Konten dari Pengguna

Saat Data Tak Lagi Butuh Jadi Raksasa untuk Membuat Perubahan

Arif Perdana
Arif adalah Dosen Digital Strategy & Data Science di Monash University. Dia memiliki pengalaman akademis, industri, dan konsultansi di berbagai negara.
3 Juni 2025 17:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Saat Data Tak Lagi Butuh Jadi Raksasa untuk Membuat Perubahan
Di era digital, data kecil yang relevan bisa lebih bermakna dari data besar yang rumit. Small data memberi peluang UMKM & AI lokal untuk tumbuh tanpa tergantung teknologi mahal.
Arif Perdana
Tulisan dari Arif Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Big vs Small Data. Gambar dibuat dengan GPT 4o
zoom-in-whitePerbesar
Big vs Small Data. Gambar dibuat dengan GPT 4o
ADVERTISEMENT
Dulu, semakin besar data yang kita miliki, semakin percaya diri kita menatap masa depan. Tapi zaman berubah. Kini, ukuran bukan lagi segalanya. Di tengah hiruk-pikuk revolusi digital, muncul pertanyaan mendasar, yaitu, apakah lebih banyak data selalu berarti lebih baik, atau justru data kecil yang terfokus bisa membawa kebijaksanaan yang lebih tajam?
ADVERTISEMENT
Mari kita imajinasikan, di sebuah warung kopi kecil di Bandung, pemiliknya setiap malam mencatat rasa kopi yang paling laku, jam-jam ramai pembeli, dan siapa saja pelanggan tetapnya. Ia tak punya alat canggih, apalagi server besar. Tapi dengan data secuil itu, ia tahu kapan harus mengganti jenis biji kopi, dan kapan harus menawarkan promo. Inilah kekuatan small data, data kecil, tapi tepat sasaran. Kisah ini mencerminkan realitas banyak pelaku usaha mikro di Indonesia: kepekaan terhadap detail lokal sering kali lebih berharga daripada analisis global yang rumit.
Sementara itu, di sudut lain dunia, perusahaan besar mengolah petabyte data dari media sosial, transaksi online, dan sensor kendaraan. Mereka mencari pola-pola besar: tren pasar global, prediksi penjualan, atau ancaman keamanan siber. Inilah big data, data besar, kompleks, dan memerlukan tenaga superkomputer. Namun di balik kemegahannya, big data sering kali menjebak organisasi dalam labirin informasi yang sulit diterjemahkan menjadi keputusan praktis.
ADVERTISEMENT
Namun, apa benar kita harus memilih salah satu? Atau justru, masa depan ada pada kebersamaan keduanya? Pertanyaan ini bukan sekadar teknis, melainkan filosofis: bagaimana kita mendefinisikan "kecerdasan" dalam pengambilan keputusan di era digital?
Ketika "Lebih Banyak" Tak Selalu Lebih Baik
Selama bertahun-tahun, big data didambakan sebagai tambang emas baru. Di bidang kesehatan, ia membantu menganalisis genom manusia. Dalam pemasaran, ia menebak apa yang akan kita beli minggu depan. Pemerintah memakainya untuk mengatur lalu lintas kota, bahkan mendeteksi potensi penyebaran penyakit. Keberhasilan ini menciptakan mitos bahwa lebih banyak data selalu menghasilkan solusi yang lebih baik.
Namun, di balik euforia itu, muncul hambatan. Infrastruktur big data mahal, memerlukan server, keahlian teknis, dan waktu. Makin besar datanya, makin rumit pula pengelolaannya. Banyak perusahaan akhirnya kewalahan, tak mampu menggali wawasan dari tumpukan informasi yang terus membengkak. Laporan dari McKinsey bahkan mencatat bahwa 70% proyek big data gagal memberikan nilai bisnis yang diharapkan karena kompleksitas pengelolaan dan minimnya fokus pada kebutuhan spesifik.
ADVERTISEMENT
Menariknya, Jordan Tigani, mantan insinyur Google BigQuery, mengobservasi bahwa mayoritas pelanggan BigQuery memiliki data penyimpanan kurang dari satu terabyte, dengan sebagian besar kueri memproses data dalam jumlah kecil, sering kali di bawah 100 megabyte. Hal ini menunjukkan bahwa wawasan berharga sering kali dapat diperoleh dari dataset yang lebih kecil dan terkelola dengan baik. Ini menguatkan kesimpulan: sering kali, keputusan yang bermakna lahir dari data kecil yang ditata dengan baik, bukan dari lautan informasi yang membingungkan.
Kebangkitan Small Data: Cepat, Murah, dan Bermakna
Small data tidak datang untuk menggantikan big data. Ia hadir sebagai pengingat bahwa dalam banyak konteks, kebijaksanaan tak selalu membutuhkan ukuran. Satu grafik sederhana bisa lebih bermanfaat daripada jutaan titik data tanpa makna. Ini soal efisiensi, tapi juga soal memahami konteks dengan lebih tajam.
