Politik Panjat Pinang: Saling Injak Demi Dapat Doorprize

Arie Purnama
Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung-Konsentrasi Komunikasi Politik-Alumni Int.Class Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Konten dari Pengguna
12 Februari 2024 17:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Lomba Panjat Pinang. Sumber (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lomba Panjat Pinang. Sumber (Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lomba Panjat pinang bukanlah istilah yang asing bagi warga Indonesia. Setiap 17 Agustus yang merupakan perayaan hari kemerdekaan Indonesia kerap digelar perlombaan panjat pinang. Perlombaan tersebut melibatkan sekelompok orang yang saling bahu-membahu memanjat pohon pinang yang telah disediakan. Satu per satu anggota kelompok naik ke pundak anggota yang lain. Harapannya, kelompok tersebut bisa mencapai puncak pohon pinang dan meraih hadiah yang sudah disiapkan. Tapi bukan perkara mudah, karena sekujur batang pohonnya terlebih dahulu dilumuri oli pekat yang membuat seseorang mudah tergelincir.Kondisi tersebut tak ubahnya seperti fenomena politik di tanah air saat ini.
ADVERTISEMENT
Banyak orang yang saling injak demi mendapatkan hadiah utama alias doorprize yang telah disediakan. Para politisi tersebut berangkat dalam koloni-koloni kelompok yang seakan solid. Dalam prosesnya, saling menginjak dan mengangkat satu sama lain. Yang diinjak tak boleh marah, sebab memang begitu aturan mainnya. Urutannya, yang menjadi pemain pertama dan kedua harus rela dijadikan ‘tumbal’, sementara politisi kelas kakap mengincar bagian paling nikmat, yakni pemanjat terakhir dengan rasio diinjak lebih sedikit. Ironisnya, setelah sampai di atas, banyak yang akhirnya mengkhianati rekan seperjuangannya. Rasa tamak mendapat hadiah utama, membuatnya gelap mata dan berujung mementingkan diri sendiri.
Adapun contoh konkretnya tampak dalam fenomena menjelang pemilu 2024 saat ini. Awalnya, Presiden Jokowi tergabung dalam Partai PDI Pejuangan yang digawangi oleh Megawati Soekarnoputri. Ia diusung sejak periodenya yang pertama oleh partai berlogo banteng tersebut hingga menang dua periode kepresidenan. Para rekan dan timnya sudah berusaha semaksimal mungkin demi pemenangan tersebut. Tapi sayangnya, menjelang pemilu 2024, Jokowi pun membelot. Ia mengajukan putra sulungnya, Gibran Rakabuming menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto. Gibran dijadikan pion untuk memperpanjang kekuasaannya di RI dengan slogram ‘Keberlanjutan’. Keputusan tersebut sontak ditolak mentah-mentah oleh PDIP yang selama ini mendukungnya. Sebab, PDIP pun punya pasangan calonnya sendiri yakni Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Keputusan tersebut diambil Jokowi saat dirinya sudah berada di puncak kekuasaan. Ia bebas menggerakan berbagai lembaga negara dan power yang dimiliki untuk memenangkan Gibran Rakabuming. Lantas, apa yang terjadi selanjutnya? Tentu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mulai dari mengubah putusan MK terkait aturan usia cawapres, bagi-bagi bansos atas nama pribadi, terang-terangan memihak salah satu paslon dalam kontestasi pemilu dan lain sebagainya. Semua upaya tersebut dilakukan untuk memuluskan jalan sang putra mahkota menempati kursi pemimpin yang paling nyaman.
ADVERTISEMENT
Fenomena tersebut dalam di dunia politik akrab disebut sebagai kakistokrasi. Kakistokrasi merupakan pemerintahan yang dijalankan oleh warga negara yang paling buruk, paling tidak memenuhi syarat, atau paling tidak bermoral (Bowler, 1985). Kata ini berasal dari dua kata Yunani, kakistos (κάκιστος; terburuk) dan kratos (κράτος; pemerintahan), yang secara harfiah berarti pemerintahan oleh orang-orang terburuk (Evans, 2011). Contoh terjadinya kakistokrasi dapat dijumpai di Amerika Serikat. Banyak para pengamat politik yang kaget atas terpilihnya Donald Trump sebagai orang nomor satu di Negeri Paman Sam tersebut. Betapa tidak, karakter Trump dianggap tak cocok menjadi presiden AS yang merupakan kiblat demokrasi dunia. Mulai dari adanya kerusuhan di Gedung Captiol yang fenomenal, menghabiskan anggaran untuk menyewa jet, bahkan dalam kondisi perjalanan jarak dekat, dan lain sebagainya. Sosok Trump lantas dinobatkan menjadi ikon kakistokrasi AS.
ADVERTISEMENT
Sementara di Indonesia, istilah kasistokrasi barangkali masih belum begitu familiar. Publik lebih familiar dengan padanan katanya yang lain, yakni oligarki, otoriter, korupsi, dinasti politik dan sejenis. Namun, memang seluruh istilah tersebut masing saling berkaitan satu sama lain sehingga banyak yang menganggapnya sama. Akan tetapi, praktik-praktik kakistokrasi di Indonesia pun mulai mengikuti jejak AS, termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi.
Lantas, apa dampaknya ?
Hal ini praktis membuat orang-orang yang kompeten di lembaga pemerintahan bakal tersingkir dengan mudah. Jangankan terpilih sebagai pemimpin baru, bisa bersaing pun rasanya berat. Sebab, kekuasaan yang terjadi di hierarki paling tinggi tak mudah diganggu gugat karena memiliki banyak sumber daya lebih luas. Tersingkirnya orang-orang yang kompeten nantinya bakal semakin melanggengkan kakistokrasi yang terjadi. Bagaikan lingkaran setan, semuanya terjadi berulang kali dan sulit untuk bisa lepas dari sana.
ADVERTISEMENT
Barangkali Presiden Jokowi perlu belajar banyak dari AS yang lebih dulu mencontohkan betapa buruknya aksi kakistokrasi. Hal ini supaya tidak semakin buruk dan membuat rakyat geram. Sebab, pergolakan rakyat terpantau makin masif. Para mahasiswa mulai turun ke jalan dalam rangka pemakzulan Jokowi, para civitas akademika dari berbagai kampus juga ramai-ramai menyatakan pelanggaran demokrasi yang dilakukan di era Jokowi. Jangan sampai, karena terlalu terlena berada di atas pohon pinang dengan segala hadiah yang didapat, menjadi tuli pada kebutuhan rakyatnya. Republik ini sudah jauh merdeka dalam reformasi, tak perlu lagi mengulang sejarah seperti tahun 1998 bersama kerusuhan yang terjadi.