Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Memaknai May Day: Memutus Keresahan Akan Tenaga Kerja Asing
28 April 2018 23:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Arjuna Putra Aldino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini wacana publik dipenuhi dengan perbincangan tentang Undang-undang Tenaga Kerja Asing, yang tak jarang dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketakutan akan “hilangnya pekerjaan” bagi warga Indonesia akibat wacana serbuan tenaga kerja asing. Kementerian Tenaga Kerja mencatat, jumlah tenaga kerja asing (TKA) hingga saat ini mencapai 126 ribu orang atau meningkat 69,85 persen dibandingkan akhir 2016 sebanyak 74.813 orang.
ADVERTISEMENT
Namun hal ini tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi, sepanjang Januari-Agustus 2017, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melaporkan bahwa terdapat 148.285 TKI yang dikirim untuk bekerja ke sejumlah negara. Secara akumulatif, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, menyatakan terdapat sekitar 4,3 juta warga negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri. Sebagian besar dari mereka adalah para pekerja migran.
Dari perbandingan data ini kita dapat melihat bahwa sejatinya apa yang disebut “pasar bebas” adalah pertukaran sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Dalam bahasa David Ricardo, hal ini adalah bentuk lain dari pertukaran “keunggulan komparatif” dimana setiap negara memiliki keunggulan yang berbeda-beda, spesialisasi yang berbeda-beda. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan, setiap negara harus melakukan pertukaran dari apa yang dimiliki atau surplus di negaranya dengan apa yang dibutuhkan, termasuk pertukaran tenaga kerja yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat dilihat dari perbandingan komposisi tenaga kerja asing yang ada di Indonesia dengan komposisi tenaga kerja Indonesia yang ada di luar negeri. Data Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) menyebutkan, dari 74,183 tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia, sekitar 51.695 orang (70 persen) bekerja di sektor perdagangan dan jasa. Sebanyak 20.584 TKA (28 persen) bekerja di sektor industri dan 1.904 TKA (2,5 persen) bekerja di sektor pertanian. Sedangkan untuk tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri rata-rata bekerja di sektor domestic workers sebanyak 29.465 orang, caregiver sebanyak 35.512 orang, worker sebanyak 16.934 orang, operator sebanyak 23.366 orang dan plantation worker sebanyak 22.334 orang. Artinya, pertukaran tenaga kerja ini terjadi atas dasar kebutuhan dari struktur ekonomi di masing-masing negara dan beberapa tenaga kerja asing di Indonesia menempati bidang-bidang khusus yang membutuhkan keterampilan yang spesifik.
ADVERTISEMENT
Untuk pekerja China yang ramai diperbincangkan di media publik, hanya terkonsentrasi di sektor konstruksi. Data Kementerian Tenaga Kerja mengungkapkan sebanyak 43 persen tenaga kerja asing (TKA) asal China di Indonesia bekerja di bidang konstruksi. Hal ini disebabkan karena banyak proyek infrastruktur yang dibangun pemerintah dan beberapa diantaranya merupakan kerja sama dengan pemerintah dan investor asal China. Mayoritas tenaga kerja asal China ini bekerja di level profesional dengan 7.005 pekerja hingga November 2016. Sementara 5.973 pekerja China bekerja sebagai teknisi di Indonesia. Adapun 195 tenaga asal China menjadi komisaris di Tanah Air. Dengan kata lain, tanaga kerja asal China bekerja untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu dengan skill-skill khusus. Sehingga tidak menghilangkan kesempatan kerja bagi pekerja lokal.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Jadi Kunci
Apabila kita menengok data BPS, penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2017 tercatat sebanyak 124,54 juta orang, atau naik sebanyak 6,13 juta orang dibanding keadaan Agustus 2016 dan naik sebanyak 3,89 juta orang dibanding Februari 2016. Namun yang memprihatinkan, tenaga kerja Indonesia didominasi penduduk dengan pendidikan Sekolah Dasar sebanyak 49,97 juta orang (42,20 persen) dan Sekolah Menengah Pertama sebanyak 21,36 juta orang (18,04 persen). Penduduk bekerja dengan pendidikan tinggi hanya sebanyak 14,50 juta orang meliputi lulusan diploma sebanyak 3,41 juta orang (2,88 persen) dan lulusan universitas sebanyak 11,09 juta orang (9,36 persen).
Hal inilah yang perlu menjadi perhatian kita bersama, yakni ditengah terbukanya pintu perdagangan bebas yang berarti persaingan tenaga kerja semakin kompetitif namun sebanyak 49,97 juta orang (42,20 persen) tenaga kerja Indonesia hanya lulusan SD. Kondisi inilah yang kemudian mempengaruhi daya saing tenaga kerja kita untuk bersaing meraih kesempatan kerja dengan tenaga kerja asing. Artinya, sektor pendidikanlah yang harus menjadi fokus pemerintah untuk menghadapi persaingan di era perdagangan bebas.
ADVERTISEMENT
Dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesejahteraan atau tingkat upah tenaga kerja. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka kecil kemungkinan ia mendapat nilai tukar yang besar dalam pasar tenaga kerja. Dengan kata lain, semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka kecil kemungkinan mendapat upah yang cukup. Hal ini bisa dilihat dari penelitian iPrice, bahwa orang Indonesia harus bekerja selama 87 hari dengan menggunakan seluruh gajinya untuk membeli sebuah iPhone 7 seharga USD 1.268 atau Rp 16,4 juta. Hasil riset yang dirilis oleh iPrice ini mengasumsikan rata-rata gaji masyarakat kelas menengah konsumen iPhone di Tanah Air sebesar USD 1,8 atau Rp 23.400 per jam. Pekerja Indonesia harus bekerja lebih lama dari pekerja Malaysia untuk membeli sebuah iPhone yang hanya memerlukan waktu kerja 24 hari. Gaji rata-rata di Malaysia memang lebih tinggi dari Indonesia, yakni USD 4,8 atau Rp 62.400 per jamnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tingkat pendidikan juga berpangaruh pada tingkat produktivitas tenaga kerja. Berdasarkan data yang dihimpun Asian Productivity Organization (APO) pada 2014, tingkat produktivitas pekerja Indonesia masih tertinggal dari Thailand dan Malaysia yang masing-masing US$ 24,9 ribu dan US$ 54,9 ribu. Bahkan sangat jauh dari angka produktivitas yang dicapai Singapura di posisi pertama yaitu US$ 125,4 ribu. Padahal ditengah berlakunya pasar bebas tingkat produktivitas menjadi prioritas sebab tanpa tingkat produktivitas yang tinggi maka Indonesia hanya menjadi bulan-bulanan oleh negara-negara maju. Hanya menjadi negara konsumen.
Untuk itu, pembenahan sumber daya manusia, terutama melalui sektor pendidikan menjadi kunci untuk menghadapi persaingan pasar bebas yang kian kompetitif. Tanpa pembenahan sumber daya manusia yang terukur maka selamanya Indonesia akan sulit mengejar ketertinggalan diantara negara-negara ASEAN sekalipun.
ADVERTISEMENT
Arjuna Putra Aldino, Ketua DPP GMNI, Bidang Kadersasi dan Ideologi 2017-2019