Merayakan 'Spider-Man: Into The Spider-Verse'

Arif Utama
we all gonna die (hopefully soon)
Konten dari Pengguna
20 Desember 2018 9:34 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Merayakan 'Spider-Man: Into The Spider-Verse'
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Aku akan membuka tulisan ini dengan sebuah pengakuan: Aku betul-betul menggemari Spider-Man. Dan aku punya sejarah panjang dengan komik bikinan penulis gagal yang kemudian memutuskan untuk menjadi komikus yang dunia panggil Stan Lee itu.
ADVERTISEMENT
Spider-Man merupakan film kedua yang kutonton di bioskop. Seperti anak-anak kelahiran 1996 lainnya, tentu saja film pertama yang kutonton di bioskop adalah Petualangan Sherina. Tapi, lupakan Sherina apalagi Saddam dan kembali lagi dengan Spider-Man.
Seperti anak-anak lainnya, aku cukup masa bodoh dengan cerita film live-action Spider-Man edisi yang pertama. Aku menonton karena menyukai ide seorang pria bisa mendapatkan kekuatan super usai digigit laba-laba radioaktif.
Apalagi, sebelum menonton Spider-Man, aku didongengin kisah laba-laba yang melindungi Rasulullah SAW dari kejaran musuh. Subhanallah. Setelah menonton Spider-Man, aku beberapa kali berupaya menempelkan tanganku dengan laba-laba demi mendapatkan kekuatan super.
Tentu saja, percobaan bodoh itu tak pernah membuatku sukses menjadi siluman laba-laba. Tapi, bukan itu saja dampak dari menyaksikan Spider-Man. Utamanya ketika masih kecil, aku suka mengoleksi action figure-nya Spider-Man bikinan Hasbro.
ADVERTISEMENT
Mulai dari Spider-Man, dengan kostum orisinil merah-biru atau robek-robek hingga kostum hitam Venom kesukaanku, Green Goblin, Dr. Ock, Rhino, Venom, dan lainnya pernah mengisi lemari rumahku. Begitu juga dengan komik dan beberapa serialnya.
See, you get it now? Aku betul-betul suka dengan Spider-Man. Pertanyaannya, kenapa sih, aku cerita seperti ini? Simpel, karena setelah menyaksikan Spider-Man: Into The Spider-Verse, aku kembali merasa seperti anak kecil yang hidupnya selalu bersentuhan dengan hal-hal baru. Dan itu, rupanya, menyenangkan.
Yang Membuat Spider-Man: Into The Spider-Verse Menyenangkan untuk Ditonton
Hal yang paling menarik dari Spider-Man Into The Spider-Verse adalah aspek visualnya. Well, sebenarnya bukan kali ini saja franchise Spider-Man menerapkan gambar ala komik untuk produk-produk visual bergeraknya.
ADVERTISEMENT
Karena gim Ultimate Spider-Man yang dirilis Activision pada 13 tahun silam pun pernah memperkenalkan gaya komikal juga. Begitu juga dengan beberapa serial animasi The Amazing Spider-Man, utamanya yang tahun 2005 ke atas karena sudah menerapkan teknologi animasi tiga dimensi.
Walau begitu, trik ini sepertinya tak pernah basi. Apalagi Spider-Man: Into The Spider-verse menggarapnya secara serius. Setiap scene dalam film ini betul-betul mendetail dan penggunaan warna yang begitu segar kemudian melengkapinya. It feels like you watching a movie and reading a comic books at the same time.
Hal lainnya yang menggembirakan dari Spider-Man Into The Spider-verse adalah kehadiran ragam karakter. Tak mengherankan, karena aku sudah tahu bahwa film ini akan menjadi kisah crossover dari judul dan trailer-nya. Walau begitu, Marvel menunjukkan di film ini jika mereka tak lupa dengan seri-seri terdahulu dari Spider-Man.
ADVERTISEMENT
Bahkan, yang kurang sukses sekalipun. Seperti Spider-Ham. Cerita Spider-Ham sendiri kalau di komik bisa dibilang sangat aneh. Seekor babi menjadi korban eksperimen sains sehingga menjadi siluman laba-laba. Komik The Amazing Spider-Ham sendiri memang dibuat untuk lucu-lucuan saja dan tak begitu sukses jika dibandingkan seri-seri lainnya.
Sementara, karakter anime bernama Peni Parker dan robotnya merupakan karakter yang baru ada di Spider-Man: Into The Spider-verse. Kendati demikian, dari situ aku yakin jika Marvel sebenarnya masih ingat bagaimana mereka menjual Spider-Man di Jepang pada era 70-an.
Supaya sukses, Marvel mengenalkan Spider-Man dengan kisah ala Kamen Rider beserta motor saktinya. Oh ya, juga dengan robot raksasanya. Or maybe, its simply because kawaiines in anime always fit in on every occasions.
ADVERTISEMENT
Ketiga, karena Miles Morales. Miles digambarkan sangat relate dengan tipikal pemuda Brooklyn era kini. Dia mendengarkan Post Malone – atau lagu-lagu hip-hop lainnya, jago menggambar dan selalu mencari ruang berekspresi. Miles juga berbicara seperti milenial dari generasinya.
Di sisi lain, Marvel tak lupa Miles adalah remaja. Tak jarang dia merasa sok keren, tapi hampir selalu dia ketakutan. Plus, he’s a Spider-Man, so he always talk in the movie.
Terakhir, tentu saja alur cerita. Mulai dari pertemuan satu Spider-Man dengan Spider-Man lainnya, hingga konflik semua mengalir saja. Tanpa melupakan Miles Morales adalah fokus utama dari film ini. Walau begitu, sesuatu yang merupakan bikinan manusia takkan mungkin mencapai kesempurnaan, begitu juga dengan Spider-Man: Into The Spider-Verse.
ADVERTISEMENT
Tak Ada Gading yang Tak Retak
Ini bukan kekurangan, sih. Tapi aku merasa reuni Spider-Man ini kurang lengkap tanpa beberapa Spider-Man yang kurasa memang keren. Seperti Spider-Man 2099, yang datang dari masa depan. Atau Iron Spider, yang betulan memiliki enam kaki, dan memiliki senjata canggih seperti Iron-Man.
Atau juga tidak ada Spider-Man yang jago silat dan memiliki insting selayaknya Daredevil yang namanya adalah... Labah-Labah Merah. #localpride
Merayakan 'Spider-Man: Into The Spider-Verse' (1)
zoom-in-whitePerbesar
Tapi, aku mafhum jika inginku itu tak terpenuhi. Komposisi karakter dalam film ini sudah pas, sehingga bisa jadi menambahnya malah membuat eneg. So, we shall move on from that.
ADVERTISEMENT
Hal yang kupandang sebagai kekurangan film ini adalah musik. Seperti film Suicide Squad, Spider-Man: Into The Spider-Verse memiliki sejumlah lagu berlisensi yang bagus dan sayangnya hanya berakhir seperti tempelan saja.
Lainnya adalah bagaimana Peter Parker bereaksi dengan kematiannya. Setelah Peter kaget dia mati di dunianya Miles, masa dia tidak kaget juga mati di dunianya Gwen Stacy? Oh, come on…
Berita baiknya, kekurangan dalam film ini tak sampai level mengganggu. Sehingga film ini berhasil membuatku mengingat mengapa aku menggilai Spider-Man dengan sangat. Bahkan, aku merasa film ini adalah film Spider-Man terbaik yang tampil di layar besar. Kalau kamu, gimana?