Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bahayanya Feodalisme di Dunia Pendidikan
5 Oktober 2024 13:03 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ariq Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ketika disebutkan kata "sekolah" atau "Pesantren" tentu yang lekat dalam ingatan adalah suasana "belajar mengajar", atau pada sebagian siswa mungkin membayangkan "sekolah" atau "Pesantren" itu suatu kengerian yang penuh dengan puluhan aturan, tugas tugas, hukuman dan sederet momok yang menakutkan lainnya. terlebih lagi andil dari media sosial yang begitu luar biasa mempromosikan nuansa sekolah dan pesantren dengan segudang kasusnya.
ADVERTISEMENT
hal semacam ini tentulah memberikan kesan yang negatif untuk dunia pendidikan, di antara dampak yang nyata yaitu pada sisi moril dan psikologis siswa dan orang tua siswa, terlebih lagi memiliki dampak yang signifikan pada tenaga pendidik. bagaimana tidak, kepercayaan publik seakan kian hari semakin berkurang kepada tenaga pendidik yang tidak menjalankan amanahnya dengan baik. akhirnya, simbol figur pendidik yang buruk akan selalu melekat kepada "guru" yang pada realitanya tidak semua guru itu buruk.
Namun, itulah fenomena sosial pendidikan yang terjadi saat ini,
mungkin inilah pepatah yang tepat untuk menggambarkan posisi tenaga pendidik saat ini. satu atau dua orang yang membuat ulah, semuanya kena getahnya. lalu pertanyaannya mengapa hal tersebut bisa terjadi?. mungkin harus dilihat pada sisi yang lebih mendasar yaitu orientasi dari "pendidikan" itu sendiri. terkadang, tidak sedikit dari para "guru" dan ustadz membayangkan bahwa sekolah itu tempat belajar mengajar yang memiliki sistim dan aturan yang berlaku dan administrasi pendidikan yang kian membeludak.
ADVERTISEMENT
teknis yang tertulis juga bisa sebagai alasan yang cukup menguras tenaga, pikiran bahkan psikis dari seorang guru yang dibebani dengan segudang laporan untuk keperluan administrasi. Akhirnya, hal ini memberikan dampak pada pengayaan dan pengajaran yang mengedepankan teknis yang kaku dan monoton, ketimbang pengembangan dan kreatifitas pengajaran. Sederet aturan juga ditetapkan agar tercipta pembelajaran yang kondusif, namun tanpa disadari siswa seakan akan diprogram seperti robot yang mengikuti perintah tanpa bisa membantah.
Sedikit demi sedikit, aturan yang kian hari semakin bertambah menciptakan ruang gerak bagi guru dan murid semakin sempit. akhirnya mematikan daya kritis dan kreatifitas. mengapa demikian?, ada dua alasan pokok yaitu: 1. karena segudang aturan maka guru dan murid akan dibayangi dengan segudang hukuman dan sanksi. 2. persepsi murid kepada guru, bahwa seorang murid harus patuh dan taat pada guru.
jika kita ulas, aturan dibuat agar terciptanya keteraturan dan keharmonisan yang baik. begitupun dengan kedisiplinan untuk membentuk sikap profesionalitas. terkadang, stigma sekolah dan pesantren yang penuh dengan aturan dan kepatuhan mutlak kepada guru atau ustadz bisa menjadi bumerang bagi keberlangsungan pendidikan, mengapa demikian?. karena tidak terbukanya pintu "ijtihad" untuk menelaah kebenaran dari mematuhi semua yang diperintahkan guru atau ustadz.
ADVERTISEMENT
Sehingga memunculkan persepsi bahwa murid yang berani melawan perintah dari guru atau ustadz akan dikenakan sanksi yang berat. bahkan lebih ironisnya, sebagian tenaga pendidik menggunakan hak dan wewenangnya untuk mengeksploitasi murid. terlebih lagi di pondok pesantren, di pesantren figur ustadz merupakan titel yang melekat padanya nilai-nilai agama dan religius. sayangnya ada beberapa oknum dengan menggunakan wewenangnya sebagai ustadz mengeksploitasi santri dengan dalih "keagamaan", bahkan ia tidak sungkan-sungkan menggunakan dalil-dalil agama untuk membenarkan perbuatannya.
fenomena yang kerap terjadi dilingkungkan pesantren tentunya berdampak juga pada sekolah sekolah negeri. pasalnya persespi masyarakat akan mengatakan:
ADVERTISEMENT
bagaimanapun juga, segala bentuk penyelewengan yang mengatasnamakan wewenang guru atau ustadz untuk hal hal yang menguntungkan pribadi semata tidak dapat dibenarkan. karena dapat merusak citra baik pendidik dan mencoreng kemuliaan profesi guru dan ustadz. maka hal semacam ini perlu untuk dibenah dan direnungi secara mendalam, terkhusus bagi para wali murid yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah atau pesantren, perlu dilakukan pertimbangan dan penilaian yang cermat sebelum memasukkan anaknya ke salah satu sekolah atau pesantren.