Kesempurnaan dan Pemilu

Ario Tamat
Failed Musician, Reformed Gadget Freak and Eating Extraordinaire. Previously Wooz.in and Ohdio.FM, now working on karyakarsa.com
Konten dari Pengguna
13 Februari 2024 11:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Tamat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kotak suara. Iya, kotak suara saya isinya kucing.
zoom-in-whitePerbesar
Kotak suara. Iya, kotak suara saya isinya kucing.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Besok kita akan memasuki ritual tahunan sesuatu yang biasa dilakukan negara yang berdemokrasi, yaitu pemilihan umum. Untuk banyak orang, akhirnya ini lebih seperti ritual atau kebiasaan, ketimbang wadah untuk mengungkapkan aspirasi dengan cara memilih perwakilan yang akan diberi mandat legislatif maupun eksekutif. Dan sama seperti banyak orang, saya melihat proses ini dengan apatis.
ADVERTISEMENT
Kenapa?
Ya karena, pada akhirnya, semenjak Reformasi 1998, proses demokrasi kita malah lebih banyak mengantarkan kekecewaan hal ini dan hal itu. Meskipun tampaknya proses pemilihan sejauh ini masih berlangsung bersih dan lancar, calon-calon anggota legislatif sampai eksekutif seringkali berasal dari lingkar-lingkar kelompok yang sayangnya tidak seirama dengan lembaga yang mereka isi, untuk mewakili rakyat. Alih-alih, bergaya "penguasa" seperti membentuk strata kelas baru, lengkap dengan pengawal yang berisik.
Ritual ini lengkap dengan kemunculan gambar-gambar khas pemilu dengan foto, nama lengkap, nomor urut dan partainya, dalam kejadian yang hanya muncul lima tahun sekali. Di luar itu, tak tahu rimbanya muka-muka tersebut. Selama tinggal di daerah yang saya tempati selama 20 tahunan, tak pernah berjumpa dengan mereka sekalipun, apalagi mendengarkan isi kampanye caleg. (Kalau capres, dijejali terus di sosmed dan di media).
ADVERTISEMENT
Dari hal-hal ini pun, wajar banyak orang apatis. Kelompok ini hanya meminta perhatian kita - dan suara kita - lima tahun sekali, untuk kemudian antara tidak berdampak apa-apa ke kehidupan kita, atau membuat legislasi yang malah membuat orang susah. (Catatan: tentunya tidak adil menilai kinerja DPR hanya dari legislasi yang banyak sisi negatifnya). Kalau lembaga eksekutif seperti Presiden sih, seolah hadir terus, apalagi di sosmed, baik membahas baik maupun buruk tindakannya.
Tapi ya gini - rasa apatis ini timbul dari persepsi. Bukan kenyataan.
Entah kenapa manusia tanah ini senang sekali mencari kesalahan. Yang tampak bagus, dicari-cari kesalahannya - ada nila setitik, ramai di social media sebelanga. Yang tampak jelek, antara dipergunjingkan terus, atau malah dimaklumi saja, toh memang jelek. Yang memiliki niatan baik harus sempurna tanpa cacat; kalau ada cacat sedikit, tak layak! Beli tomat aja kita pilih yang bagus kok, masa milih perwakilan rakyat untuk legislatif dan eksekutif nggak boleh cari yang sempurna?
ADVERTISEMENT
Pemilihan presiden aja dilengkapi dengan berbagai babak debat, yang akhirnya menjadi pertandingan mencari kesalahan lawan atau memikat hati pemilih, bukan memperdebatkan gagasan kebijakan. Jadi etalase untuk mengkonfirmasi prasangka, ketimbang duduk berpikiran terbuka. Ya, sifat manusia abad 21 sepertinya memang terbawa seperti ini, karena memang banyak kekecewaan yang tertumpuk di hati, mencari wujud untuk dipersalahkan, diamplifikasi kebisingan media sosial, grup WA, dan berbagai media komunikasi lain.
Tapi, gini.
Ada dua poin argumen saya dalam artikel ini.
Untuk Pilpres: yang kita pilih itu manusia, seperti kita, yang tidak sempurna. Kelompok yang menyokongnya pun berisi manusia tidak sempurna. Seperti analogi tomat tadi, yang kita pilih ya yang tampaknya bagus, tapi ya pas udah dibeli belum tentu. Itulah memang risikonya. Dan dari pengalaman kita belajar, misalnya, untuk jangan memilih yang seperti apa. Dan sisanya memang, tergantung gimana masa depan terkuak.
ADVERTISEMENT
"Kok pilihan capresnya gini amat semua? Ih mending ga milih deh."
