Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perkebunan Kelapa Sawit dan Dampak Ekologis bagi Masyarakat
17 Juli 2024 17:07 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Arie Muslichudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kelapa sawit atau yang biasa kita kenal dengan minyak sawit kerap kita jumpai dalam aktivitas kita sehari-hari baik dalam bentuk makanan, bahan bakar, pembangkit listrik, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sawit rupanya juga telah cukup berhasil merekonstruksi budaya masyarakat, terutama yang terdekat, melalui perluasan lahan yang notabene cara atau metodenya adalah melalui pembakaran hutan. Cara ini sebenarnya justru membuat peralihan lahan pertanian setempat menjadi perkebunan kelapa sawit yang sifatnya monoculture.
Pembakaran hutan juga bisa membuat masyarakat setempat mengalami infeksi saluran pernapasan (ISPA) bahkan hingga meninggal dunia akibat polusi udara yang ditimbulkan. Kelapa sawit yang angka permintaannya tinggi setiap tahun membuat petani-petani sawit dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan swasta atau pemilik modal.
Hemat saya, pembakaran lahan secara sembrono tanpa mengindahkan aspek ekologis dan keadilan sosial bisa mendekadensi supremasi penegakan hukum, keadilan, kesejahteraan sosial, bahkan demokrasi. Penguasa-penguasa yang hanya berpihak pada pengusaha, kedaulatan negara mulai terkikis oleh kapitalisme global.
ADVERTISEMENT
Pembiayaan terbesar yang didapat perusahaan-perusahaan kelapa sawit didominasi oleh bank-bank konvensional luar negeri. Artinya, negara juga membiarkan investor-investor asing mengeruk sumber daya alam dan menjauhi kemaslahatan masyarakat setempat (petani lokal) dengan monopoli pasar yang tka sehat.
Dalam hal ini, presiden terkesan hanya berupaya melalui program peremajaan sawit rakyat yang tujuannya mengganti tanaman yang sudah tua dengan yang baru untuk menyokong produktivitas berkelanjutan. Pada kenyataannya, masyarakat setempat hanya jadi jadi alat politik-ekonomi yang kemudian terbelenggu oleh manifestasi dampak ekologis dan jauh dari keadilan sosial.
Dalam film dokumenter ASIMETRIS, rumah produksi Watchdoc Image berusaha mendokumentasikan kegagalan proyek pemerintah untuk mencetak 1,4 juta hektare sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah pada 1996 silam. Salah satu yang tersisa dari proyek itu adalah bendungan irigasi yang memakan banyak lahan masyarakat, padahal proyek itu tak terealisasi dan tak ada ganti rugi yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Film ini juga menyoroti soal 50% dari seluruh barang kebutuhan kita yang dikemas pasti mengandung minyak kelapa sawit. Maka tak heran jika setiap 5 tahunan, lahan perkebunan kelapa sawit bertambah rata-rata seluas Pulau Bali.
Bayangkan jika pilihan gaya hidup yang bergantung pada kelapa sawit ini terus dibiarkan, lama-kelamaan perkebunan di seluruh Indonesia akan dipenuhi perkebunan kelapa sawit semata. Mengingat konsekuensinya, daripada memasok terus-menerus permintaan minyak kelapa sawit lebih baik membatasinya untuk keberlanjutan kesehatan lingkungan dan keadilan sosial. Dengan keuntungan yang tak seberapa, konsekuensi tersebut lebih mahal harganya.
Pada tahun 2015, terjadi peristiwa memalukan bagi Indonesia yang jadi perhatian nasional. Kebakaran lahan besar di Jambi, Sumatera, mengakibatkan kabut asap tebal yang bahkan sampai mengganggu penerbangan di Singapura dan Malaysia.
ADVERTISEMENT
69 juta orang juga terdampak akibat kejadian ini. Menurut penelitian yang dilakukan Center For International Forestry Research (CIFOR) di 11 lokasi di Provinsi Riau menyebut ada kaitan secara ekonomi antara industri perkebunan dan kebakaran ini.
Kondisi berbeda dari maraknya perkebunan kelapa sawit dan industrinya juga dirasakan dampaknya oleh masyarakat Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Meski tidak menimbulkan api, pencemaran lingkungan akibat limbah sawit ini telah mencemari habitat ikan papuyu yang hidup di rawa-rawa dan sungai gambut.
Masyarakat setempat utamanya warga Paminggir kemudian tak dapat lagi bertahan hidup dari alam, seperempat warganya terutama para pria keluar dari desa mencari pekerjaan di tempat lain. Sementara, para perempuan bertahan dengan ikan-ikan yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, menurut hemat penulis, negara perlu hadir untuk menjaga lingkungan hidup dan keadilan masyarakat. Supremasi hukum jangan dijadikan omong kosong semata, kembalikan kedaulatan negara pada aspirasi-aspirasi masyarakat, cabut peraturan perundang-undangan yang berimplikasi pada kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat.
Oleh sebab itu, perlunya kita sebagai manusia sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan dan mengedepankan perspektif lingkungan, berkeadilan ekologis dan berkeadilan sosial. Dengan tujuan menjaga dan merawat kesehatan bumi hingga sampai di mana generasi penerus mewariskan hal yang sama dan dapat menuai manfaat dan menikmati kelestarian lingkungan.