tiga bulan masih jauh panggang dari api (dan seharusnya jadi perhatian semua politikus yang masih waras).
ADVERTISEMENT
Kalau berkaca pada Finlandia, tempat saya bermukim sekarang, rasanya iri sekali. Finlandia sangat peduli dengan persoalan cuti bagi ayah setelah punya anak. Negara Nordik ini mewajibkan setiap perusahaan memberi skema cuti melahirkan yang sangat berlimpah, termasuk cuti melahirkan berbayar selama delapan minggu, cuti melahirkan berbayar selama 14 bulan yang bisa dibagi setara untuk kedua orang tua, serta tambahan cuti pengasuhan anak yang tersedia hingga seorang anak berusia tiga tahun. Ingat, hak ini setara. Lelaki dan perempuan jatah cuti melahirkannya sama.
Menariknya, semua parpol di Finlandia punya janji kampanye spesifik mendorong para ayah meluangkan waktu ikut merawat anak. Lihat misalnya Partai Koalisi Nasional Finlandia alias Kokoomus. Partai berhaluan konservatif yang menang pemilu pada April lalu, dalam dokumen visi-misinya, menyediakan poin khusus menjanjikan bermacam insentif spesifik termasuk jaminan kemudahan cuti untuk ayah yang ingin mendampingi anaknya di rumah. Bahkan bahkan yang cenderung mentok kanan bahkan cenderung rasis seperti Partai Finns, bikin kampanye kebijakan khusus mengenai penguatan institusi keluarga, serta bantuan khusus untuk anak dari keluarga yang kedua ortunya sama-sama bekerja.
ADVERTISEMENT
Biar apa sih politikus Finlandia mendukung cuti berlimpah seperti ini? Ya supaya kedua orang tua, tak peduli kelas sosialnya, bisa mendampingi anak tanpa khawatir kehilangan penghasilan. Ortu yang bisa tenang mendampingi anak di masa-masa awal kelahiran, menurut riset justru makin produktif setelah kembali bekerja. Hal itu tentu menguntungkan bagi perekonomian Finlandia dalam jangka panjang. Merujuk pernyataan mantan menteri sosial dan kesehatan Finlandia, Aino-Kaisa Pekonen, “jatah cuti melahirkan yang setara antara istri dan suami adalah upaya pemerintah berinvestasi pada masa depan dan kesejahteraan setiap keluarga di Finlandia.”
Indonesia tentu masih jauh dari kemungkinan meniru Finlandia. Wacana cuti hamil+melahirkan enam bulan untuk pekerja perempuan, yang sudah masuk Rancangan Undang-Undang Ibu dan Anak (RUU KIA), sampai sekarang masih mandek di DPR. Sayangnya hak cuti masih sering dipandang sebagai kerugian semata bagi pengusaha, bukan elemen yang dapat menjadi pondasi kesejahteraan secara umum.
ADVERTISEMENT
Kalaupun hak cuti untuk ayah belum bisa diwujudkan paslon yang kelak terpilih, setidaknya para lelaki di Tanah Air harus bersolidaritas mendorong RUU KIA segera disahkan, agar para perempuan bisa mendapat cuti enam bulan saat persalinan. Vietnam aja berani memberi cuti melahirkan enam bulan, masa kita kalah, padahal Indonesia yang masuk G20, hehehe….
Makanya saya pun berharap, semoga Prabowo-Gibran juga nanti mulai meniru lawannya dalam perkara cuti melahirkan bagi ayah. Meski kemungkinan diadopsinya kecil, saya pikir Prabowo tidak akan rugi jika menyontek kebijakan soal hak cuti melahirkan para bapak. Ini kebijakan yang tepat untuk menggaet simpati pemilih yang peduli isu keluarga.
Apalagi Gibran, sebagai cawapresnya, adalah simbol betapa akurat lagu tema sinetron Keluarga Cemara: bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga. Karena keluarga begitu penting, tidak heran etika politik boleh diterabas, supaya anak atau kemenakan bisa melaju karier politiknya di tingkat nasional. Tak peduli sang paman akhirnya harus diberhentikan dari jabatannya karena terbukti melanggar etik. Ehem.
ADVERTISEMENT