Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
7 Ramadhan 1446 HJumat, 07 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Menghindari Pikiran Irasional Muncul: Kunci Agar Tidak Mudah Kena Stres
6 Maret 2025 14:11 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Arief Rahman Nur Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Ujianku kemarin nilainya jelek banget. Orang gagal kaya aku mana mungkin bisa sukses.”
ADVERTISEMENT
Pernah nggak sih kalian terbesit pikiran semacam itu?, entah waktu sekolah atau masa-masa kuliah. Satu kesalahan kecil atau satu pengalaman buruk membuat kalian mengevaluasi seluruh aspek kehidupan. Merasa jadi mahasiswa paling tolol di muka bumi dan langsung menatap masa depan dengan serba pesimis seakan seketika takdirnya sudah pasti Madesu. Cuma gara-gara nilai jelek di satu ujian loh, bisa bikin pikiran kemana-mana. Ujung-ujungnya overthinking terus pikiran dilanda stres tak tertolong.
Buat kalian yang belum tahu, ini namanya overgeneralization. Salah satu dari banyaknya jenis distorsi kognitif alias pikiran irasional atas keadaan yang sedang dialami. Tanpa disadari, pikiran semacam ini menjangkiti hampir semua orang. Kalau keberadaannya terus dipelihara, dapat menjadi cikal bakal munculnya berbagai gangguan mental. Mulai dari gangguan kepanikan, gangguan kecemasan, hingga depresi. Sehingga, penting bagi setiap orang mengenali berbagai jenis distorsi kognitif dan tanda-tanda kemunculannya.
ADVERTISEMENT
Selain overgeneralization, ada beberapa jenis distorsi kognitif lain yang wajib kalian ketahui dan segera hindari supaya tidak gampang kena stres hingga jadi depresi.
All or Nothing: Menganggap Hidup Hanya Ada Hitam dan Putih
Pola berpikir ini biasanya bikin kita mikir semuanya itu cuma ada dua kemungkinan. Kalau nggak sukses ya gagal atau kalau nggak bagus ya pasti jelek. Sama sekali ga kepikiran ada yang namanya kemungkinan ketiga. Seakan-akan hanya ada hitam dan putih, padahal masih ada abu-abu dan berbagai macam kemungkinan lain diantaranya.
Saya pakai contoh di awal tadi. Menganggap diri sebagai orang gagal karena mendapat nilai ulangan yang buruk membuat anggapan seolah hidup ini cuma soal gagal dan berhasil. Padahal bisa saja ada kemungkinan lain.
ADVERTISEMENT
Ketika suatu saat pikiran serupa muncul, sebelum berlarut-larut, coba tangkis dengan bertanya kepada diri sendiri, “beneran nih aku orang gagal? mungkin bukan gagal kali ya, tapi memang belum sempurna aja”. Cara lain yang bisa dicoba adalah dengan menggunakan skala. Persepsi kegagalan dinilai memakai angka satu sampai sepuluh, satu paling buruk dan sepuluh paling baik. Dengan cara-cara ini, minimal kalian jadi mikir sedikit. Nggak langsung percaya secara berlebihan apapun yang pertama kali terpintas di kepala.
Disqualifying The Positive: Menolak Pikiran-pikiran Baik
Jenis satu ini mirip dengan all-or-nothing tetapi versi ekstrimnya. Kalau sebelumnya masih ada kemungkinan baik dan buruk, yang satu ini bikin kita melihat semuanya jadi buruk. Meniadakan pikiran baik.
Misalnya nih, situasinya lagi nongkrong bareng teman-teman baru. Terus mereka bilang kalian itu orangnya asik diajak diskusi, wawasannya luas. Tetapi kalian menganggap itu cuma sekadar basa-basi. Tidak ada yang spesial dari pujian tadi.
ADVERTISEMENT
Kalau pernah coba adu argumen dengan kawan yang sedang badmood, kemungkinan kalian pernah melihat jenis distorsi kognitif yang satu ini seenggaknya tampak dari luar. Kalau kalian pernah dalam situasi badmood, berarti sedikit banyak pernah mengalami sendiri. Merasa semua hal baik terjadi serba kebetulan atau tidak ada maknanya.
Cara mengatasinya masih sama seperti sebelumnya. Intinya pertentangkan pikiran yang muncul dengan pertanyaan dan nilai situasi buruk yang terjadi menggunakan skala. Lagi-lagi, biar minimal kalau pikiran ini datang, bisa bantu buat mikir sedikit.
Jumping to Conclusion alias Mengambil Kesimpulan Tanpa Ada Bukti
Kalau yang ini sih banyak kita temui pada para ABG yang lagi pacaran. Saya yakin hampir kebanyakan dari kita yang pernah pacaran semasa sekolah dulu pernah mengalaminya. Suka ambil kesimpulan padahal buktinya aja nggak ada. Cuma cari alasan buat bisa berantem atau menuduh pasangan yang enggak-enggak.
ADVERTISEMENT
Contoh yang paling sering terjadi pada orang pacaran misal tentang chattingan, “wah dia nggak bales chatku sudah tiga jam, fix nih dia udah nggak cinta sama aku lagi”. Terus kebawa overthinking sampai buat status galau. Padahal mah emang lagi ketiduran aja atau mengerjakan hal lain dan nggak sempat buka handphone. Contoh lain misalnya di tempat kerja, “waduh, Si Bos di kantor seharian ini diem aja. Berarti ada yang salah dari pekerjaanku kemarin”. Mungkin Si Bos memang sedang badmood atau banyak pikiran. Tetapi kan pemicunya bisa sama sekali bukan berasal dari kantor?.
Menangkal pikiran irasional semacam ini sebenarnya mudah saja. Tinggal tanyakan pada diri sendiri, “memang buktinya apa?”. Seringkali memang nggak ada buktinya. Karena ketika sudah dipikirkan matang, semuanya cuma cocoklogi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, sehari-hari kita semua rentan terhadap distorsi kognitif. Kalau dibiarkan bersarang di pikiran, bisa-bisa terbawa jadi stres tak berkesudahan hingga menjadi depresi. Ketika tau cara melawannya, sebetulnya simpel. Tetapi seringnya susah dilakukan karena nggak aware juga. Lebih percaya pikiran irasional, lebih dramatis dan memuaskan. Kalau sudah terjebak berlarut-larut, mending segera ke psikolog aja deh.