Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Basa-basi 'demi Demokrasi'
14 April 2024 15:02 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ari Ganjar Herdiansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, tidak ada pemilu yang paling ironis dan penuh dengan plot twist selain dari pemilu 2024. Jokowi yang merupakan kader PDIP malah mendukung paslon Prabowo-Gibran, menempatkannya dalam posisi yang berlawanan dengan partainya sendiri. Dalam drama pemilu yang penuh intrik, Prabowo-Gibran keluar sebagai pemenang. Paslon dari PDIP, Ganjar-Mahfud, menempati posisi buncit dengan raihan suara 16 persen.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 juga sempat digegerkan dengan gelombang aksi protes dari kalangan akademisi berbagai perguruan tinggi. Para guru besar, dosen, dan mahasiswa menyuarakan keprihatinannya atas berbagai indikasi kecurangan, cawe-cawe presiden, dan intimidasi menjelang pemilu.
Penayangan film Dirty Vote memperkuat dugaan kecurangan pemilu yang diorkestrai oleh sang penguasa. Film yang disutradarai oleh Dhandy Laksono, aktivis lingkungan dan kemanusiaan, telah menembus 7 juta kali tayangan di YouTube dan memantik berbagai diskusi di kampus-kampus.
Pelbagai elemen masyarakat sipil baik dari akademisi, mahasiswa, maupun aktivis telah prihatin akan nasib demokrasi Indonesia ke depan. Mereka mempertanyakan nasib demokrasi apabila praktik-praktik lacung seperti nepotisme, intimidasi, dan politisasi aparatur negara dibiarkan begitu saja.
Mereka khawatir praktik-praktik demikian akan menjadi kenormalan baru (the new normal) dalam kehidupan politik kita. Perjuangan reformasi 1998, yang ditebus dengan nyawa para aktivis, akhirnya kandas di tangan segelintir elite yang haus kekuasaan.
Menariknya, keprihatinan sejumlah elemen masyarakat sipil selaras dengan kepentingan kekuatan parpol di kubu paslon 01 dan 03. Ketua Umum PDIP, Megawati, berkali-kali mengungkapkan kekesalannya karena kecurangan pemilu dan urgensi mengawal demokrasi Indonesia. Kubu paslon 01 tidak kalah keras menyatakan pelbagai dugaan kecurangan yang diduga ada intervensi presiden. Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Cak Imin, dan Mahfud MD seirama dalam menyuarakan pentingnya menyelamatkan demokrasi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Basa-basi Politik
Pertanyaannya, apakah ungkapan keprihatinan dari para elite politik tentang demokrasi Indonesia adalah tulus atau sekedar basa-basi? Pertanyaan ini relevan mengingat perilaku dan tindak-tanduk para politisi, baik sebelum maupun sesudah pemilu, sering berubah alias inkonsisten.
PDIP, misalnya, justru telah menggelar karpet merah bagi terbangunnya dinasti politik Jokowi dengan mengusung anak dan mantunya Jokowi di Pilkada Solo dan Pilkada Medan. Selama PDIP masih menikmati kekuasaan, mereka tidak pernah mempermasalahkan berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah yang mengganggu jalannya demokrasi.
Sebagai contoh, pada 2019, ketika berbagai elemen mahasiswa menentang RUU KPK, PDIP malah mendukung RUU tersebut. Pasca Pemilu 2024, di tengah belum redanya kemarahan sejumlah kader PDIP, Puan Maharani mengambil langkah mendekat ke Prabowo, mengindikasikan bahwa PDIP mungkin akan menjadi bagian dari koalisi pemerintahan yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Demikian pula Partai Demokrat yang selama sembilan tahun menjadi partai non-pemerintah dan senantiasa mengkritik pemerintahan Jokowi. Salah satu kritik utamanya adalah keprihatinan atas kualitas demokrasi negara ini yang kian memburuk. Susilo Bambang Yudhoyono bahkan sempat menuliskan unek-uneknya dalam sebuah buku merah yang berjudul “President Can’t Do No Wrong: Pilpres 2024 & Cawe-Cawe Presiden Jokowi.” Tapi, sakit hati karena merasa dikhianati Anies Baswedan, Partai Demokrat akhirnya berlabuh di kubu 02. Jokowi kemudian mengganjar Agus Harimurti Yudhoyono dengan jabatan Menteri ATR/BPN. Kritisisme elite-elite Partai Demokrat pun berbalik menjadi puja-puji terhadap Presiden Jokowi.
