Orientalis Kawan atau Lawan?

Ariq Hidayat
Mahasiswa Megister Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Imam Bonjol Padang
Konten dari Pengguna
26 September 2022 16:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ariq Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi peta dunia, Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/vintage-arah-panduan-perjalanan-697662/
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi peta dunia, Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/vintage-arah-panduan-perjalanan-697662/
ADVERTISEMENT
Blok Timur dan Barat memiliki chemistry tersendiri yang mendalam dan membekas dalam Tinta-tinta sejarah dan terus berkelindan hingga saat ini, terlebih lagi dunia Islam dan dunia Barat yang dijembatani oleh Orientalisme. Kajian yang bersifat Oriental menjadi begitu populer dikalangan orang Barat pada awal abad ke-16 Masehi, secara historis tentunya tak terlepas dari romansa masa lampau yang menjadi dorongan kuat bagi para Sarjanawan Barat untuk menggali persoalan-persoalan ketimuran.
ADVERTISEMENT
Tak dapat dipungkiri, Orientalisme pada kenyataanya muncul dikarenakan atas dorongan kepentingan yang bersifat agamis, namun lambat laun perspektif yang awalnya didasari atas keagamaan beralih kepada kepentingan yang bersifat akademis. Meski demikian, lontaran dan komentar para Orientalis tak terlepas dari nada-nada yang agaknya terdengar rasial dan imperialis. Sehingga tidak mengherankan lagi bahwa ujaran-ujaran kaum Orientalis bernada pedas dan frontal.
Hal ini menjadi suatu fenomena yang memalukan ketika kaum Orientalis berdalih atas dasar Objektifitas-akademis dan demi kepentingan ilmiah malah bernada subjektif dan etnosentris. Ringkasnya, kajian Timur yang berasaskan ilmu Barat telah di frame dengan pengalaman imperialisme dan kolonialisme. Sehingga jauh dari kata objektifas ilmiah, meskipun penulis tidak mengklaim bahwa seluruh Orientalis bersikap demikian, namun ada juga segelintir cendikiawan Barat yang bersikap netral dan lebih terbuka dalam mengkaji persoalan ketimuran.
ADVERTISEMENT

1. Munculnya Isltilah Orientalisme

Kata Orientalisme masih simpang siur kapan awal mulanya muncul dan dipakai dalam literatur dan di dunia akademisi, beragam opinipun bermunculan diantaranya, bahwa kata Orientalis telah dikenal luas di Perancis yang merujuk kepada peristilahan Para Seniman yang menirukan ketimuran dalam artian yang luas pada awal abad ke-19 Masehi (Teng, 2016). Namun Juan E. Campo beranggapan bahwa orang-orang Yunani Kuno telah membuat perbedaan antara mereka di Barat Occident dan orang-orang dari Timur Orient yang berarti dimana saja di Timur mereka, dari Asia Kecil ke Tanah Mediterania Timur dan seterusnya (Eduardo, 1950). Berbeda halnya dengan Edward Said yang mengasumsikan bahwa asal kata Orientalisme yaitu kata Oriental telah digunakan sejak abad ke-14 Masehi oleh Chaucer dan pada abad ke-16 Masehi oleh William Shakespeare yang merujuk kepada Asia atau Timur secara geografis, moral dan budayanya (Said, 1979).
ADVERTISEMENT
Abd. Rahim meyakini bahwa kata Orient berasal dari bahasa Perancis yang berarti Timur namun ia tidak menyebutkan kapan awal mulanya kata ini dipopulerkan (Rahim, 2010). Penulis memiliki pandangan yang berbeda, sebab besar kemungkinanya kata Oriental telah digunakan sebelum Chaucer ataupun Shakespeare mempopulerkannya, dengan asumsi kata Oriental telah digunakan secara resmi di dunia akademis oleh Gereja Viena pada tahun 1312 Masehi dengan dalih bahwa Gereja Viena merupakan pencetus kurikulum yang membahas tentang ketimuran pada sejumlah lembaga penelitian secara resmi di Universitas-universitas Eropa (Teng, 2016).