ADVERTISEMENT
Small data bisa berpotensi menjadi tulang punggung inovasi, khususnya bagi bisnis kecil dan menengah. Tidak dibutuhkan infrastruktur mahal, cukup log transaksi, spreadsheet, dan intuisi bisnis yang tajam. Di Indonesia, di mana sebagian besar bisnis adalah UMKM, pendekatan ini bukan hanya logis, tetapi juga adil. Small data membuka jalan bagi pelaku usaha kecil untuk tetap relevan, tanpa bergantung pada teknologi yang rumit dan mahal. Alih-alih menggantikan, ia memperkuatnya, menyaring data besar menjadi potongan informasi yang mudah dimengerti dan langsung bisa ditindaklanjuti.
Big dan Small: Bukan Lawan, Tapi Kawan
Dalam praktik terbaik, big dan small data bekerja berdampingan. Big data memetakan lanskap luas, sementara small data menjelajah celah-celah sempit dengan presisi. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya tak bisa dipisahkan.
ADVERTISEMENT
Di sektor transportasi, misalnya, big data membantu memetakan arus kendaraan secara makro. Namun untuk memahami kenapa satu jalan selalu macet di jam tertentu, observasi lokal atau rekaman CCTV bisa memberikan jawaban yang lebih akurat. Dalam hal ini big data dipakai untuk memantau performa menyeluruh, dan small data untuk mencari akar masalah secara mendalam.
Pemerintah pun bisa menggabungkan keduanya dalam kebijakan sosial. Big data dapat mengidentifikasi wilayah rawan kemiskinan, sementara small data dari wawancara komunitas memastikan bantuan tepat sasaran. Pendekatan ini menjembatani strategi nasional dengan realitas lokal.
Perdebatan di Dunia AI: Apakah Besar Selalu Lebih Hebat?
Model AI seperti ChatGPT dan Gemini dibangun dari raksasa data. Namun kini muncul kritik: seberapa efisienkah model-model besar ini? Konsumsi energi mereka luar biasa, dan hanya segelintir perusahaan mampu mendanainya. Ketimpangan ini memperbesar dominasi pemain besar, sementara negara-negara berkembang makin tergantung.
ADVERTISEMENT
Tapi harapan muncul dari model-model kecil. Mereka lebih hemat, fleksibel, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik. Teknologi seperti few-shot learning bahkan memungkinkan pembelajaran hanya dari beberapa contoh. Model few-shot learning ini seperti manusia yang belajar dengan sedikit latihan atau petunjuk. Bagi Indonesia, ini peluang besar untuk mengembangkan AI lokal yang memahami bahasa daerah atau perilaku konsumen UMKM, tanpa harus menunggu belas kasih teknologi luar.
Solusi untuk Indonesia: Membangun Ekosistem Data yang Inklusif
Potensi small data sangat besar, tapi hanya bisa terwujud jika ada dukungan sistemik. Di tingkat akar rumput, toko kelontong tak butuh cloud computing, mereka butuh pencatatan penjualan yang rapi. Tapi agar ini menjadi kebiasaan nasional, ekosistemnya harus dibangun.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan swasta bisa berkolaborasi dalam pelatihan literasi data untuk UMKM. Program seperti “UMKM Go Digital” bisa diperluas untuk mengajarkan analisis data sederhana dengan spreadsheet. Startup lokal juga bisa berperan dengan menciptakan aplikasi ringan yang mengubah transaksi harian menjadi laporan visual yang mudah dipahami.
Di ranah kebijakan, integrasi data besar dan kecil dapat memperkuat akurasi. Program seperti Kartu Prakerja dapat diperkaya dengan feedback lokal untuk menyesuaikan materi pelatihan. Di sisi teknologi, universitas dan komunitas digital bisa berfokus pada pengembangan AI hemat energi berbasis small data, guna menjawab kebutuhan lokal secara kontekstual. Semua ini hanya akan berhasil jika Indonesia berani meninggalkan narasi “lebih besar selalu lebih baik”, dan mulai menata narasi baru: “lebih bermakna, lebih memberdayakan.”
ADVERTISEMENT
Masa Depan: Data yang Lebih Cerdas, Bukan Lebih Besar
Apa yang kita butuhkan bukanlah data yang lebih banyak, tetapi data yang lebih cerdas. Data yang relevan, bisa ditindaklanjuti, dan mengakar pada kebutuhan nyata. Masa depan akan dimenangkan bukan oleh mereka yang punya segalanya, tetapi oleh mereka yang tahu cara memilih dan memaknai.
Big dan small data, bila dipadukan, akan menjadi simfoni pengetahuan. Big data membaca pola besar, small data menulis cerita kecil. Keduanya, jika dimainkan seperti musisi piawai, bisa menciptakan harmoni yang menggerakkan.
Indonesia punya peluang untuk memimpin pendekatan ini. Dengan menggabungkan kebijaksanaan lokal dan kecanggihan global, kita bisa merintis ekosistem data yang tidak hanya cerdas, tetapi juga adil dan manusiawi. Sebuah masa depan di mana data bukan hanya alat analisis, tapi juga jembatan untuk perubahan.
ADVERTISEMENT