Ini kalimat yang sering saya dengar, terutama dari saya sendiri. Masa sih, dari sekian ratus juta manusia Indonesia, calon yang bisa ditawarkan "cuma" yang ini? Demokrasi dan proses menuju pemilihan pun tidak sempurna. Tapi, tetap bisa kita ubah! Saya tetap mendukung prinsip demokrasi, ketimbang mendengar suara-suara yang kala itu menggaungkan "ganti sistem" dan menawarkan sistem yang sudah pasti lebih buruk. Kenapa lebih buruk? Karena tidak bisa diubah. Masuk ke argumen poin kedua.
Untuk Pileg: yang kita pilih itu manusia juga, tapi nanti mereka bekerja secara partai/fraksi. Lucunya, kita terekspos dengan materi kampanye kubu capres cawapres berbulan-bulan, tapi partai-partainya sendiri yang mengusung capres tak pernah (setidaknya, tidak sampai di saya) bercerita soal rencana kebijakan yang ingin dibuat jika terpilih masuk DPR. Yang ada hanya pas foto, nomor urut, partai, dapil, dan kadang slogan-slogan kosong. Ini, menurut saya, cacat besar dari proses pemilu kita. Dan bukan salah partainya saja - kita sebagai warga juga kurang kritis untuk menuntut ini.
ADVERTISEMENT
Masuk ke kesimpulan: untuk Pemilu besok, begini saran saya.
Pilpres: jangan nggak milih. Harus pilih. Salah satu. Calon-calonnya nggak sreg? Cari sampai ketemu. Ini tanggung jawab dan privilege kita sebagai warga di negara berdemokrasi. Kesal dengan kenapa harus selalu "choose the lesser evil"? Balik ke poin di atas - gak akan ada yang sempurna, semua pasti ada cacatnya. Lihat dari semua aspek, bukan cuma cacatnya. Dan tentunya, "cacat"nya ini dealbreaker atau tidak.
Pileg: Nah, di sini saya agak ingin chaos. Kinerja DPR sejauh ini tidak istimewa. Lihat saja di situs DPR:
Prolegnasnya cuma selesai 10%.
Sebagai bandingan, di Amerika Serikat (negara yang menurut saya, cermin yang menarik untuk kondisi Indonesia), US Senate telah menyelesaikan 132 legislasi - dari Januari 2023 sampai sekarang. Lebih banyak lagi dalam periode-periode sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Kitanya sendiri sebagai warga cuek dengan kerjanya DPR sih, sampai ada ramai di media, biasanya kalau sudah menuju persetujuan, dan menyangkut langsung ke, misalnya, ketenagakerjaan, atau pajak. TAPI. Ada tanggung jawab para wakil rakyat juga mensosialisasikan rencana kebijakan, meminta masukan masyarakat dan memperjuangkan kepentingan masyarakat di sana. Kita kan udah milih mereka kan? Masa nggak bisa wakilin kita.
Jadi, untuk Pileg, agak susah. Kalaupun kita pilih caleg yang menurut kita dapat menyuarakan aspirasi kita, belum tentu dia masuk DPR karena mengikuti nomor urut dari partai, dan toh nanti akan membuat fraksi dan memberi suara senada dengan fraksi. (Terus buat apa ada caleg perorangan ya? Saya juga bingung. Oh iya, kalau ada yang salah dengan kesimpulan saya di atas, mohon dikoreksi ya).
ADVERTISEMENT
Jadi, kalaupun kita merasa para partai adalah refleksi kaum elit dan oligarki... mari pilih yang menurut kita bukan bagian dari elit dan oligarki. Atau cari caleg yang independen dari dapilnya, kalau ada. Dengan tujuan toh kinerja DPR gak bagus-bagus amat sebelumnya, jadi kita sekalian buat chaos saja supaya setidaknya kita terhindar dari legislasi yang aneh-aneh dan hanya berpihak ke kaum elit dan oligarki. HA HA HA.
[Catatan lagi: untuk DPD, kemarin diskusi dengan teman, akhirnya saya bingung juga, dan pilih dari foto yang paling nggak niat dari website ini. Kalau fotonya niat, berarti secara bawah sadar pun udah lebih mikirin citra diri ketimbang apa yang dibutuhkan rakyat. Asumsi lemah, memang, tapi gimana lagi milihnya?]
ADVERTISEMENT
Idealnya, kita dapat memilih wakil rakyat yang dapat menyempurnakan proses pemilihan kita yang absurd ini. Mudah-mudahan aspirasi dari rakyat yang sebal dengan segala ritual ini dapat sampai ke orang yang tepat. Tentunya kami sebagai warga pun tidak sempurna ya, banyak mau tapi nggak mau baca atau belajar. Mudah apatis pula. Tapi ya, mau ke mana lagi selain maju? Masa mundur?