Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kenestapaan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia
16 September 2024 15:31 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Arie Muslichudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia adalah isu yang kompleks dengan berbagai tantangan. Salah satu masalah terbesar terkait KBB di Indonesia ialah adanya intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok agama atau kepercayaan minoritas. Ini bisa muncul dalam bentuk kekerasan, pengucilan sosial, atau kebijakan yang tidak adil.
ADVERTISEMENT
Apakah sejatinya menjadi minoritas di Indonesia merupakan sebuah kesalahan? Marak dan berulangnya kasus permasalahan seputar isu ini seperti menyadarkan penulis akan ciri-ciri manusia Indonesia yang digagas oleh Mochtar Lubis, yakni (1) hipokrit atau munafik; (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya; (3) berjiwa feodal; (4) percaya takhayul; (5) artistik; dan (6) watak yang lemah. Hal ini bukan semata-mata analisa yang tak mendasar melainkan bersumber dari observasi mendalam dan kritik sosial terhadap kondisi manusia Indonesia pada masa itu.
Kepenulisan karyanya yang termuat dalam buku berjudul Manusia Indonesia menjadi relevan setiap zamannya karena Mochtar Lubis menggunakan pendekatan multidimensional untuk menganalisis masyarakat Indonesia, yang melibatkan data sosial, observasi pribadi, pengalaman jurnalistik, dan analisis struktural. Pendekatan ini mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap kondisi sosial dan politik serta berupaya memberikan wawasan tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh manusia pada zamannya.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana perkembangan kemajuan manusia beragama atau berkeyakinan di Indonesia itu sendiri? Tentunya sependek pengetahuan dan pengalaman penulis dalam mengikuti isu ini sebetulnya menghadapi secercah optimisme masa depan beragama atau berkeyakinan menjadi niscaya sedikit demi sedikit teraktual dalam sanubari sebagian manusia-manusia Indonesia. Namun, tak sedikit juga sebagian lainnya, mengalami degradasi moral yang signifikan.
Suara-suara nurani, kepentingan umum, dan kesepakatan sosial perlahan terekonsturksi ke arah yang tak tertuju pada harapan mulia perdamaian, kenyamanan, keamanan, dan kesentosaan manusia. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia sebagai negara hukum memiliki paradigma paradoks yuridis dalam menyikapi kebebasan beragama atau berkeyakinan itu sendiri.
Dalam praktiknya ini mengalami ketegangan serius antara prinsip-prinsip hukum dengan realitas sosial yang ada. Meskipun Indonesia secara resmi menjamin kebebasan beragama dalam konstitusi, pelaksanaannya sering kali menghadapi berbagai tantangan dan kontradiksi. UUD 1945 dan beberapa undang-undang mengakui kebebasan beragama, namun dalam praktiknya, kebebasan ini sering kali terhambat oleh berbagai kebijakan dan tindakan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Misalnya, diskriminasi terhadap kelompok minoritas atau ketidakadilan dalam penerapan hukum sering kali terjadi di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Beberapa undang-undang dan regulasi di Indonesia, seperti Undang-Undang No.1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dirancang untuk melindungi agama dari penodaan. Namun, aturan ini juga sering kali digunakan untuk membatasi kebebasan beragama dan mengekang ekspresi keagamaan yang berbeda.
Konstitusi Indonesia mengakui 6 agama resmi, yakni; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun, kelompok agama dan kepercayaan yang tidak termasuk dalam daftar resmi sering kali menghadapi tantangan dalam mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum. Sebagaimana kewajiban warga negara untuk mencantumkan agama dalam KTP atau dokumen resmi seringkali menjadi masalah bagi mereka yang tidak menganut salah satu dari enam agama resmi atau mereka yang mengikuti kepercayaan lokal. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan andministratif dan legalitas bagi individu atau kelompok tersebut.
ADVERTISEMENT
Kebebasan beragama sering kali terhambat oleh tekanan sosial atau kepentingan mayoritas. Dalam beberapa kasus, hak individu untuk beragama atau berkeyakinan dipertentangkan dengan norma-norma sosial atau kepentingan kelompok mayoritas, yang secara langsung dapat mempengaruhi implementasi hak-hak tersebut. Meskipun prinsip toleransi diakui secara formal, dalam praktiknya, intoleransi terhadap kelompok minoritas agama atau kepercayaan sering terjadi. Konflik antar kelompok atau tindakan diskriminatif dapat muncul akibat ketidakmampuan sistem hukum untuk melindungi hak-hak minoritas secara efektif.
Hal ini juga disebabkan karena penegakan hukum yang lemah atau adanya praktik korupsi yang menghambat perlindungan kebebasan beragama. Ketidakadilan dalam penegakan hukum sering kali mengarah pada pelanggaran hak kebebasan beragama tanpa adanya tindakan yang memadai untuk mengatasi masalah tersebut.
ADVERTISEMENT
Dan lagi, proses birokrasi yang rumit dan lambat dalam menangani kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan seringkali mengakibatkan ketidakpastiaan hukum dan perlindungan yang tidak memadai bagi korban pelanggaran hak-hak mereka. Serta terdapat kesenjangan antara kebijakan kebebasan beragama yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan implementasi ditingkat lokal maupun regional. Beberapa daerah mungkin menerapkan kebijakan yang lebih ketat atau berbeda, yang dapat mengakibatkan ketidakonsistenan dalam perlindungan kebebasan beragama di seantero negeri kita. Di daerah seringkali memiliki kebijakan yang mempengaruhi kebebasan beragama, dan kebijakan tersebut tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama yang diatur secara nasional.
Paradoks yuridis kebebasan beragama di Indonesia ini yang telah penulis sebutkan di atas menggambarkan ketidaksesuaian antara prinsip-prinsip yang diakui secara hukum dan realitas praktis yang dihadapi oleh individu dan kelompok dalam masyarakat. Mengatasi paradoks ini memerlukan formula baru dalam reformasi hukum, peningkatan kesadaran, dan upaya yang konsisten untuk menjamin perlindungan dan pelaksanaan hak-hak kebebasan beragama bagi semua individu di Indonesia.
ADVERTISEMENT