2. Pengertian Orientalisme

Terlepas dari beragam asumsi yang belum pasti akan awal mulanya muncul kata Orient secara historis, tentunya kesemuanya itu tidak mempengaruhi makna dan leksikal dari kata itu sendiri. Kata Orientalisme secara etimologinya tergabung dari satu akar kata yaitu “Oriental” atau Orient yang berarti ketimuran, dan digabung dengan kata "Isme” yang berarti faham atau aliran, sedangkan orang yang mempelajari ketimuran disebut Orientalis, pada konteks ini kata Orientalisme dimaknai sebagai peniruan atau penggambaran unsur-unsur budaya Timur di Barat (Luthfan, 2013).
ADVERTISEMENT
Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Oxford Learner’s Dictionary kata Orientalis berarti Ahli Bahasa, Seni, kesusastraan, dan kebudayaan Bangsa-bangsa Timur (Asia) (KBBI Kemdikbud) (Oxford learners dictionary) di lain sisi Menurut Kamus Webster’s New Twentieth Century Dictionary of The English Language, Orientalisme adalah Study of Eastern Culture, sedangkan orang yang concern dengan studi ketimuran dinamakan dengan Orientalis (a student of Eastern Culture) (Khaldun, 2007).
Secara terminologi Orientalisme memiliki berbagai macam pemahaman dari para ahli diantaranya:
a. Hasan Hanafi
b. Edward Said
ADVERTISEMENT
c. Hasan Abdul Rauf
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Orientalisme adalah kajian yang dilakukan oleh orang Barat terhadap Bangsa Timur yang berkaitan dengan Bahasa, Budaya, Agama, Politik dan hal-hal lainnya yang menyangkut tentang ketimuran dari segala lini dan sisinya.

