Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Sisi Lain Bandung dengan Segala Kemacetannya
21 Februari 2023 13:23 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Arvin Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari itu, Minggu (12/2/2023), langit di Kecamatan Jatinangor, Sumedang begitu gelap tertutup awan mendung. Memang sudah beberapa hari belakangan, hujan selalu mengguyur wilayah Jatinangor dari pagi hingga malam hari.
ADVERTISEMENT
Saat itu, sekitar pukul 15.30 WIB. Selepas makan siang di warteg yang terletak di Pangkalan DAMRI Jatinangor, saya hendak pergi ke Bandung untuk beribadah di GII Hok Im Tong yang berlokasi di Dago.
Setelah mempertimbangkan harga dan aksesibilitas, saya lantas menggunakan bus Trans Metro Pasundan (TMP). Sekaligus, saya ingin bernostalgia menaiki bus DAMRI Jatinangor-Dipatiukur setelah empat tahun lalu adalah kali terakhir saya menggunakan moda transportasi tersebut.
Saya memutuskan untuk menunggu bus TMP di halte Jatinangor Town Square. Di tengah guyuran gerimis, saya bersama tiga orang penumpang lainnya menunggu kedatangan bus TMP.
Beruntung saat itu, kami membawa payung sendiri-sendiri karena halte Jatinangor Town Square memang tidak memiliki atap. Berdasarkan pantauan saya, di Jatinangor memang tidak sediakan halte beratap, hanya plang bertuliskan pemberhentian bus.
ADVERTISEMENT
Tak membutuhkan waktu lama untuk menunggu kedatangan bus TMP, saya pun masuk dan melakukan pembayaran dengan scan QRIS. Sore itu, bus TMP koridor 5D Jatinangor-Dipatiukur tidak sepadat pantauan saya ketika weekdays.
Hanya terdapat delapan orang penumpang, termasuk saya. Selang 4 tahun sejak terakhir kali menggunakan bus Jatinangor-Dipatiukur, perubahan yang saya rasakan sangat signifikan. Mulai dari pembayaran yang terintegrasi, desain tempat duduk yang berubah, dan memiliki tambahan CCTV, membuat saya merasa nyaman dan aman.
Saya duduk di sebelah Ibu Nani, seorang perempuan paruh baya yang baru saja naik di halte Cileunyi B. Ia tinggal di Desa Cigelereng, Bandung. Hari itu ia sedang mengunjungi rumah anaknya yang tinggal di Rancaekek, Sumedang, dan hendak pergi pulang.
ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan itu, ia bercerita bahwa sebelum adanya TMP, setiap mengunjungi anaknya selalu menggunakan sepeda motor bersama dengan almarhum suaminya. Alasannya sesederhana karena lebih cepat dan praktis jika dibandingkan DAMRI Jatinangor-Dipatiukur, pendahulu TMP koridor 5D.
Kini keadaannya berbeda. Setelah kepergian almarhum suaminya, ia bergantung pada TMP 5D jika ingin mengunjungi anaknya karena harganya relatif murah dibandingkan DAMRI.
Perjalanan saya menuju Dipatiukur ditempuh selama satu jam. Suatu peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan DAMRI Jatinangor-Dipatiukur, di mana biasanya memakan waktu 90-120 menit. Waktu yang terpangkas tersebut dipengaruhi karena TMP memiliki SOP naik dan turun penumpang wajib di halte.
Saya turun di halte Purwadinata—meskipun tidak turun persis di halte Purwadinata karena terdapat angkot yang berhenti tepat di halte. Sedangkan sopir bersama teman-temannya nongkrong di halte tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga dirasakan oleh Insan Ridho, salah satu penumpang Trans Metro Pasundan rute 3D Baleendah-BEC. Insan menceritakan pengalamannya saat menaiki Trans Metro Pasundan, pada rute tersebut memiliki jarak antar bus sekitar 15-25 menit.
Informasi seputar jadwal yang ditampilkan pada aplikasi Teman Bus pun cukup sinkron dengan keadaan di lapangan. Namun ia melihat bahwa bus tidak berhenti si setiap halte. Hal itu yang masih menjadi pekerjaan rumah Trans Metro Pasundan dalam menerapkan SOP agar lebih merata sebab berkaitan dengan keamanan penumpang.
“Saya lihat SOP-nya gak sama untuk rute dan armada yang lain, Kang. Ini umumnya terjadi di rute 3D. Kalau suatu halte terlihat tidak ada penumpang yang akan naik, sopir sepertinya tidak akan berhenti di halte tersebut. Itu kecuali penumpang yang minta berhenti di halte itu,” tulis Insan Ridho melalui akun Twitternya.
ADVERTISEMENT
Pengalaman yang berbeda datang dari Sarah Sabrina, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Sarah tinggal tak jauh dari halte PT. Inti. Ia menggunakan TMP 5D karena aksesnya dari rumah paling dekat.
Kendati aksesnya cukup mudah, Sarah untuk berangkat menuju Universitas Padjadjaran lebih sering dengan teman. Pertimbangan keamanan dan kenyamanan yang dipilih oleh Sarah.
Ada banyak hal yang masih membuatnya enggan. Halte yang tidak memiliki kanopi, standarisasi SOP yang tidak sama. Ketidaknyamanan halte jadi salah satu poin. Karena berdasarkan pengalaman Sarah halte lebih banyak digunakan oleh angkot-angkot yang ngetem.
