Sastra Dan Legitimasi Dari Media Online

arif gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun
Konten dari Pengguna
2 Mei 2023 9:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari arif gumantia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital ini tak bisa kita pungkiri bahwa karya-karya sastra pun ikut marak dalam media digital baik dalam media sosial maupun media online, baik puisi, cerpen, novel, esai, dan lain-lainjya. Bahkan dengan maraknya puisi di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lain-lain hingga kebanyakan orang beranggapan bahwa puisi memiliki image yang buruk, tak lebih dari sekumpulan kata-kata aneh yang tak dimengerti, ungkapan perasaan mendayu-ndayu, atau kalimat-kalimat putus asa penuh tanda seru, hingga beranggapan bahwa Puisi tidak ada hubungannya dengan kehidupan. Hal demikian itu tentu anggapan yang salah karena adanya kesalahpahaman.
ADVERTISEMENT
Tentu hal ini beda dengan karya-karya sastra yang ada di media online. Media online atau media daring adalah media dalam jaringan, daring sendiri merupakan singkatan dari dalam jaringan. Dalam konteks ini dalam jaringan merupakan jaringan online, jaringan online merupakan sesuatu yang berhubungan dengan teknologi dan internet. Media online hanya bisa diakses dengan internet. Berisikan teks, suara, foto dan video. Dalam konteks artikel saya ini media online yang saya maksud adalah media online yang ada redaktur sastranya yang punya kredibilitas, bertugas memverifikasi dan menyeleksi karya-karya sastra yang dikirim ke media online tersebut.
Sehingga karya-karya sastra yang dimuat di media online tersebut memenuhi kriteria sebagai karya sastra sesuai dengan kaidah-kaidah karya sastra yang kredibilitas akademisnya bisa dipertanggung jawabkan Menurut filsuf Perancis Pierre Bourdieu, dalam teori produksi kultural, kontestasi sastra bisa diibaratkan sebagai arena sastra, sebuah arena tempat para sastrawan bertarung atau berkompetisi dengan kreatifitas dan karya-karyanya. Menurut Bourdieu bahwa hasil karya sastra itu bisa disebut sebagai Sastra dan penulisnya disebut Sastrawan harus ada pengesahan atau legitimasi dari Institusi atau lembaga sastra yang kredibel, media massa, dan tokoh-tokoh sastra ( Bourdieu menyebutnya sebagai agen sastra ).
ADVERTISEMENT
Lembaga sastra misalnya Dewan Kesenian, Dirjen Kebudayaan, Perguruan Tinggi yang mempunyai fakultas Bahasa dan Sastra, Lembaga swasta semisal Salihara, dan lain-lain. Media massa kalau dulu hanya ada media massa cetak sekarang sudah ada media online. Para tokoh sastra misalnya Goenawan Mohamad, Sutarji Calzoum Bachri, Seno Gumira Ajidarma, Abdul Hadi WM, dan lain-lainnya. Dalam perspektif Bourdieu, media massa memegang peranan penting sebagai bagian dari salah satu pemberi legitimasi terhadap karya sastra dan gelar sastrawan, karena menurut Bourdieu seorang sastrawan juga butuh konsekrasi atau pengakuan.
Di era digital ini tidak hanya media cetak yang menerima karya-karya sastra baik puisi, cerpen, esai, maupun cerita bersambung yang akhirnya dibukukan menjadi novel tapi juga media online, bahkan semakin hari semakin banyak media cetak yang mempunyai media online juga, dan ada yang menjadi media online dan terus menerima kiriman karya-karya sastra. Beberapa media online yang menerima karya-karya sastra misalnya Detik, Koran Tempo, Republika, Jawa Pos, Kumparan, Basa Basi, Kompas, Suara Merdeka, Sastra Media dan masih banyak lagi. Media-media tersebut mempunyai redaktur sastra yang bisa menyeleksi dan memverifikasi karya-karya yang layak untuk ditayangkan di medianya. Sehingga karya-karya sastra tersebut mempunyai kredibilitas yang memang sudah selayaknya bisa disebut sebagai puisi, fiksi, dan esai. Karena untuk menghasilkan karya sastra yang bagus seorang sastrawan tidak bisa lahir secara instan, mereka harus mempunyai habitus sebagai seorang penulis. Menurut Randal Johnson, habitus merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu (process of inculcation) dimulai sejak masa kanak-kanak sehingga menjadi semacam 'pengindraan kedua' (second sense) atau hakikat alamiah kedua (second nature). Dengan demikian, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian puisi yang dimuat di media online sebagai salah satu genre sastra adalah puisi yang sesuai dengan etimologi dan genealoginya yaitu berasal dari kata Yunani “poiesis”—“poiein”, yang artinya “menemukan”—“menciptakan”. Sebagai penemuan-penciptaan, puisi tentu soal penghayatan, pertanyaan terhadap realitas dalam diri maupun di luar diri. dan bagaimana mencari jawabannya. Hal ini membuat puisi selalu relevan bagi kehidupan, bahkan signifikan atau penting. Jawaban-jawaban atau realitas-realitas baru yang ditemukan dalam proses penghayatan itu tentu belum terbahasakan, sehingga dibutuhkan metafor-metafor yang diciptakan melalui penukaran, pengubahan tanda, atau analogi dari aset bahasa berdasarkan prinsip-prinsip similaritas-dissimilaritas, yang ketepatan dan kebermaknaan merupakan taruhannya.
Dari paparan di atas benang merah yang bisa kita tarik adalah di era digital ini media online merupakan salah satu bagian dari institusi yang bisa memberi legitimasi pada karya-karya sastra dan memberi gelar sastrawan. Apalagi kalau kita lihat semakin banyak media online yang mengadakan lomba-lomba menulis karya sastra seperti puisi, cerpen, dan esai dengan hadiah uang dan sertifikat, ini juga bagian dari pemberian legitimasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Tantangannya adalah bagaimana para redaktur media tersebut tetap berpegang teguh pada integritas dan kredibilitas dalam menyeleksi karya-karya yang masuk dan bukan hanya berdasarkan selera mereka, dengan demikian akan membuka ruang kemungkinan yang luas terhadap tema-tema dalam karya tersebut baik itu tentang tema cinta, pencarian eksistensi diri, dan tema-tema tentang kritik sosial, kerusakan lingkungan kemiskinan, dan tema-tema yang beragam lainnya. Sehingga tidak akan terjadi apa yang dinamakan monopoli apresiasi sastra, dan meminjam kalimat dalam puisi Chairil Anwar : “semuanya dapat tempat, semuanya dicatat”.
Arif Gumantia
Ketua Majelis Sastra Madiun