3. Sejarah Munculnya Orientalisme

Jika Orientalisme difahami sebagai “ilmu tentang ketimuran” yang dipelajari oleh Orang Barat, maka menurut hemat penulis perlu sedikit disinggung tentang kontak pertama antara Bangsa Timur dan Bangsa Barat. Dari sekian literarur yang penulis temui, mayoritasnya menyimpulkan bahwa Orientalisme bertolak dari kejayaan Islam yang telah sampai pengaruhnya ke wilayah Maroko hingga Andalusia Spanyol dan dari wilayah Tunisia hingga Sisilia Italia pada abad ke-7 sampai 10 Masehi dimana banyak dari para Pelajar Barat yang menuntut ilmu di Andalusia adapula yang menyebutkan dimulai pada era Perang Salib (Teng, 2016).
ADVERTISEMENT
Namun Abd. Rahim melihat kontak antara Bangsa Barat dan Timur dari perspektif yang lebih luas yaitu telah terjadi sejak abad ke-600-300 SM antara Imperium Greek Tua (Yunani Kuno) dengan Imperium Parsi (Persia) pada masa ekspansi dan militer, akibat adanya kepentingan tersebut, tentunya mendorong kedua belah pihak untuk saling mengenal, lalu dilanjutkan pada abad ke-300 SM oleh Alexsander The great hingga masa Islam di Spanyol dan pada era Napoleon Bonaparte ke Mesir (Rahim, 2010, hal. 182)
Maka jelaslah Benih-benih Orientalisme telah ada sejak lama bahkan jauh sebelum bangkitnya Islam, ini menandakan bahwa Orientalisme tidak serta merta bermula dari abad ke-7 Masehi namun telah ada sejak masa abad ke-6 sebelum masehi. Maka peristiwa ini bisa dijadikan landasan sebagai cikal bakal atau embrio munculnya wacana Orientalisme dimana kelak puncaknya terjadi pada masa perang salib hingga dikemudian hari menjadi terlembaga dan terstruktur sebagaimana di era dewasa ini. Oleh sebab itu untuk melihat sejarah munculnya Orientalisme secara sistematis maka penulis membaginya menjadi empat fase yaitu:
ADVERTISEMENT
a. Pra Islam
Masa pra Islam secara ringkas telah penulis jelaskan diatas sehubungan dengan kontak militer antara Yunani dan Persia hingga masa Alexander the great maka pada poin ini penulis tidak menjelaskan secara lebih lanjut.
b. Kejayaan Islam
Mayoritasnya para sejarawan memulai Orientalisme pada masa Dinasti Umayyah meskipun intensitasnya masih rendah namun puncaknya kaum Orientalis bermunculan ketika masa Dinasti Abbasiyah hal ini terjadi melalui wilayah kekuasaan Islam yang telah sampai di wilayah Syiria, Mesir, Afrika Selatan, Tunisia, Spanyol dan Sisilia yang tiada lain merupakan pusat Dunia Kristen dan Byzantium (Khaldun, 2007, hal. 2).
Pada awal abad ke-8 Masehi, setelah Islam berhasil mengambangkan pengaruhnya dan berhasil mendirikan kerajaan di Andalusia, Islam pada saat itu mencapai puncak kegemilangan ilmu pengetahuan dan pusat pendidikan didunia. Sejarah mencatat ada empat perguruan tinggi tertua di dunia Islam yaitu perguruan tinggi Nizamiyah (Irak), Al-Azhar (Kairo), Cordova (Spanyol) dan Kairawan (Maroko). Keempat perguruan tinggi inilah yang sangat mempengaruhi Dunia Barat (Rahim, 2010, hal. 183). Pada masa ini pulalah Orang-orang Barat berbondong-bondong menuntut ilmu di beberapa perguruan tinggi Islam khususnya di Baghdad dan Andalusia.
ADVERTISEMENT
c. Perang Salib
Sebelum meletusnya Perang Salib Orang-orang Barat yang merupakan penduduk asli di Andalusia merasakan pengaruh yang kuat akan adat istiadat Arab bahkan menggunakan Bahasa Arab sebagai alat komunikasi. Peradaban Islam tidak hanya mempengaruhi Bangsa Eropa tetapi juga menyebar ke Daerah-daerah diluar Eropa, penuntut ilmu dari Perancis, Inggris dan Jerman pun berdatangan menuntut ilmu di Universitas dan perguruan tinggi Islam di Andalusia. Dalam suasana inilah munculnya akademisi Orientalis di kalangan Bangsa Barat, Bahasa Arab dipandang sebagai bahasa penghubung ilmu pengetahuan dan banyak perguruan tinggi Eropa yang menjadikan Bahasa Arab sebagai kurikulum wajibnya. (Rahim, 2010, hal. 185)
