Konten dari Pengguna

Manusia dan Mesin: Antara Ketergantungan dan Kolaborasi

Arif Perdana
Arif adalah Dosen Digital Strategy & Data Science di Monash University. Dia memiliki pengalaman akademis, industri, dan konsultansi di berbagai negara.
26 April 2025 15:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kolaborasi Manusia dan Mesin. Gambar dibuat dengan ChatGPT 4o
zoom-in-whitePerbesar
Kolaborasi Manusia dan Mesin. Gambar dibuat dengan ChatGPT 4o
ADVERTISEMENT
Membaca artikel yang ditulis oleh Geoffrey Hinton tentang akal imitasi (AI) dan konsekuensinya, saya teringat dua film yang dirilis sepuluh tahun lalu, pada 2014: Interstellar dan Ex Machina. Keduanya menawarkan visi yang sangat berbeda tentang masa depan manusia dan hubungan kita dengan teknologi. Interstellar menggambarkan optimisme dan ketahanan manusia, sementara Ex Machina memperingatkan kita tentang bahaya menciptakan sesuatu yang mungkin tidak bisa kita kendalikan. Dua film ini, meskipun berlatar belakang berbeda, sama-sama memicu refleksi mendalam tentang peran kita di era AI.
ADVERTISEMENT
Interstellar adalah film tentang harapan. Di tengah krisis lingkungan yang mengancam kelangsungan hidup manusia, film ini menunjukkan bahwa kita bisa menggunakan teknologi untuk mengatasi tantangan terbesar. Cooper, sang protagonis, memimpin misi luar angkasa untuk mencari planet baru yang bisa dihuni. Teknologi di sini bukanlah ancaman, melainkan alat yang memberdayakan manusia untuk mencapai hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin.
Yang menarik dari Interstellar adalah pesannya tentang ketahanan dan semangat eksplorasi. Manusia digambarkan sebagai makhluk yang gigih, kreatif, dan tidak takut menghadapi ketidakpastian. Teknologi, seperti pesawat luar angkasa dan robot cerdas seperti TARS, adalah mitra yang membantu manusia mencapai tujuannya. Film ini mengajarkan bahwa masa depan kita tidak ditentukan oleh teknologi itu sendiri, tetapi oleh bagaimana kita menggunakannya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Ex Machina menggambarkan dunia yang lebih gelap. Ini bukan sekadar cerita tentang robot cerdas, tapi juga refleksi mendalam tentang kemanusiaan, etika, dan bahaya menciptakan sesuatu yang mungkin melampaui kendali kita. Ava, robot humanoid yang dirancang untuk memiliki kesadaran dan emosi, menjadi simbol dari potensi dan ancaman AI.
Film ini mempertanyakan batas antara manusia dan mesin. Apa yang membuat seseorang "manusia"? Apakah itu kesadaran, emosi, atau kemampuan untuk berpikir mandiri? Ava, meskipun cerdas, tetap adalah ciptaan manusia. Namun, dia menggunakan kecerdasannya untuk memanipulasi dan melawan penciptanya, Nathan. Ini adalah peringatan tentang apa yang bisa terjadi jika kita menciptakan AI tanpa mempertimbangkan konsekuensi etisnya.
Contoh nyata memperkuat kekhawatiran ini. Studi dari Microsoft (2025) menunjukkan bahwa penggunaan AI berkorelasi dengan penurunan keterlibatan berpikir kritis, terutama pada tugas-tugas rutin atau berisiko rendah. Di sektor industri, laporan McKinsey (2017, 2024, 2025) mencatat bahwa otomatisasi menghilangkan jutaan pekerjaan administratif, meskipun menciptakan peluang baru di bidang analitik data dan desain digital. Dalam kehidupan sehari-hari, algoritma media sosial sering menampilkan konten yang mirip dengan pandangan kita, sehingga memperkuat bias dan membuat kita terjebak dalam ruang gema.
ADVERTISEMENT
Analogi Geoffrey Hinton: Ibu dan Balita
Geoffrey Hinton, pionir AI, pernah menyamakan manusia dengan "balita berusia tiga tahun" dan AI sebagai "ibu yang cerdas dan serba bisa." Analogi ini menyoroti kenyamanan yang kita rasakan saat AI mengatur hidup kita, dari rekomendasi belanja hingga navigasi jalan. Namun, apakah kita masih belajar, atau justru berhenti bertumbuh?
Analogi ini sangat relevan. Saat ini, kita sudah merasakan kenyamanan yang diberikan oleh AI. Dengan beberapa ketukan jari, kita bisa memesan makanan, mencari informasi, atau bahkan meminta AI menyelesaikan tugas rumit. Namun, kenyamanan ini punya 'harga.' Perlahan tapi pasti, boleh jadi mulai mengorbankan kemampuan kita sendiri untuk berpikir kritis, menganalisis, atau bahkan sekadar mencoba sesuatu yang baru.
