Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Lagu dari Gerbang Surga
29 April 2024 23:16 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari AS Laksana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
SEJAK kanak-kanak ia pendiam. Ia tidak kesulitan berkata-kata; ia menyukai bahasa; ia bisa menjelaskan secara fasih proses kreatif yang rumit untuk menghasilkan larik-larik yang tampak sederhana; ia menjadi dosen di almamaternya begitu lulus dari IKIP Sanata Dharma pada 1987, dan ia dosen yang disukai para mahasiswanya. Ia hanya tidak suka bicara. Ia menyukai sesuatu yang lebih sunyi, yaitu membaca. Dan membaca mempertemukannya dengan jenis kesunyian yang lain: Puisi.
ADVERTISEMENT
Joko Pinurbo, yang dalam sebuah forum sastra pernah diperkenalkan oleh pembawa acara sebagai ‘Joko Punirbo’ dan terus disebut dengan nama itu sampai acara berakhir, terpukau di usia lima belas tahun pada puisi ‘Kwatrin tentang Sebuah Poci’ (Goenawan Mohamad) dan ‘DukaMu Abadi’ (Sapardi Djoko Damono), dan pertemuannya dengan kedua puisi itu seperti momen cinta pertama yang kenangannya tersimpan sepanjang usia dan bayang-bayangnya menghantui setiap saat.
‘Kwatrin’ mengajukan tema yang begitu akrab: tentang ilusi, kefanaan tanah liat, dan upaya menjadikannya abadi. Apa yang disampaikan oleh puisi itu bisa ia jumpai sewaktu-waktu dalam kehidupan sehari-hari. Pada setiap kematian, misalnya, orang terbiasa merayakan kehilangan dengan sebuah melankoli: “Kamu hidup selamanya dalam hatiku,” seolah-olah mereka sedang berbisik di telinga jenazah, seolah-olah mereka tidak akan pernah mati, dan karena itu mereka mengatakan “selamanya”. Sementara ‘DukaMu Abadi’ langsung menyentuh jantung keimanannya. Dengan “M” kapital dalam kata DukaMu, setiap pembacanya akan tahu bahwa yang dituju oleh puisi itu niscayalah figur ilahi, dan baginya, hanya ada satu figur ilahi yang rela menanggung duka abadi, ialah Dia yang mati di kayu salib, demi pembebasan umat manusia.
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun nanti, setelah ia sendiri menulis puisi, ia akan mempersembahkan banyak kuburan, banyak kematian, dan banyak bangkai dalam puisi-puisinya. Sama banyaknya dengan ia mempersembahkan celana, sarung, ilusi, kefanaan, duka yang abadi, dan nasib yang getir. Kehidupan, dan semua yang tampak, adalah ilusi. Yang nyata, dan satu-satunya yang bermakna dalam kehidupan manusia, adalah kematian. Orang mematut diri, berdandan, mencari-cari celana terbaik—untuk menuju kuburan.
Kuburan bagi karakter-karakter dalam puisinya bisa berarti pesta, bisa berarti wisata, bisa berarti tempat kencan (“Kutunggu di kuburan, ya”). Secara umum, ia adalah tempat untuk menyelamatkan diri dari hidup, dari ilusi, dari duka yang abadi.
*
Ayahnya, orang Jogja yang menjadi guru di Sukabumi dan di kota inilah Philipus Joko Pinurbo lahir, menginginkan ia menjadi pastor, dan ia masuk seminari setelah tamat SMP, tetapi tidak melanjutkan ke seminari tinggi. Ia memilih kuliah di IKIP Sanata Dharma. Setelah melalui berbagai pekerjaan—menjadi dosen, mengelola SD Mangunan bersama Romo Mangunwijaya, menjadi redaktur jurnal sastra, redaktur majalah, editor penerbitan, mengelola bank naskah sebuah penerbitan—ia memutuskan kembali kepada cinta sejatinya, kepada puisi, dan menerbitkan buku pertamanya pada 1999, dua puluh dua tahun jaraknya dari momen ia mulai jatuh cinta kepada puisi.
ADVERTISEMENT
Buku itu berjudul Celana, sebuah judul yang tidak agung sama sekali untuk kumpulan puisi, tetapi ia sengaja memilih judul itu—remeh, sehari-hari, dan tidak puitis. Berbekal ketidakagungan itulah ia memperkenalkan suara yang berbeda dan menetapkan tempatnya sendiri sebagai penyair.