Pada masa Perang Salib dari tahun 1096-1291 Masehi Kristen banyak mengalami kekalahan, kemelaratan, dekadensi moral dan kebodohan yang terjadi akibat penguasa yang terlalu fokus pada peperangan. Oleh sebab itu, dibentuklah lembaga Pertama Studi Islam untuk tujuan Missionarisme pada abad ke-12 di masa Peter Agung (1094-1156 Masehi) di Perancis dan menjadi lembaga utama pengetahuan kristen. (Rahim, 2010, hal. 186) Dan di masa Peter Agung ini pulalah terjadinya penerjemahan Besar-besaran Buku-buku berbahasa Arab ke Bahasa Perancis dan Bahasa Barat lainnya.
ADVERTISEMENT
Maka pada dasarnya Orientalisme secara konseptual memiliki kaitan hebat dengan sejarah Islam. Dalam berbagai literatur gerakan Orientalisme muncul dikarenakan refeleksi atas peristiwa Perang Salib yang terjadi pada abad ke-11 sampai berakhirnya kekuasaan Islam pada abad ke-15 Masehi. Maka dapat dipastikan bahwa wacana Orientalisme berkaitan erat dengan Psiko-historis yaitu adanya traumatik dan sentimen kepada Islam disebabkan oleh peperangan-peperangan masa lampau.
d. Pencerahan di Eropa Hingga era Modern
Diantara implikasi penerjemahan besar-besaran yang terjadi pada masa Peter Agung dan peristiwa Perang Salib diatas berdampak atas beragam karya para Orientalis yang lahir pada masa setelahnya, pada akhir abad ke-15 Masehi hingga awal abad ke-16 Masehi lahirlah gerakan Orientalisme yang sebenarnya hal ini ditandai dengan didirikannya Pusat-pusat kajian keislaman di Kota-kota penting Eropa seperti di Universitas Sorbone Perancis, Universitas Leiden lalu disusul oleh Univesitas Oxford dan Cambridge diantara tokohnya kita katakanlah seperti Epernius di Leiden pada tahun 1613, pada awal abad ke-19 ada Silvester de Sacy yang menerbitkan buku Gramatikal bahasa Arab selanjutnya seperti Etienne Quatremere, Emmanuel Sedillot dan Cousin de Perceval (Luthfan, 2013, hal. 136-139).
ADVERTISEMENT
Demikianlah Orientalisme terus bergulir dan berkembang sampai awal abad ke-20, pada masa awal abad ke-20 Orientalisme menjamur di lingkungan akademik Universitas-universitas Barat, seperti di Oxford University ada Margoliuth ahli Bahasa Arab (1889 M), di Universitas Cambridge ada Brown, Theodor Noldeke, Karl Heinrich Becker di Hamburg, Hartman di Berlin, Snouck Hurgronje di Leiden dan seorang pakar studi Agama Islam Ignaz Goldziher. Pada pertengahan abad ke-20 ini ada Masignon di Perancis, R.A Nicholson di Inggris dan J. Schact dari Jerman. (Luthfan, 2013)
Dalam analisa penulis, hal yang menjadi penunjang gerakan Orientalisme lahir secara akademis dan terstruktur disebabkan oleh beberapa faktor 1. Faktor ekonomi: pada Penghujung abad ke-18 terjadilah revolusi industri di Barat, sehingga terciptanya perdagangan secara besar-besaran, dibalik itu semua Bangsa Barat mulai menyelinap untuk menguasai Daerah-daerah daganganya yang notabenenya di Timur sehingga mengakibatkan kolonialisme (Teng, 2016, hal. 49). Menurut hemat penulis dalam dunia industri setidaknya ada tiga komponen penting yang menjadi pilar penopang perindustrian yaitu 1. Tenaga kerja 2. Bahan baku dan 3. Pasar, maka lewat dorongan inilah kolonialisme berkembang.
ADVERTISEMENT
Kedua faktor politik dan kolonialisme: di abad ke-19 ekspansi Barat ke Daerah-daerah Timur terjadi diantara faktor pendorong bahwa Barat menganggap Timur khusunya Islam merupakan ancaman besar bagi perpolitikan mereka jika bangkit kembali sehingga dilancarkanlah Makar-makar dan muslihat untuk mengecoh Umat Islam (Teng, 2016).
Dengan adanya wadah kolonialisme memberikan gerakan yang lebih leluasa bagi para Orientalis untuk mengembangkan pengaruhnya di Wilayah-wilayah Timur, sehingga perkembangan pemikiran dan gagasan kaum Orientalis berkembang pesat dan terstruktur. Pada era ini, Timur (Islam) tidak lagi menjadi sumber peradaban dunia tetapi Baratlah yang menjadi arah kiblat kemajuan manusia. Maka rentetan peristiwa yang terjadi dimasa lampau membentuk paradigma yang berbeda pula di setiap masa di mata para Orientalis dalam memandang dunia ketimuran terkhususnya Islam, ada yang bersikap frontal adapula yang bersikap netral semua itu terbangun sesuai dengan latar belakan maupun kepentingan dari seorang Orientalis itu sendiri.
ADVERTISEMENT
(Ariq Hidayat, Mahasiswa Megister Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Imam Bonjol Padang)