Partai-partai yang berseberangan dengan kubu 02 juga menunjukkan manuver-manuver yang kurang lebih serupa. Partai Nasdem, yang mana Surya Paloh juga sempat mengeluhkan jalannya demokrasi di bawah Jokowi, tampak menggeser haluannya ke kubu Prabowo. Demikian pula dengan PKB, PKS, dan PPP.
ADVERTISEMENT
Para elite partai-partai tersebut cenderung melunak, menunjukkan kemungkinan bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran. Padahal sebelumnya, mereka mengkritik presiden Jokowi atas intervensi kekuasaan yang berlebihan dalam kontestasi pemilu. Rencana hak angket pemilu yang sempat digaungkan di DPR akhirnya senyap.
Semua partai di luar kubu paslon 02 tampak menghadapi dilema politik yang sama: memilih bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran atau berada di oposisi. Realitas politik menuntut pertimbangan untung-rugi yang matang, di mana bergabung dengan pemerintahan tampaknya lebih menguntungkan. Hal ini meningkatkan kemungkinan koalisi Prabowo-Gibran akan terdiri dari mayoritas parpol atau bahkan semua parpol.
Merenungkan proses politik sebagaimana diuraikan di atas, terang bahwa kebanyakan elite politik kita hanya berbasa-basi menyatakan keprihatinan akan nasib demokrasi. Mereka cenderung memandang demokrasi sebagai prosedur dalam menentukan siapa di antara mereka yang berada di puncak kekuasaan. Komentar dari ketua MPR, Bambang Susatyo, yang menyatakan bahwa sistem politik Indonesia tidak memerlukan oposisi , semakin mengukuhkan pandangan ini.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, fungsi pengawasan dapat terjadi melalui proses musyawarah. Padahal, pendekatan demikian berpotensi menyebabkan homogenitas pandangan dan membatasi kritik dalam pemerintahan. Tanpa adanya peran oposisi yang efektif, pengambilan keputusan politik akan lebih didominasi oleh kepentingan para elite parpol.
Kecenderungan kompromistis elite politik Indonesia bukanlah fenomena baru, tetapi sudah berakar sejak awal reformasi. Dan Slater (2004), seorang analis politik asal AS, menggambarkan politik Indonesia mengarah pada kartelisasi.
Fenomena ini serupa dengan yang terjadi di beberapa negara Amerika Selatan, di mana elite politik membatasi pesaing dan lebih memilih kompromi sesama mereka. Hadiz dan Robison (2014) juga menggarisbawahi penguatan oligarki setelah jatuhnya Suharto, dengan desentralisasi kekuasaan yang memunculkan kekuatan baru elit lokal yang menganut pola patrimonialisme.
ADVERTISEMENT
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tidaklah berakhir, tetapi malah berlanjut dengan wajah baru melalui elite predator yang tersebar di berbagai sektor. Dalam perkembangan terkini, Jokowi yang semula diharapkan sebagai simbol anti-elite dan pembawa harapan baru, justru bertransformasi menjadi bagian dari elite politik yang dominan.
Penutup
Basa-basi elite politik tentang demokrasi justru sama bahayanya dengan KKN dan berbagai praktik non-demokratis lainnya. Ungkapan kekecewaan para elite parpol atas cawe-cawe presiden ternyata bukan atas kekhawatiran kondisi demokrasi, tetapi kekesalan karena kepentingan mereka tidak terakomodir. Apabila koalisi tambun benar-benar teralisasi, artinya berbagai kritik sejumlah elite parpol terhadap rezim penguasa tidak lebih dari sekadar gimik politik, mungkin demi meninggikan bargaining jatah kabinet.
Salah satu tantangan terberat dalam mempertahankan demokrasi kita adalah ketika semua elite politik bertindak mengatasnamakan demokrasi. Untuk membuktikan demokrasi kita baik-baik saja, mereka dapat merujuk pada berbagai indikator seperti indeks demokrasi versi BPS atau partisipasi pemilu yang relatif tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun pada nyatanya, demokrasi masih dijadikan label dari produk yang bernama oligarki, di mana kekuasaan negara didominasi dan dikelola untuk kepentingan para elite saja. Sementara ini, pertahanan terakhir demokrasi kita berada di tangan kekuatan masyarakat sipil. Kalaulah kebanyakan aktor masyarakat sipil kemudian terserap dalam pusaran kepentingan rezim oligarki, tamat sudah demokrasi Indonesia.