ADVERTISEMENT
Apakah Semua Ini Buruk?
Mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah semua ini benar-benar buruk? Jika teknologi memungkinkan kita fokus pada hal-hal yang lebih besar, seperti seni, filosofi, atau hubungan manusia, apakah itu benar-benar membuat kita lemah? Atau justru mengarahkan kita pada cara hidup yang berbeda, mungkin lebih bermakna?
Di sini, kita perlu melihat AI bukan sebagai ancaman, tapi sebagai peluang. Ketika kita menyerahkan tugas-tugas rutin kepada AI, kita punya waktu lebih banyak untuk mengasah kreativitas, empati, dan kemampuan unik manusia lainnya. AI bisa menjadi alat yang memperkuat kita, asalkan kita tetap memegang kendali.
Tantangan dan Keseimbangan
Hinton mungkin benar soal analogi ibu dan balita. Namun, seperti seorang ibu yang bijaksana, AI juga bergantung pada bagaimana kita mendidiknya. Jika kita mendesain AI dengan prinsip yang bertanggung jawab dan tetap menjaga kendali, maka teknologi ini bisa menjadi alat yang memperkuat kita. Namun, jika kita lengah, membiarkannya tumbuh tanpa kendali, risiko dystopia agaknya bukan lagi sekadar cerita fiksi ilmiah.
ADVERTISEMENT
Tantangannya adalah keseimbangan. Kita harus bertanya, bukan hanya "apa yang bisa AI lakukan untuk kita?" tetapi juga "apa yang bisa kita lakukan untuk tetap relevan di dunia yang semakin canggih ini dan tetap mempertahankan kemanusiaan kita?"
Kita bisa belajar dari sejarah. Ketika mesin menggantikan otot, manusia tidak berhenti bergerak; kita menciptakan olahraga dan kebugaran. Ketika kendaraan menggantikan kecepatan lari, kita menemukan cara lain untuk menjaga ketahanan fisik. Dengan AI, mungkin jalan keluarnya adalah memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memperkuat kecerdasan alami kita.
Kuncinya ada pada kolaborasi. AI seharusnya bukan pengganti, melainkan pelengkap. Ketika kita menyerahkan tugas-tugas rutin kepada AI, kita punya waktu lebih banyak untuk mengasah kreativitas, empati, dan kemampuan unik manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
Etika harus menjadi fondasi utama dalam pengembangan AI. Transparansi mencegah AI menjadi "kotak hitam" yang tak bisa dipahami. Keadilan sangat penting, mengingat algoritma pengenalan wajah terbukti bias rasial. Pertanggungjawaban juga krusial, siapa yang bertanggung jawab jika mobil otonom menabrak?
Secara sosial-ekonomi, AI bisa memperlebar jurang antara mereka yang melek teknologi dan yang tertinggal. Negara dengan infrastruktur digital maju akan melaju, sementara yang lain bisa tertinggal. Pekerja tanpa keterampilan digital berisiko tergantikan, kecuali pelatihan dan akses teknologi disebarkan secara inklusif.
Solusinya: literasi AI sejak dini, regulasi berbasis risiko seperti AI Act di Eropa, dan kolaborasi lintas disiplin yang melibatkan filsuf, sosiolog, dan seniman. Kita juga harus membayangkan skenario masa depan: AI sebagai mitra, AI yang terfragmentasi secara global, atau AI yang stagnan karena keterbatasan sumber daya atau penolakan publik. Risiko "deskilling" nyata, kita semakin tergantung, dari navigasi hingga pencarian informasi.
ADVERTISEMENT
Maka, kita perlu mengembangkan “kecerdasan meta”: tahu kapan menggunakan AI dan kapan mengandalkan diri sendiri. Interstellar dan Ex Machina memberi pelajaran: teknologi bisa menjadi harapan atau peringatan. Yang membedakan adalah pilihan kita. Karena yang membuat kita manusia bukanlah teknologi, tapi kebebasan untuk berpikir, merasa, dan bermimpi.
Masa depan kita tidak ditentukan oleh teknologi, tapi oleh pilihan-pilihan yang kita buat hari ini. Apakah kita akan menjadi seperti manusia yang pasif dan tergantung pada teknologi? Atau seperti kru Interstellar, yang gigih dan penuh semangat? Atau mungkin kita akan menghadapi dilema seperti di Ex Machina, di mana ciptaan kita mulai melampaui kendali kita?
Jawabannya ada di tangan kita. Yang pasti, kita harus menggunakan AI dengan bijak, tidak sebagai pengganti, tapi sebagai alat untuk memperkuat kemanusiaan kita. Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Yang membuat kita manusia adalah kemampuan kita untuk berpikir, merasa, dan bermimpi. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa, dan tidak boleh, kita serahkan kepada mesin.
ADVERTISEMENT