Menagih Janji DPR dan Pemerintah untuk Menyelesaikan RUU EBET

Arif adiputro
Peneliti Indonesian Parliamentary Center dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro
Konten dari Pengguna
25 November 2022 11:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif adiputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Isu perubahan iklim saat ini menjadi perbincangan di dunia internasional oleh beberapa kalangan dari mulai elite pemimpin negara sampai kelompok masyarakat sipil. Indonesia diwakili oleh presiden dan beberapa jajaran Menteri tak terkecuali DPR RI berpartisipasi juga dalam forum internasional, yakni COP 27 di Mesir maupun G20 di Bali Indonesia. Isu yang dibahas tentu tidak lepas dengan pengurangan emisi, deforestasi dan membahas mengenai energi terbarukan. Pemerintah dan DPR RI di berbagai kesempatan forum internasional memiliki visi untuk menggunakan energi bersih agar mencapat mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060. Komitmen ini perlu ditagih oleh masyarakat Indonesia karena Pemerintah dan DPR RI saat ini menjadi sedang membahas Rancangan Energi baru dan Energi Terbarukan, tujuan dari salah satu instrument dalam mengatasi perubahan iklim salah satunya mengenai menurunkan emisi dan mewujudkan energi bersih bagi masyarakat Indonesia. Namun, saat ini komitmen DPR RI perlu dipertanyakan karena janji Ketua Komisi VII DPR RI, yakni Sugeng Suprawoto menyelesaikan produk RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan selesai bulan oktober 2021 tetapi hingga saat ini pembahasannya masih menunggu daftar inventaris masalah dari Pemerintah tentu hal ini akan berdampak kebijakan transisi energi ke depan. Selain itu, persoalan lain dalam isi substansi dalam RUU Energi baru dan Energi Terbarukan masih mengakomodasi beberapa energi fosil, yakni batubara hal ini sungguh disayangkan padahal tujuan utama transisi energi adalah bagaimana negara dapat beralih dari energi fosil yang mempunyai risiko pencemaran lingkungan lebih tinggi yang berimbas pada ketahanan sosial dari aspek kesehatan, dengan energi yang relatif memiliki dampak buruk lingkungan yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
A) Kelangkaan energi fosil
Dunia akan mengalami kelangkaan sumber energi fosil karena semakin berkurangnya persediaan energi fosil di dunia. Diperkirakan bahwa produksi minyak global mencapai puncaknya pada tahun 2015, gas alam pada tahun 2035, dan produksi batu bara pada tahun 2052. Hasil proyeksi minyak dan gas alam, dan batu bara ini telah dikonfirmasi oleh berbagai analisis independen ahli geologi, ekonom, dan analis energi terbaik dunia untuk. British Petroleum, memperkirakan pada tahun 2014 rasio cadangan global terhadap produksi minyak, gas alam dan batu bara masing-masing adalah 53,3 tahun, 55,1 tahun dan 113 tahun.
B) Perubahan iklim
Diperlukan untuk menghindari biaya sosial dan lingkungan yang lebih besar yang berasal dampak dari perubahan iklim jika terus berlanjut. Penggerak utama hal ini berkaitan dengan batas daya dukung lingkungan.
ADVERTISEMENT
Pada tingkat emisi gas rumah kaca tertentu, bahan bakar fosil sudah tidak dapat digunakan lebih banyak lagi, meski tersedia secara gratis. Bila semua bahan bakar fosil dibakar maka kelak bumi secara praktis tidak dapat dihuni lagi. Oleh sebab itu, beberapa pihak meyakini bahwa sejumlah cadangan minyak, gas alam, dan batu bara harus tetap berada di dalam tanah sebagai standar aset.
Indonesia sebagai negara yang secara geografis dilimpahi energi terbarukan memiliki potensi energi yang melimpah sekaligus tantangan dalam mengelolanya. Untuk mengurai permasalahan-permasalahan spesifik terkait pengembangan energi terbarukan seperti tersebut di atas, beberapa hal perlu dipertimbangkan secara serius oleh DPR sebagai lembaga yang berhak mendampingi pemerintah dalam membuat kebijakan yang sebesar-besarnya ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat. Berikut ini beberapa masukan dari sejumlah masukan penting terhadap pertimbangan tersebut disarikan dari berbagai sumber termasuk analisis independent.
ADVERTISEMENT
Indonesia sudah memiliki kebijakan/kerangka kerja dasar dan target yang ditetapkan untuk pengembangan Energi Terbarukan. Namun, diperlukan regulasi, yakni Undang Undang yang mengatur khusus mengenai energi terbarukan dan turunannya yang konsisten. Melalui penyampaian visi yang jelas, terjemahan visi dituangkan oleh kementerian terkait ke dalam kerangka kebijakan terintegrasi yang mengatasi hambatan pengembangan Energi Terbarukan. Dua hal yang perlu diupayakan oleh pemerintah pusat adalah meningkatkan daya saing Energi Terbarukan melalui mekanisme pendukung yang sesuai, dan perencanaan yang komprehensif dalam mengintegrasikan Energi Terbarukan ke dalam portofolio bisnis, dengan mempertimbangkan kondisi geografi dan jaringan di Indonesia.
Selain itu, DPR RI perlu mengatur muatan pasal mengenai Subsidi Energi Terbarukan akan menurunkan harga tenaga listrik yang dihasilkan dari teknologi Energi Terbarukan. Dengan pertumbuhan yang konsisten pada skala tersebut, bersamaan dengan kemajuan teknologi dan inovasi, membuat teknologi Energi Terbarukan lebih kompetitif daripada bahan bakar fosil. Hanya saja, Indonesia, masih memberikan sejumlah besar dukungan fiskal ditawarkan produsen batu bara dan PLN dalam bentuk subsidi listrik, yang mana lebih tepat diimplementasikan pada masa meningkatkan rasio elektrifikasinya dengan cepat. Namun dengan rasio elektrifikasi yang mencapai sekitar 97,5% pada tahun 2018, pemerintah harus mempertimbangkan kembali strategi ini dan sebagai gantinya membiarkan subsidi yang lebih besar mengalir ke Energi Terbarukan.
ADVERTISEMENT
Sumber foto freepict