Dengan Celana, ia memulai perjalanannya untuk menuturkan ulang realitas yang sangat ia kenali detailnya: kehidupan yang penuh kematian, kebersahajaan yang getir, dan duka yang abadi. Ia menertawai hidup ketika meratapinya adalah tindakan mubazir, dan ia menceritakan kematian seolah-olah itu sama sepelenya dengan tindakan bersiul, pergi ke warung, atau bertamu ke rumah teman.
Dan ia berhasil. Lebih tepat, ia pembelajar yang berhasil. Ia belajar banyak dari puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, dua penyair pertama yang membuatnya menyukai puisi, tentang detail untuk membangun suasana, tentang ironi untuk menghadirkan ambiguitas makna dan memperlihatkan kompleksitas dalam hal-hal keseharian. Dan ia mengasah kepekaan indrawinya terhadap detail dan ketajaman nalurinya terhadap ironi.
ADVERTISEMENT
Namun, keberhasilan terbesarnya adalah kesadaran bahwa ia tidak mungkin berpuisi dalam cara seperti mereka. Dunia kepenyairan tidak memerlukan epigon. Dunia kepenyairan memerlukan suara otentik. Maka, ia mempelajari kecakapan mereka, juga kemudian para penyair lain, dan menggunakan semua yang ia pelajari untuk mengembangkan suara kepenyairannya sendiri.
Ia mempelajari permainan kata Sutardji Calzoum Bachri, dengan meninggalkan aspek mantranya, untuk menghasilkan puisi ‘Kamus Kecil’ yang memikat; ia memasangkan pada larik-lariknya dua kata yang masing-masing anagram satu sama lain, atau pasangan aliterasi, dan menyisipkan humor pada waktu yang tepat:
Bahwa sumber segala kisah adalah kasih
Bahwa segala yang baik akan berbiak
Bahwa orang ramah tidak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih
ADVERTISEMENT
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan
Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira
Sedangkan pemulung tidak pernah merasa gembira
Ia juga belajar dari puisi-puisi Afrizal Malna untuk menyusun frase-frase “menjinjing bulan dalam keranjang”, “seorang februari”, “meyirami daun-daun kalender yang mengering”, dan yang semacam itu dalam puisi-puisinya, melalui teknik mempertemukan kata-kata yang secara normal bukan pasangan. Ia melakukannya tanpa membuat puisinya sulit ditembus.
Ia terus belajar, dari siapa saja, sebab ia pendiam yang suka membaca, sebab dengan cara itulah ia mencintai puisi, mencintai bahasa, dan mencintai orang-orang yang memikul duka abadi, yang suara mereka ia wakili melalui puisi. Dan karena ia mencintai, ia menjadi orang yang dicintai, menjadi penyair Indonesia hari ini yang larik-larik puisinya paling banyak ditemukan di mana-mana, dijadikan kutipan, bahkan oleh mereka yang tidak membaca puisi-puisinya dan tidak tahu dari mana frase-frase itu berasal.
ADVERTISEMENT
Dari generasi sebelumnya ada Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono. Itu menyampaikan kepada kita bahwa ia, sebagaimana dua pendahulunya, telah menciptakan karya-karya yang mampu menyusup ke dalam kesadaran orang banyak. Dan itu sebentuk award lain yang melengkapi sejumlah penghargaan yang telah ia terima untuk karya-karyanya, suatu pengakuan bahwa karya-karyanya memiliki daya tarik universal, dan ia mampu menyampaikannya dalam cara terkuat yang bisa ia upayakan dengan seluruh kecakapan yang sudah ia pelajari.
Ia memiliki bakat alami, ia memiliki ketekunan dengan bahasa, dan ia memiliki bahan yang berlimpah, baik di dalam maupun di luar dirinya. Ada kegetiran di dalam dirinya, kuat dan seringkali menekan, ada kegetiran di sekitarnya, dan ia menertawai dua-duanya dengan puisi. Puisi yang tertawa merdu. Puisi merdu yang serupa burung camar dalam sonnet Shakespeare, burung camar yang muncul pada saat fajar dari bumi yang murung dan bernyanyi di gerbang surga, membawakan lagu tentang mereka dan untuk mereka yang bahkan tidak pernah mendengar namanya.
ADVERTISEMENT