Konten dari Pengguna

Geger di Lampu Merah: Ketika Orang Makassar Pertama Kali Ke Jogja

Ari Reski Sashari
Founder SosialNalar, Magister Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pengamat Sosial yang Peka pada Suara Rakyat
15 Agustus 2024 10:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ari Reski Sashari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Lampu Merah Malioboro (Foto: dok.pribadi Ari Reski Sashari)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Lampu Merah Malioboro (Foto: dok.pribadi Ari Reski Sashari)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertama kali saya menginjakkan kaki di Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan S2, saya langsung terpesona dengan suasana kota yang tertata rapi, kusir andong berjejer manis di Malioboro, dan tentunya, ketenangan yang terasa di setiap sudut. Istimewa? Jelas. Di Makassar? Andong sudah lama jadi mitos.
ADVERTISEMENT
Saking penasarannya, saya langsung menyapa seorang kusir bernama Pak Waluyo. "Pak, kalau saya naik andong sambil bawa koper, bisa kan ke titik nol?" tanya saya dengan semangat turis.
"Ngiih, mas! Boleh banget, andong ini biasa angkut barang sama penumpang, kok," jawabnya sambil tersenyum, seolah mengisyaratkan bahwa koper saya bakal jadi penumpang VIP.
Setelah tiba di titik nol, saya sibuk mengabadikan momen, sambil menunggu teman saya, Mas Hanif, yang asli Jogja. Nah, ini pertama kalinya saya ketemu langsung, biasanya cuma ngobrol di grup WhatsApp mahasiswa baru. Mas Hanif datang, dan karena bawaannya banyak, saya tawarkan diri untuk nyetir motor.
"Mas, biar saya aja yang nyetir, koper ini bisa saya tahan pakai kaki," kata saya sok pahlawan. Mas Hanif setuju, tapi sambil bilang, "Oke deh, saya juga sambil bales chat ibu."
ADVERTISEMENT
Perjalanan dimulai, dan karena kebiasaan di Makassar, saya dengan santai membunyikan klakson beberapa kali. Reaksi? Semua mata tertuju pada kami, seolah saya baru saja memimpin konvoi presiden. Dalam hati, saya bertanya-tanya, "Ini kenapa semua orang ngeliatin, ya?" Dengan penuh percaya diri, saya membalas tatapan mereka dengan membunyikan klakson lagi. Eh, mereka malah makin heboh! Akhirnya, saya putuskan untuk menutup kaca helm, biar nggak ketahuan siapa biang keroknya.
Saya tanya Mas Hanif, "Mas, kok orang-orang pada ngeliatin kita terus dari tadi? Apa karena barang kita banyak jadi norak?"
Mas Hanif ketawa sambil bilang, "Bukan karena norak, mas. Di Jogja jarang banget denger suara klakson. Kamu klakson terus, mereka pikir kamu iseng atau lagi cari perhatian. Di sini, kalau klakson pas macet itu dianggap nggak sopan, bro!"
ADVERTISEMENT
Wah, saya baru sadar, ternyata Jogja beda banget sama Makassar yang tiada hari tanpa konser klakson. Di Jogja, klakson seolah jadi alat kuno yang hampir punah. Ini jelas pengalaman "culture shock" pertama saya. Masyarakat Jogja lebih memilih sabar dan tenang di jalan, sesuatu yang mungkin terdengar seperti dongeng di Makassar.
Kesabaran Setipis Tisu
Ilustrasi: Seseorang yang tidak dapat mengendalikan emosinya bisa berujung pada penyesalan (foto: kumparan.com)
Balik ke Makassar, suasana lalu lintasnya kayak turnamen Byon Combat, versi jalanan. Di Jalan Dg. Tata, adu otot dan klakson adalah hiburan harian. Kalau mau nonton drama gratis, tinggal duduk manis di sana pas jam sibuk.
Suatu hari, saya ngobrol dengan Pak Ogah lokal yang biasa ngatur lalu lintas seenaknya. "Daeng Aswan, kenapa di sini tiap hari macet?"
ADVERTISEMENT
Dia jawab sambil nyengir, "Gimana nggak macet, ini jalan pintas dari Pettarani, semua pengendara pada nyungsep ke got karena jalanan sempit. Kalau senggolan dikit, pasti ada yang berantem, kadang berantemnya lebih lama dari macetnya!"
Di sini, motor nyungsep ke got udah kayak ritual harian. Warga Makassar memang terkenal dengan "Pa' bambangang na tolo" alias emosional dan bodoh cepat marah tanpa mikir panjang.
Gemuruh Klakson dan Kegaduhan Lalu Lintas
Ilustrasi: Di tengah kemacetan acap kali membuat badd mood sepanjang hari (foto: kumparan.com)
Pulang kerja, tepat jam 4 sore, Makassar kembali mempersembahkan konser klakson terbesarnya. Di tengah penatnya hari dan pikiran tentang gaji UMR yang bakal dipotong Tapera, suara klakson menggema tanpa henti di telinga, seolah jadi paduan suara yang mengiringi kemacetan. Tak lama, teriakan khas bahasa Makassar menyusul, "Sundala kongkong!" (perempuan jalang anjing), keluar dari mulut seorang pria berbadan besar yang sudah naik pitam.
ADVERTISEMENT
"Woi, minggir ko, sundala kongkong!" teriaknya dengan wajah memerah, membuat situasi semakin tegang.
Dalam hati, rasa rindu akan ketenangan Jogja tiba-tiba menyergap. Di sana, klakson adalah bahasa alien yang jarang terdengar, dan orang lebih memilih tersenyum daripada berteriak. Ah, Jogja... kota yang tenang dan damai, jauh dari gemuruh klakson dan kemacetan.
Di Makassar, bahkan ibu-ibu yang belok kiri tapi send kanan adalah legenda hidup yang bisa bikin emosi, tapi justru di Jogja, semuanya terasa lebih tertata dan teratur.
Di tengah segala kerandoman Makassar ini, saya pun hanya bisa berbisik dalam hati, "Kalau saja bisa balik ke Jogja sekarang juga..."