“Untuk penumpangnya setiap aku berangkat selalu penuh. Namun beberapa kali pernah disuruh turun karena terlalu penuh. Ada beberapa sopir yang nggak mau ada penumpang yang berdiri gitu. Sehingga harus menunggu TMP selanjutnya,” kata Sarah
ADVERTISEMENT
Sengkarut Permasalahan Transportasi Publik di Bandung
Beberapa waktu lalu, warganet menyoroti transportasi publik Jawa Barat, khususnya Bandung . Belakangan persoalan transportasi publik Bandung semakin memanas. Bahkan terjadi adu argumen antara warganet dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di media sosial tak terelakkan, setelah Masjid Raya Al-Jabbar diresmikan pada 30 Desember 2022.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil diminta kesediaannya untuk mendengarkan keluh kesah warganya. Buruknya transportasi umum di Bandung bukan sekali dua kali dikeluhkan oleh warga.
Keluhan utama warga Bandung dikarenakan tidak adanya solusi dari kemacetan yang digagas oleh Pemerintah Kota Bandung. Perbaikan transportasi publik masih lamban, sedangkan kemacetan di Bandung kian tahun kian meningkat. Tak mengherankan jika Bandung pernah dinobatkan sebagai kota termacet di Indonesia dalam survei Asian Development Bank (ADB).
ADVERTISEMENT
Pendiri dan Ketua Transport for Bandung Raihan Aulia mengatakan permasalahan utama kemacetan di Bandung disebabkan oleh populasi kendaraan pribadi yang semakin tahun semakin meningkat. Lebih lanjut, Raihan berpendapat bahwa kemudahan dalam melakukan cicilan motor dan mobil punya dampak signifikan terhadap kemacetan dan mengurangi jumlah pengguna transportasi publik di Bandung.
Keluhan-keluhan tersebut juga diamini oleh Pakar Transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Sonny Wibowo. Seperti yang dilansir BBC Indonesia, menurutnya transportasi massal di Bandung mulai kehilangan penumpang dan beralih menggunakan kendaraan pribadi karena transportasi publik di Bandung tidak menunjukkan kemajuan dan tidak dikelola dengan baik.
“Sebenarnya warga Bandung itu ingin naik transportasi umum. Permasalahannya, kantong-kantong pemukiman kota Bandung saat ini telah bergeser ke daerah Bandung Timur dan Bandung Selatan. Wilayahnya telah bergeser tetapi perkembangan transportasinya belum ke arah sana,” kata Pendiri dan Ketua Transport for Bandung Raihan Aulia saat dihubungi pada Kamis (2/2/2023).
Raihan mencoba membandingkan perilaku warga Bandung era 90-an di mana penggunaan transportasi publik saat itu sangat besar. Saat itu, transportasi publik didominasi oleh angkot.
ADVERTISEMENT
Studi yang dilakukan tahun 2018 menunjukkan perilaku yang berkebalikan. Jumlahnya hanya 10 persen. Raihan menilai penurunan tersebut disebabkan karena angkot di Bandung cenderung stagnan dan tidak ada perkembangan.
“Puluhan tahun hanya sekadar ganti armada,” sambung Raihan.
Ketika Trans Metro Pasundan koridor 1D Terminal Leuwipanjang-Gading Tutuka diresmikan operasionalnya 6 April 2022 justru menerima demonstrasi penolakan dari sopir angkot trayek Soreang-Leuwipanjang setelah seminggu beroperasi sebab dianggap mengurangi penumpang mereka.
Tak lama dari aksi demonstrasi penolakan tersebut bahkan sopir angkot nekat mencegat TMP sehingga merugikan penumpang. Namun setelah proses audiensi yang panjang yang melibatkan warga Soreang dan juga Dinas Perhubungan Jawa Barat, TMP koridor 1D kembali dibuka pada November 2022.
Angkot sejatinya modal yang baik bagi transportasi publik di Bandung. Raihan berpendapat bahwa transportasi publik di Bandung memiliki hierarki yang bagus. Ia mencontohkan bahwa akses dari rumahnya untuk menaiki TMP dapat diakses dengan angkot.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, jumlah angkot di Bandung kian tahun kian menurun. Berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Bandung tahun 2022, jumlah angkot yang diizinkan beroperasi hanya sebanyak 5.571 unit, turun sebesar 124.63 perseb dibandingkan tahun 2020. Ketua Koperasi Angkutan Masyarakat Kota Bandung Budi Kurnia menilai pandemi Covid-19 berdampak signifikan pada menurunnya angkot di Bandung.
“Hanya saja yang sering kejadian itu, kalau sopir angkot tidak mau narik, lalu kadang suka menyuruh turun. Jadi menyusahkan. Belum lagi tarif yang diketok kalau malam-malam. Sistem pembayarannya bisa diperbaiki lagi. Aksesibilitasnya sudah cukup baik walaupun masih banyak pekerjaan rumah,” kata Raihan.
Namun, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memiliki rencana program konversi angkot ke TMB yang dimulai akan dimulai tahun 2023. Namun, kendala yang akan dihadapi juga cukup pelik. Menurut Raihan saat ini banyak angkot yang telah dimiliki perseorangan sehingga tidak memiliki badan hukum dan ke depannya akan menjadi penghambat perkembangan bus bandung raya.
ADVERTISEMENT