Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kampus Kita Berlomba Mencetak SH, Sarjana Hutang
30 Januari 2024 13:15 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Bertahun lalu, ketika diterima di universitas negeri, ibu saya berdiri di pinggir jalan. Berharap bertemu teman atau tetangga yang bisa dipinjami uang. Saat itu hari terakhir pembayaran uang masuk kuliah, hanya Rp 400 ribu saja. Tapi untuk keluarga kami itu uang yang sangat banyak. Kemudian salah seorang tetangga yang sedari pagi melihat kami jadi iba, ia memberikan uang dan sore itu saya melunasi biaya masuk kuliah.
ADVERTISEMENT
Delapan tahun kemudian saya lulus dengan predikat baik dengan IPK lebih dari tiga. Agak lama lulusnya, tapi itu terjadi karena saya harus bekerja sebagai jurnalis untuk membiayai kuliah dan kebutuhan sehari-hari.
Uang jadi problem pendidikan bagi orang miskin, padahal pendidikan adalah satu cara agar mereka bisa keluar dari kemiskinan. Lingkaran setan ini yang membikin saya jadi benci komersialisasi perguruan tinggi dalam bentuk apa pun.
Pendidikan semestinya membebaskan, tapi apa yang dilakukan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyediakan skema pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) berupa cicilan plus bunga melalui platform pinjaman online (pinjol) Danacita, bagi saya adalah bentuk lain rentenir dan lintah darat. Ia memangsa orang miskin yang tak punya uang dengan pinjaman dengan bunga yang tak sedikit.
ADVERTISEMENT
Skema culas ini berpotensi menjerat mahasiswa dalam lilitan utang yang ketika gagal bayar dapat berujung pada praktik intimidasi. Mahasiswa miskin yang jelas tidak mampu itu punya hak untuk mendapat pendidikan tinggi dan selayaknya dibantu. Namun orang-orang culas malah membuat pinjaman uang yang secara sistemik dapat membelit utang pada mahasiswanya.
Seorang mahasiswa semestinya fokus pada kuliah, belajar, mengembangkan diri melalui ilmu pengetahuan atau kegiatan kampus, namun selain harus memikirkan nilai, mereka juga harus memikirkan uang untuk membayar utang. Logika gila macam apa yang membuat pendidikan tinggi tega membelit tanggung jawab kepada mahasiswanya di luar tri dharma?
Skema pembayaran yang dibuat juga tidak murah. Dilansir dari situs Danacita, setiap pinjaman untuk cicilan 12 bulan dikenakan biaya bulanan platform 1,75% dan biaya persetujuan 3%. Kemudian, cicilan enam bulan dikenakan biaya bulanan platform 1,6% dan biaya persetujuan 3%.
ADVERTISEMENT
Artinya, jika meminjam Rp15 juta, maka estimasi total pengembalian selama enam bulan sebesar Rp16.890.000, sedangkan 12 bulan menjadi Rp18.600.000, dan 18 bulan yaitu Rp20.310.012, serta 24 bulan sebesar Rp22.650.000.
Selain ITB, Danacita juga bekerja sama dengan banyak universitas baik swasta maupun negeri, serta lembaga kursus lainnya. Danacita merupakan platform dengan solusi pendanaan bagi pelajar, mahasiswa, maupun tenaga profesional untuk menempuh studi di lembaga pendidikan tinggi dan program kejuruan.
Setidaknya ada lima universitas dengan label keagamaan islam, tapi bekerja satu ranjang dengan Pinjol yang jelas hidup dari riba. Mulai dari Universitas Muhammadiyah, UIN Sunan Kalijaga, hingga Wahid Hasyim yang berhaluan NU. UGM dan Universitas Sebelas Maret (UNS) juga dua universitas negeri yang juga bekerja sama dengan Danacita untuk memberikan pinjaman uang untuk membayar biaya pendidikan dengan bunga. Asik sekali.
ADVERTISEMENT
Konsep pinjol untuk kuliah ini bukan hal baru. Di Amerika Serikat ada yang disebut student loans, yang juga memakan banyak korban. Banyak mahasiswa menghadapi beban utang yang signifikan setelah lulus. Besarannya dapat mencapai ribuan hingga puluhan ribu dolar, tergantung pada program studi dan institusi pendidikan. Institusi pendidikan tinggi yang semestinya membantu, ini malah ikut menginjak.
Apa yang dilakukan ITB dan Danacita juga memberikan bunga, sesuatu yang semestinya bukan hal yang bisa dibuat untung. Beberapa mahasiswa mungkin kesulitan membayar bunga ini, terutama jika mereka mengalami kesulitan keuangan setelah lulus. Di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, utang pinjaman mahasiswa tidak dapat dihapuskan melalui kepailitan. Ini berarti peminjam masih berkewajiban membayar pinjaman meskipun menghadapi kesulitan keuangan yang parah.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat, student loans merupakan respons pemerintah federal pada 1958 untuk bersaing dengan Uni Soviet, pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi pada 1965, dan pembentukan program Direct Lending pada 1993. Program yang awalnya dibuat untuk membantu mahasiswa berbakat untuk bisa bersaing dengan negara lain, malah saat ini menjadi sumber problem ekonomi.
Utang mahasiswa terus meningkat, mencapai $1,7 triliun pada tahun 2020. Keuntungan dari bunga utang membuat industri pinjaman modal kuliah di Amerika Terus ada. Masyarakat Amerika menghadapi masa depan yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana nilai investasi perguruan tinggi dipertanyakan. Ini karena student loans 2.5 kali membuat mahasiswa yang berutang melakukan bunuh diri lebih tinggi dibanding yang tidak berutang.
Di Indonesia sendiri pada 2019, saat pinjaman online mulai memasyarakat, jumlah orang yang mengakhiri hidupnya, percobaan bunuh diri (berhasil diselamatkan), dan membunuh orang lain mencapai 51 kasus. Total, sebanyak 25 orang bunuh diri karena pinjol, bank keliling dan bank emok hingga 16 Desember 2023. Jumlah ini yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Dari jumlah 51 kasus tersebut, lima di antaranya anak di bawah umur lima tahun (balita) yang dibunuh oleh orang tuanya sebelum mereka bunuh diri. Selain itu, terdapat dua pasang suami istri (empat orang), sebanyak 31 pria dan 15 wanita (5 balita tidak dikategorikan jenis kelaminnya). Terdapat satu orang masih siswa sekolah menengah atas. Rentang umur (di luar balita) paling muda 16 tahun dan paling tua 64 tahun. Sebagian besar kasus bunuh diri ini dengan cara gantung diri.
Lalu apakah perguruan tinggi seperti ITB, UNS, dan UGM sudah siap dengan hal ini?