Konten dari Pengguna

Membangun Persepsi Diri Dan Dampaknya

Ariq Hidayat
Tenaga Pendidik IAIN Kerinci, Pengamat Sosial & Ilmu Keislaman
15 Oktober 2024 9:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ariq Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi topeng, sumber: https://images.pexels.com/photos/685674/pexels-photo-685674.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=1
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi topeng, sumber: https://images.pexels.com/photos/685674/pexels-photo-685674.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=1
ADVERTISEMENT
Apa yang terpikirkan oleh kita, ketika kita melihat seseorang dengan pakaian yang kumuh dan lusuh, badan yang kurus, rambut yang acak-acakan, tambalan baju disana sini, dan ia sedang berkeliling ke sana kemari dipojokkan pasar?, mungkin kita akan berasumsi bahwa orang tersebut adalah pengemis yang sedang meminta-minta. Atau ketika kita berbicara dengan sahabat yang sangat akrab dengan kita, namun suatu waktu ia memalingkan wajahnya, atau tidak bertegur sapa seperti biasanya, seri di wajahnya berubah sinis, dan intonasi bicaranya yang tinggi, jika bertegur sapa dijawab dengan singkat dan ringkas tidak seperti biasanya?. Mungkin akan terbesit di dalam hati kita, bahwa ada hal yang tidak beres dengan hubungan persahabatan tersebut, atau ada permasalahan yang tak bisa diungkapkan, dan banyak pikiran negatif yang melayang-layang didalam benak kita.
ADVERTISEMENT
Begitupun sebuah paradoks, di mana seseorang yang kerap kita kenal dengan sifatnya yang pelit, judes, antisosial, pemarah dan segudang hal negatif lainnya, tiba-tiba baik dan ramah, murah senyum dan pemurah, sabar dan humoris. Tentunya terbesit di dalam hati kita bahwa ada suatu hal yang merubah orang tersebut, ataupun kita yang berprasangka bahwa orang ini memiliki maksud terselubung.
Itulah beberapa contoh yang kita maknai dengan “persepsi”, di mana kita sebagai individu menilai individu yang lain berdasarkan atribusi yang melekat pada diri seseorang, baik berupa verbal maupun nonverbal. Meski demikian, persepsi itu seperti satu koin yang memiliki dua sisi. Artinya, kita tidak hanya bisa menilai dari sisi diri kita sendiri, namun perlu untuk melihat bangunan sosial yang membentuk suatu polarisasi dari model referensi suatu persepsi. Contohnya, kenapa perilaku homoseksual dianggap menyimpang?. Maka mudahnya kita akan menjawab, karena perilaku homoseksual itu melanggar norma agama, adat, sosial dan kodrat kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Atau kenapa ketika anak-anak mencuri, berbuat asusila dan bullying dianggap bagian dari masa pubertas yang mesti dimaklumi?. Atau contohnya lagi, adat istiadat disuatu daerah dipandang sebagai aturan yang tabu dan pantang untuk dilanggar, apabila dilanggar maka akan ada konsekuensi hukum dan sanksi sosial dari masyarakat itu sendiri. Hal ini menandakan ada pengaruh sosial yang ikut andil dalam membentuk persepsi terhadap suatu hal. Tetapi pada pembahasan kali ini, penulis hanya berfokus tentang membangun persepsi diri dan sejauh mana dampaknya.
Contohnya, seseorang yang mendapatkan kabar tentang istrinya yang telah melahirkan, maka akan timbul suatu pertanyaan bagi suami tersebut, seperti apa ayah yang ideal itu?. Atau seorang guru yang baru mulai mengajar, maka ia akan memosisikan dirinya sebagai guru yang ideal setidaknya menurut keyakinannya sendiri, begitupun seterusnya.
gambar rubik, sumber: https://images.pexels.com/photos/437345/pexels-photo-437345.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=1
Dalam pandangan ilmu psikologi sosial, seseorang akan mengevaluasi dirinya sendiri (menilai diri sendiri) kemudian membangun impresi dan atribut agar relevan dengan kondisi dan situasi yang dialaminya. Oleh karena itu, tahap evaluasi diri dalam upaya membangun persepsi diri memiliki beberapa poin:
ADVERTISEMENT
a. Penonjolan ciri khas (unifikasi)
b. Skema diri (mental framework)
c. Verifikasi diri: memilah skema diri yang mungkin dan sesuai
d. Atribusi diri: menetapkan model
Kita ambil sebuah contoh seperti orang egois, orang yang egois tidak akan menyadari bahwa dirinya egois, karena ia menjadikan dirinya sebagai sentral penilaian, sehingga orang yang tidak sesuai dengan harapannya akan dipandang rendah. Begitupun orang yang merasa dirinya pintar, maka ia akan menetapkan standar yang tinggi pada orang lain sesuai dengan yang ia inginkan, apabila standar itu tak terpenuhi maka ia memandang orang lain dengan sebelah mata. Artinya, ia menetapkan standar dirinya pada orang lain. Meskipun pada kenyataannya ia tidak memiliki standar ideal tersebut pada dirinya sendiri, dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah “narsisme”.
ADVERTISEMENT
Sehingga persepsi diri rentan akan bias dan absurdisme, hal ini dipengaruhi oleh tiga hal:
1. Efek justifikasi berlebihan: adanya ekspektasi atau harapan yang berlebihan pada seseorang. Penyebabnya adalah controlling reward, yaitu menilai orang lain dengan positif dan negatif berdasarkan dirinya sebagai referensi.
2. Excitation transfer: situasional atau kondisi emosi mempengaruhi penilaian. Seperti seorang guru memberikan nilai yang baik kepada murid favoritnya meskipun ia tidak menjawab ketika ujian.
3. Ilusi kontrol: pejudi akan terus berjudi karena ia berkeyakinan akan menang, meskipun ia mencobanya berkali-kali sebab ilusi kemenangan melekat dalam benaknya. Atau orang yang memiliki tingkat percaya diri yang terlalu tinggi akan berhalusinasi bahwa ia hebat, pintar dan lain sebagainya, tapi kenyataannya tidak demikian. Hal ini sama dengan kondisi narsisme yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, memersepsikan diri dengan ideal itu baik, tetapi tetap pada batas-batas kewajaran. Sebagaimana kata para ulama:
Maka hendaklah kita menilai diri dan tau diri, sebelum menghakimi orang lain.